Cari Blog Ini

Senin, 28 Februari 2011

Kesadaran dan Pembebasan

Upaya mengenyahkan keterikatan dengan menilai, menganalisis, mengontrol, mengharuskan, memaksakan diri untuk memaafkan, membuang, dan seterusnya, tidak akan mendatangkan pembebasan, justru menambah keterbelengguan.

Pintu pembebasan terbuka lewat kesadaran. Karena itu, tidak ada pembebasan sejati tanpa pengenalan diri. Mengenal diri tidak sama dengan sekadar mengenal kelebihan dan kekurangan diri, merenung dan berefleksi diri, mencocokkan diri dengan teori-teori psikologi kepribadian, atau mengenal diri lewat bantuan guru rohani. Mengenal diri berarti menyadari seluruh gerak diri secara langsung dari saat ke saat.

Menolak keterikatan berarti menolak fakta kehidupan yang penuh dengan keterikatan. Upaya untuk mengatasi keterikatan tidak akan membawa kita keluar dari keterikatan. 

Orang tidak mungkin bebas dari sakit, tetapi orang bisa bebas dari belenggu rasa sakit. Orang tidak mungkin bebas dari usia tua, tetapi orang bisa bebas dari beban usia tua. Orang tidak mungkin bebas dari keterbatasan, tetapi orang bisa bebas dari belenggu keterbatasan.

Dengan menyadari gerak pikiran, keinginan, dan diri sedalam-dalamnya, pintu pembebasan terbuka dengan sendirinya. Di sinilah kebebasan total mungkin terjadi.

(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit: Kanisius, 2009)

Lihatlah Dirimu Sendiri

Foyan berkata kepada Gaoan:

Orang yang mampu melihat ujung sehelai rambut jatuh, tetapi tidak dapat melihat alis matanya sendiri; 
dan orang yang mampu mengangkat beban tiga puluh ribu pon, tetapi tidak mampu mengangkat tubuhnya sendiri; sama seperti murid cerdas yang mencela orang lain, 
tetapi tidak mengenal dirinya sendiri.

(Dari: Buku Seri Filsafat Timur - Pelajaran Zen, Seni Kepemimpinan, karya Thomas Cleary. Penerbit: Airlangga, 2001)

Kerohanian Sejati

Sang Guru ditanya, "Apakah kerohanian itu?"

Jawabnya, "Kerohanian yang sejati adalah kerohanian yang berhasil membuat orang melakukan perubahan hati."

"Tetapi kalau saya memakai cara lama yang diwariskan para Guru terdahulu, bukankah itu kerohanian juga?"

"Bukan kerohanian kalau tidak berfungsi mengubah dirimu. Selimut sudah bukan selimut lagi kalau tidak menghangatkan tubuhmu."

(Dari: Buku Burung Berkicau, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1984)

Sabtu, 26 Februari 2011

Mengosongkan Pikiran

Keinginan mengosongkan pikiran datang dari pikiran. Bagaimana mungkin pikiran bisa dikosongkan oleh pikiran? Yang dapat Anda lakukan adalah secara sadar 
mengamati terus gerak pikiran dari saat ke saat. 
Pikiran yang disadari terus-menerus ketika ia muncul, 
akan berhenti dengan sendirinya bukan dipaksa berhenti. 

                                                                                          J. Sudrijanta, S.J.
                                  
(Dari: Buku Meditasi Sebagai Pembebasan Diri, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit: Kanisius, 2011)

Gembira karena Hati yang Bersih

Orang yang memiliki hati nurani bersih akan mampu menahan banyak penderitaan, dalam menghadapi berbagai kesulitan ia akan selalu gembira. Sebaliknya, hati nurani yang tidak bersih akan selalu merasa takut dan tidak tenang.

Kegembiraan yang diperoleh dari orang tidak akan berlangsung lama. Kegembiraan dunia selalu diikuti kesedihan. Sedangkan kegembiraan orang yang baik terletak dalam hati yang murni, tidak dalam mulut orang banyak. 

Orang yang suara hatinya bersih, mudah merasa puas dan tenteram. Orang tidak menjadi lebih suci karena dipuji-puji, atau tidak bertambah jahat karena dicela. 

Apabila kita perhatikan keadaan batin kita seperti apa adanya, tentu kita tidak akan menaruh banyak minat terhadap apa yang dibicarakan orang lain terhadap diri kita. Orang melihat luarnya, tetapi Tuhan melihat hati orang. Manusia melihat perbuatan, tetapi Tuhan melihat itikadnya.

Selalu berbuat baik dan meremehkan diri sendiri, itulah tanda jiwa yang rendah hati. Barangsiapa tidak mencari kesaksian dunia bagi dirinya sendiri, itulah pertanda ia telah menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. 

(Dari: Buku Mengikuti Jejak Kristus - Buku kedua Pasal VI Hal Kegembiraan yang Kita Peroleh dari Hati Nurani yang Bersih, karya Thomas a Kempis. Penerbit: Obor, 1982)

Hentikan Sebelum Muncul

Guru Caotang Qing berkata:

Bara yang membakar sebuah ladang bermula dari api kecil, sungai yang mengikis bukit diawali oleh tetes-tetes air. Setitik air dapat dibendung oleh segenggam tanah. Namun sebaliknya, air yang melimpah-ruah dapat mencabut pepohonan, menghanyutkan batu besar, bahkan meruntuhkan bukit.

Setitik api dapat dipadamkan dengan secangkir air, tetapi api yang berkobar-kobar dapat membakar kota, kampung, dan hutan di gunung.

Adakah perbedaan antara "air" perasaan dan keterikatan dengan "api" kebencian dan kemarahan? 

Orang zaman dahulu mengendalikan pikiran mereka dengan menghentikan pikiran itu sebelum muncul, menghentikan emosi mereka sebelum menyeruak. Dengan demikian, energi yang mereka gunakan sangat sedikit, sedangkan pencapaiannya luar biasa.

(Dari: Buku Seri Filsafat Timur - Pelajaran Zen, Seni Kepemimpinan, karya Thomas Cleary. Penerbit: Airlangga, 2001)

Jumat, 25 Februari 2011

Siapakah yang Mengamati Pikiran?

Ada “si aku” yang mengamati pikiran. Siapakah “si aku” itu? Kalau ada kesadaran pasif,
pengamatan pasif, perhatian pasif terhadap suatu objek, “si aku” tidak ada. Yang ada hanya pengamatan, tidak ada “si aku” yang mengamati.

Kalau Anda mengamati suatu objek, kemudian si pemikir atau pikiran mulai menamai, menilai, menyenangi, atau membenci, berarti “si aku” sudah menyusup dalam pengamatan Anda. Objek yang diamati dengan subjek yang mengamati tidak berbeda. Diri yang mengamati dan yang diamati tidaklah berbeda.

Cobalah amati kapan “si aku” itu menyusup dalam pengamatan Anda. Lihatlah kapan “si aku”
muncul dan membuat jarak dari objek yang diamati. Ketika terjadi jarak objek-subjek, muncul dualitas, di situlah konflik lahir.

Bisakah terjadi pengamatan pasif terhadap suatu objek, tanpa intervensi pikiran atau “si aku”? Kalaupun muncul pikiran atau “si aku,” sadari saja geraknya, sampai ia berhenti dengan sendirinya.

(Dari: Buku Meditasi Sebagai Pembebasan Diri, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit: Kanisius 2011)

BANGUN

Spiritualitas berarti ‘bangun,’ terjaga. Kebanyakan orang, walaupun mereka tidak mengetahuinya, sedang ‘tertidur.’ Mereka dilahirkan dalam keadaan ‘tertidur,’ mereka hidup dalam keadaan ‘tertidur,’ mereka menikah dalam keadaan ‘tertidur,’ mereka membesarkan dan mengasuh anak-anak mereka dalam keadaan ‘tertidur,’ mereka meninggal dalam keadaan ‘tertidur,’ tanpa pernah menyadari kebaikan dan keindahan sesuatu yang disebut keberadaan atau eksistensi manusia.

Banyak orang mengatakan, mereka ingin keluar dari taman kanak-kanak, tetapi jangan percayai apa yang mereka katakan. Yang mereka ingin Anda lakukan sebetulnya adalah memperbaiki ‘mainan’ mereka yang rusak. “Kembalikan istriku! Kembalikan pekerjaanku! Kembalikan uangku! Kembalikan nama baikku, keberhasilanku!” Bahkan psikolog terkenal akan mengatakan kepada Anda, orang-orang itu sebenarnya tidak ingin disembuhkan. Mereka hanya ingin rasa sakit mereka diredakan, dan proses penyembuhan biasanya menyakitkan.

Bangun dari tidur tidak menyenangkan. Anda merasa lebih nyaman dan enak di tempat tidur. Karena itu, seorang guru yang bijaksana tidak akan berusaha mem-‘bangun’-kan orang-orang. Saya harap saya pun dapat bersikap bijaksana, tidak berusaha melakukan apa pun untuk mem-‘bangun’-kan Anda, jika Anda sedang ‘tidur.’ Itu benar-benar bukan urusan saya, walaupun saya akan mengatakan berkali-kali, “Bangun!”

Urusan saya adalah melakukan apa yang ingin saya lakukan, menarikan tarian saya. Bila Anda memperoleh manfaat dari apa yang saya lakukan, syukurlah. Tetapi bila tidak, sayang sekali! Seperti kata pepatah Arab, “Sifat hujan pada dasarnya sama. Tetapi hujan itu membuat semak berduri tumbuh di rawa-rawa dan bunga-bunga tumbuh di taman.”

(Dari: Buku Awareness – Butir-Butir Mutiara Pencerahan, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit: Gramedia, 1999)

Kamis, 24 Februari 2011

Siapa yang disebut Diri?

Dalam Kristen ada yang disebut jiwa, dalam Buddha tidak ada entitas yang disebut diri (anatta), dalam Hindu ada atman. Mari kita menyelami apa yang disebut diri tanpa latar belakang teori atau doktrin mana pun, entah Kristen, Hindu, Buddha, atau yang lain.

Lihatlah mobil di jalan raya. Apa yang disebut mobil? Apakah rodanya, setirnya, tempat duduknya, mesinnya? Bukankah mobil adalah semua itu? Bukankah mobil tak lain sekadar nama dari kumpulan semua unsur-unsur itu sehingga sebenarnya mobil sendiri secara ontologis tidak ada?

Begitu pula apa yang disebut diri individual. Tidak ada diri tanpa kesadaran dengan seluruh isinya yang adalah ingatan, pikiran, perasaan, keinginan, kehendak, dan seterusnya. Kalau Anda berpikir, Anda ada; kalau Anda tidak berpikir Anda tidak ada.

Diri-individual secara ontologis sebenarnya tidak ada. Ketika orang merasa memiliki entitas yang disebut diri-individual, rasa-diri itu sesungguhnya merupakan ilusi yang diciptakan oleh pikiran. Ketika pikiran tidak ada, rasa-diri itu pun tidak ada. Bisakah Anda mengalami langsung kebenaran itu, bukan memahami sebagai teori?

(Dari: Buku Meditasi Sebagai Pembebasan Diri, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit: Kanisius 2011)

Boneka Garam

Sebuah boneka garam berjalan beribu-ribu kilometer menjelajahi daratan, sampai akhirnya ia tiba di tepi laut.

Ia amat terpesona oleh pemandangan baru, berbeda dengan segala sesuatu yang pernah ia lihat sebelumnya.

"Siapakah kau?" tanya boneka garam kepada laut.

Sambil tersenyum laut menjawab, "Masuk dan lihatlah!"

Boneka garam itu menceburkan diri ke laut. Semakin jauh masuk ke dalam laut, ia semakin larut, sampai hanya tinggal segumpal kecil. Sebelum gumpalan terakhir larut, boneka itu berteriak bahagia: "Sekarang aku tahu, siapakah aku!"


(Dari: Buku Burung Berkicau, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1984)

Rabu, 23 Februari 2011

Menyusuri Jalan Kehidupan

Ketika berada di belakang kemudi mobil, ke mana pandangan mata kita arahkan agar bisa mengendarai mobil dengan aman? 

Jika kita memandang terlampau jauh ke depan, kita tidak dapat mengetahui dengan jelas apa yang kita hadapi dalam jarak dekat di depan kita. Sebaliknya, jika pandangan mata kita terpaku ke kaca spion, sibuk mengamati kendaraan-kendaraan apa yang akan mendahului, kita tidak akan tahu kalau ada mobil lain yang tiba-tiba menginjak rem di depan kita. Menurut seorang instruktur belajar mengemudi, yang terbaik adalah mengarahkan pandangan mata ke depan mobil kita dengan arah pandang terjauh 50 meter. 

Ketika menyusuri jalan kehidupan, ke mana pandangan kita mengarah? Ke masa lalu dengan segala kenangan yang membuat kita terlena, sehingga tidak memerhatikan apa yang terjadi saat ini? Atau ke masa depan yang masih merupakan misteri, mereka-reka apa yang bakal terjadi dalam hidup kita?

Nikmatilah momen kehidupan saat ini, apa yang ada tepat di depan kita, tanpa beban masa lalu dan masa depan. Kita akan menjadi manusia sadar yang bebas!

Hidup di Dunia Bukan dengan Semangat Dunia

Diri kita identik dengan dunia. Realitas batin identik dengan realitas sosial. Persoalannya bukan bagaimana kita bisa mengubah dunia, masyarakat, keluarga, atau diri sendiri; melainkan bisakah kita hidup sungguh berbeda dari saat ke saat?
Bukan melanjutkan apa yang sudah berlalu atau mengejar apa yang belum terjadi.

Bisakah kita hidup tanpa diri? Bisakah kita hidup di tengah dunia, tetapi bukan dengan semangat dari dunia?  Kalau diri berakhir, sesuatu yang kudus mungkin akan tampil dan menggerakkan tindakan kita secara baru di tengah dunia.

Tanggung jawab kita pertama-tama adalah memahami diri sendiri. Dengan memahami diri sendiri, damai dan ketertiban akan muncul dan berdampak ke luar. 
 
(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit: Kanisius 2009)

Selasa, 22 Februari 2011

Jalan dalam Keheningan

Dalam keheningan, jiwa menemukan jalan menuju cahaya lebih jernih. Apa yang samar dan tidak jelas berubah menjadi sebening kristal. Kehidupan kita adalah pencarian panjang dan penuh tantangan menggapai Kebenaran.

– Mahatma Gandhi  

Senin, 21 Februari 2011

Belajar dari Nasruddin

 Nasruddin sedang berada di jalan, mencari sesuatu. 
"Apa yang Anda cari?" tanya beberapa orang kepadanya.
"Saya kehilangan kunci," jawab Nasruddin.
"Di mana kunci-kunci itu hilang?" tanya mereka.
"Di dalam rumah," jawabnya.
"Mengapa Anda mencarinya di sini?"
"Karena di dalam rumah sangat gelap, sedangkan di luar sini sangat terang!"


Kita sering mencari diri kita dari luar, tetapi kita tidak akan sanggup menemukan diri kita sampai kita menelusuri relung-relung batin kita,
sampai kita menengok ke dalam hati kita yang gelap.


(Dari: Buku Kumpulan Kisah Bijak Saat Chung Tzu Kehilangan Istri, karya JP. Vaswani. Penerbit: Kanisius, 2006)

Periksalah Keadaan Diri Sendiri

Sering kali kita sendiri tidak mengetahui bahwa batin kita sungguh masih buta.

Kita sering berbuat salah, tetapi kesalahan yang lebih besar ialah jika kita berusaha memaafkan diri sendiri. Kadang-kadang, suatu dorongan hawa napsu kita pandang sebagai semangat jiwa yang rajin. Kesalahan kecil orang lain kita cela, tetapi kesalahan kita sendiri yang besar kita biarkan saja. Kita lekas merasa tersinggung karena perbuatan orang lain, tetapi kita tidak merasa betapa orang lain menderita karena perbuatan kita. 
Barangsiapa dapat menilai perbuatannya sendiri secara baik dan adil, ia tentu tidak akan mendapat alasan untuk mengadili orang lain secara kejam.

Orang yang memiliki hidup kebatinan akan memperhatikan dirinya sendiri lebih daripada memperhatikan soal-soal lainnya. Dan orang yang dengan sungguh-sungguh serta teliti memperhatikan dirinya sendiri, tentu akan lebih mudah tidak berbicara mengenai keadaan orang lain.

Kita tidak akan menjadi orang yang mendalam kerohaniannya dan takwa, jika kita tidak belajar berdiam diri tentang orang lain dan lebih memperhatikan diri kita sendiri. Bila kita mencurahkan perhatian kita kepada diri kita dan kepada Tuhan melulu, maka tidak mudahlah kiranya, kita akan terpengaruh peristiwa-peristiwa di luar.

Di manakah kita harus berada, jika kita tidak mencurahkan perhatian kita terhadap diri kita sendiri? Dan apabila kita sudah menjalankan segala-galanya, apakah gunanya semua itu, jika kita tidak mempedulikan keadaan diri kita sendiri?

(Dari: Buku Mengikuti Jejak Kristus, karya Thomas a Kempis (1380-1471), Buku Kedua Pasal V: Hal Memeriksa Keadaan Diri Sendiri. Penerbit: Obor, 1982)