Cari Blog Ini

Minggu, 27 Maret 2011

Memandang Realitas Tanpa Otoritas


Ketika ajaran, iman, atau agama yang dianut dipertanyakan kebenarannya, orang terguncang hidupnya atau cepat marah. Iman atau agama telah membuat ketergantungan psikologis. Ketergantungan ini bisa sedemikian membutakan, sehingga orang tidak lagi dapat melihat realitas apa adanya.

Kalau ketergantungan psikologis tersebut dipatahkan, orang akan menemukan ketidaktenangan, kegelisahan, dan ketidakpastian. Yang tersisa hanyalah kesepian dan kekosongan yang luar biasa. Bukankah inilah realitas hidup kita yang sesungguhnya, yang cenderung kita hindari, dan tertutupi oleh ajaran-ajaran suci?

Iman atau agama sering kali dijadikan tempat pelarian, karena kebanyakan dari kita memiliki batin yang dangkal. Kita enggan menerima realitas kesepian dan kekosongan. Ketakutan mendorong kita  lari kepada konsep ideal tentang Tuhan, iman, harapan, cinta, kebahagiaan, kebenaran, doa, dan meditasi. Konsep-konsep itu kemudian membelenggu batin dan memiliki daya pengaruh seperti kekuatan hipnotis yang membius dan menumpulkan. Betapa dalam batin kita diperbudak konsep-konsep itu. Tidak heran, orang mudah terprovokasi melakukan hal-hal bodoh atas nama Tuhan atau kebenaran.

Kelekatan yang paling memuaskan adalah Tuhan. Padahal, bagaimana mungkin Tuhan yang Mahasuci bisa dilekati oleh batin yang masih terbelenggu oleh ketergantungan psikologis? Lagi pula, dengan beriman atau beragama, kita tetap tidak bisa lolos dari kesepian, kekosongan, ketidakpastian, kegelisahan, dan seterusnya. Iman atau agama justru bisa menjadi tirai pembatas untuk memahami realitas apa adanya. Bisakah kita memandang secara total realitas hidup kita tanpa otoritas apa pun?

Iman dan realitas adalah dua hal yang berbeda. Iman bekerja masih dalam lingkup pikiran, sedangkan realitas yang sesungguhnya bergerak di luar lingkup pikiran. Batin yang berani keluar dari belenggu otoritas iman atau agama, mungkin akan menemukan kembali iman sejati atau agama sejati. Batin yang menemukan iman sejati atau agama sejati tidak lagi disibukkan dengan rumusan ajaran, tetapi sepenuhnya hidup bersama realitas.

Iman atau agama yang sejati tidak mungkin terlahir selama bangunan iman atau agama yang lama tidak diruntuhkan sepenuhnya. Ketika otoritas iman atau agama yang lama berakhir, mungkin kita dapat memahami Tuhan atau Realitas yang Terakhir.  Hal ini hanya bisa dialami di luar waktu, di luar pikiran, dan di luar gambaran-gambaran. Realitas yang Terakhir ditemukan pada saat sekarang, bukan ingatan masa lampau atau proyeksi masa depan.

Meski hanya singkat, perjumpaan dengan Realitas yang Terakhir itu membuka cara pandang yang sungguh baru dalam melihat, mendengar, berelasi, berbicara, bertindak, bekerja, dan menjalani kehidupan.

(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar