Cari Blog Ini

Minggu, 27 Desember 2015

Meyakini Keajaiban

Beberapa hari sebelum Natal tahun 1924. Di luar badai salju hebat menerpa setiap baris rumah. Keluargaku baru saja pindah dari pedesaan ke kota dua bulan sebelumnya. Kami belum mengenal tetangga satu pun.

Ketika itu aku masih gadis kecil berusia lima tahun yang sedang terserang demam tinggi. Penderita satu-satunya penyakit difteri di Philadelphia. 

Penyakitku sudah didiagnosis dokter dua minggu silam. Dengan segera, ayah dan kakak perempuanku diberi suntikan antitoksin, lalu diungsikan ke rumah saudara kami sampai masa penularan berlalu. Ibu menolak memasukkanku ke rumah sakit di kota yang masih asing baginya. Ia memilih tetap di rumah merawatku.

Pengurus kota menempelkan tanda peringatan berwarna kuning di pintu depan dan belakang rumah kami, tanda adanya penyakit menular. Untuk memastikan tak ada yang datang ke rumah selain dokter, dan kami tetap berada di dalam rumah, seorang polisi berjaga 24 jam di pintu rumah.

Jika kami mendapat surat, benda itu diletakkan di anak tangga; kemudian polisi mengetuk pintu dan mundur beberapa langkah. Ibu membuka pintu sedikit, lalu dengan cepat mengambil surat tersebut.

Pada masa itu persiapan Natal cukup dilakukan seminggu sebelumnya, tidak seperti sekarang belanja Natal sudah dimulai bulan Oktober. Kami menyambut Natal secara berbeda tahun itu. Karena serangan difteri, tak ada yang memikirkan Natal. Kondisi kesehatanku yang terpenting.

Sore 23 Desember, polisi mengetuk pintu. Ada surat dari saudara perempuan ibuku. Ia seorang Katolik, mengirimkan sekantong kecil medalion. "Aku tidak bisa berada bersamamu," tulisnya, "tetapi aku ingin membantu. Sematkan medalion yang telah diberkati pastor ini ke gaun tidur putrimu dan yakinlah." 

Ibuku mau melakukan apa pun untuk kesembuhanku, meskipun harapannya kecil. Ia menatap pipiku yang kurus dan mengompres dahiku. Mataku terus terpejam.

Sore keesokan harinya, ibuku mendengar panggilan lirih. Ia bergegas menuju ke kamarku dan menangis bahagia. Demamku turun dan aku membuka mata. Sambil mengucap syukur, ibu berlutut dan memelukku.

Namun, rasa leganya tiba-tiba lenyap lagi ketika mendengar kata-kata pertamaku, "Mama, ini malam Natal. Apa yang akan dibawakan sinterklas?" "Bukan, bukan!" seru ibuku. "Sayang, kau sakit lama sekali. Sekarang belum malam Natal." Meskipun ibu berusaha keras meyakiniku, aku tidur malam itu dengan bayangan indah menari-nari di kepalaku. 

Di lantai bawah ibuku panik. Bertahun-tahun kemudian ia bercerita, ia sempat ingin mengenakan pakaian ayahku dan mencoba menyelinap ke luar, ke toko di pojok jalan, untuk membelikanku hadiah. Tentu saja ia tak melakukannya. Ibu hanya berharap ia bisa menyakiniku bahwa Natal belum tiba.

Di pagi hari Natal, aku bangun dengan antisipasi khas anak-anak. Ibu masih setengah tertidur ketika polisi mengetuk pintu rumah kami. Ibu terkesiap kaget melihat di tangga ada sekeranjang besar berisi hidangan Natal untuk dua orang dan sejumlah mainan untuk gadis kecil berusia lima tahun.

Ibu melempar pandangan, bertanya kepada si polisi. Tetapi polisi hanya tersenyum dan angkat bahu. 

Kesehatanku pulih kembali, tanpa aku menyadari ada dua keajaiban pada Natal tahun itu. Ayah dan kakak perempuanku pulang dan kami melanjutkan hidup di kota tersebut. 

Seiring berjalannya waktu, ibuku menjalin persahabatan dengan tetangga - seorang perempuan Irlandia yang ramah, ibu enam anak. Mereka bersahabat selama bertahun-tahun, tetapi baru belakangan ibuku akhirnya mengetahui rahasia di balik keajaiban Natal tahun 1924. 

Sahabatnya - orang Irlandia itulah - yang saat itu meski belum saling mengenal, memahami sebagai sesama ibu. Ia tahu betapa sulit situasi yang dihadapi ibuku dan berbaik hati mengirim keranjang Natal kepada kami. Berkat dirinya, aku masih percaya pada sinterklas. Kau hanya perlu mencarinya di tempat yang tepat. (Gerrie Edwards)

(Dari: Buku Chicken Soup for Every Mom's Soul - Kisah-Kisah tentang Cinta dan Inspirasi untuk Para Ibu, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Heather McNamara, Marci Shimoff. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011)  

Selasa, 22 Desember 2015

Dibaca Jika Sedang Sendirian

Saat itu aku berusia 13 tahun. Keluargaku pindah dari Florida Utara ke California Selatan setahun sebelumnya. Aku menjadi remaja habis-habisan. Aku marah dan memberontak, tak mengindahkan kata-kata orangtuaku, terutama kalau perkataan itu menyangkut diriku.

Seperti kebanyakan remaja lain, aku berusaha melepaskan diri dari apa pun yang tidak sejalan dengan gambaranku tentang dunia. Aku menolak semua kasih yang ditawarkan. Malah, aku marah kalau kata "kasih" disebutkan.

Suatu malam, seusai hari yang sulit, aku masuk ke kamarku, menutup pintu, dan naik ke tempat tidur. Saat aku berbaring, tanganku terselip ke bawah bantal. Ada amplop, aku mengambilnya. Pada amplop itu tertulis, "Dibaca jika sedang sendirian."

Karena aku sedang sendirian, tak ada yang tahu aku membaca isinya atau tidak. Aku membuka amplop itu. Di atas secarik kertas tertulis, "Mike, Ibu tahu saat ini kehidupanmu sukar. Kau frustasi dan kami orangtuamu tak bisa membantumu dengan baik. Ibu sayang padamu sepenuh hati, apa pun yang kau lakukan atau katakan tak akan bisa mengubah itu. Ibu selalu ada untukmu kalau kau ingin mengobrol, tetapi kalau kau tidak ingin juga tak apa-apa. Pokoknya kau tahu, ke mana pun kau pergi dan apa pun yang kau lakukan dalam hidupmu, Ibu akan selalu sayang padamu dan bangga kau adalah anakku. Penuh sayang, Ibu."

Surat tersebut menjadi surat yang mengawali beberapa surat "Dibaca jika sedang sendirian." Surat-surat ini tak pernah aku ungkapkan, sampai aku dewasa.

Kini aku berkeliling dunia untuk menolong sesama. Aku sedang berada di Sarasota, Florida, mengajar di sebuah seminar. Di penghujung hari, seorang wanita menghampiriku dan menceritakan kesulitan yang dialami dengan anaknya. 

Aku menuturkan kepada wanita itu tentang kasih ibuku yang tak pernah pudar dan tentang surat-surat "Dibaca jika sedang sendirian." Beberapa minggu kemudian, aku mendapat kartu pos dari wanita tersebut yang mengatakan ia telah menulis surat pertama untuk anaknya.

Malam itu, saat aku naik ke tempat tidur, aku menyelipkan tanganku ke bawah bantal dan mengenang rasa lega yang kurasakan setiap kali aku menerima surat dari ibuku. Di masa remajaku yang bergolak, surat-surat itu menjadi peneguhan yang menenangkan hati bahwa aku tetap dicintai walaupun aku anak yang sulit.

Sebelum tidur, aku bersyukur kepada Tuhan atas ibuku yang tahu apa yang dibutuhkan olehku, seorang remaja yang sedang emosi. Kini, setiap kali lautan kehidupanku dilanda badai, aku tahu di bawah bantalku ada peneguhan yang menenangkan hati - kasih yang tetap, abadi, dan tanpa pamrih - dapat mengubah hidup. (Michael Staver, konsultan/motivator) 

(Dari: Buku Chicken Soup for the Mother's Soul - 73 Kisah yang Membuka Hati dan Menggugah Semangat Para Ibu, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Jennifer Read Hawthorne, Marci Shimoff. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000)  
 

Senin, 21 Desember 2015

Lakukanlah

Di mana tidak ada cinta kasih, 
lakukanlah cinta kasih, 
maka Anda akan menemukan cinta kasih.  

- St. Yohanes dari Salib (1542-1591), biarawan asal Spanyol


(Dari: Buku Renungan Harian Ruah edisi Oktober-Desember 2015)

Kamis, 17 Desember 2015

Pesan Bersandi dan Sahabat Sejiwa

Bertahun-tahun lalu aku mengirim sepucuk surat kepada Mary Carter, pengarang buku Tell Me My Name, dan mengatakan aku sebagai penulis pemula sangat menyukai novelnya. Mary membalas dengan surat indah yang selama bertahun-tahun menghiasi meja kerjaku.

Suratnya sekarang sudah hilang, tetapi aku masih ingat kata-katanya. Mary mengucapkan terima kasih kepadaku dan berharap aku bisa mengembangkan tulisanku sendiri. "Menulis," katanya, "seperti mengirimkan pesan bersandi ke ruang angkasa. Kamu tidak pernah tahu apakah di sana ada orang yang menerimanya." Mary senang mengetahui kali ini telah terjalin hubungan antara penulis dan pembacanya.

Aku mulai menulis untuk sebuah majalah. Aku ingat kekaguman dan ketidakpercayaanku ketika pertama kali menerima surat penggemar. Ah, berarti aku telah berhasil menjalin hubungan! Aku selalu ingat pada Mary Carter, maka ketika aku menerima surat dari penggemar, aku membalasnya.

Salah satu kisahku yang menyentuh hati orang banyak adalah sebuah esai yang mula-mula diterbitkan surat kabar lokal, lalu diterbitkan di Reader's Digest. Esai itu tentang mobil Plymouth Valiant bekas yang kami beli. Suamiku bekerja di Angkatan Udara, kami sering pindah. Mobil Valiant itu mengikuti kami dari Ohio ke New York, lalu ke Alabama, Virginia, dan California. 

Akhirnya, tiba saat untuk menjual mobil yang kami namai "Blueberry." Aku tahu suamiku sebenarnya tidak mau menjualnya, karena itu ia memasang harga tinggi dalam iklan di surat kabar. Seseorang yang keranjingan Valiant tua muncul dan tanpa menawar bersedia mengeluarkan lima lembar uang $100 dari dompetnya.

Tulisanku mendapat banyak tanggapan. Bukan tentang Blueberry atau keluargaku, tetapi mereka ingin aku mengetahui tentang mobil tua yang mereka miliki.

"Tulisan Anda benar-benar menyentuh perasaan saya," tulis seorang perempuan dari Michigan yang juga mempunyai mobil Valiant. Di bawah tanda tangannya ia menulis dalam tanda kurung "sahabat sejiwa."

Menyentuh sahabat sejiwa. Ketika kita menulis tentang hal-hal yang dirasakan orang di mana pun - saat sulit, saat menyenangkan, keputusasaan, kegembiraan - kita mengirim sandi dan sahabat sejiwa menangkapnya, hubungan pun terjalin. Dan itu sebabnya kita menulis. (Marilyn Pribus)

(Dikutip dari: Buku Harga Sebuah Impian - Para Penulis Berbagi Cerita, Chicken Soup for the Writer's Soul, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Bud Gardner. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2007)     

TULISAN ke-1.000

Ini adalah tulisan ke-1.000 yang diunggah di blog Revolusi Batin sejak pertama kali blog ini dipublikasikan pada 21 Februari 2011.

Terima kasih atas kesetiaan para anggota dan pembaca yang menyimak tulisan-tulisan di sini dari hari ke hari. Anda adalah sahabat-sahabat sejiwa! Mari kita terus menebar Kasih dan Kebaikan, menjadikan dunia ini sebagai Rumah Bersama yang penuh Kedamaian.

Senin, 14 Desember 2015

Alternatif yang Positif

Quote: Dalam setiap hal yang kita jalani, selalu ada kebebasan untuk memilih: memilih untuk tertawa atau menangis, memilih untuk sedih atau bahagia, memilih untuk marah atau bersabar. Mengapa kita tidak memilih alternatif yang positif? (Penulis tidak dikenal)

Wisdom: Ketika kita dihadapkan pada keadaan yang tidak menentu, mana yang kita pilih? Jika kita tahu bahwa bersedih, marah, atau tak mau menerima kenyataan - tidak akan memberi kita solusi, mengapa kita tidak berusaha tetap gembira dan tenang, agar pikiran kita jernih sehingga lebih mudah menemukan solusi?

(Dari: Buku Timeless Wisdom for Mother, karya Lita Ariani S. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2012) 

Rabu, 09 Desember 2015

Sakit Gigi

Ketika itu aku sakit gigi. Siang hari, tidak apa-apa. Tetapi di dalam ketenangan malam, ketika para dokter gigi sudah tidur dan toko obat tutup, ia mulai sakit.

Suatu hari, ketika aku semakin tidak sabaran, aku pergi ke dokter gigi dan menyuruhnya mencabut gigi terkutuk itu, yang membuatku nelangsa dan tidak bisa tidur karena mengubah keheningan malamku menjadi erangan dan amukan.

Sang dokter gigi menggelengkan kepalanya dan berkata, "Adalah bodoh mencabut gigi yang dapat diobati."

Lalu ia mulai membor sisi-sisi gigi dan membersihkan celah-celahnya. Ia menggunakan setiap sarana yang ada untuk memulihkan dan membebaskan gigi dari kerusakan. Setelah selesai membor, ia isi gigi itu dengan emas murni dan berkata dengan sombong, "Gigimu yang rusak sekarang lebih kuat dan lebih mantap daripada gigi-gigimu yang lain." Aku percaya kepadanya dan kubayar, lalu pulang.

Tetapi belum satu minggu, gigi itu kembali sakit. Siksaannya mengubah nyanyian-nyanyian indah jiwaku menjadi ratapan dan derita. 

Aku pergi ke dokter gigi lain dan berkata kepadanya, "Cabutlah gigi ini tanpa banyak tanya, sebab orang yang menderita tidak sama dengan orang yang menghitung penderitaannya."

Mematuhiku, dokter gigi itu mencabut gigiku. Sambil mengamatinya, ia berkata, "Untung engkau minta gigi rusak ini dicabut."

Di dalam mulut Masyarakat ada banyak gigi yang rusak, sampai ke tulang rahang. Tetapi Masyarakat tidak berupaya mencabutnya dan menyingkirkan derita yang diakibatkannya. Ia mencukupkan diri dengan tambalan emas. Banyak dokter gigi yang merawat gigi Masyarakat yang sakit dengan emas berkilau.

Banyak yang tunduk kepada rayuan reforman seperti itu. Kepedihan, penyakit, dan maut menjadi nasib mereka....

Kunjungilah pengadilan-pengadilannya dan saksikanlah perbuatan para pemberi keadilan yang bengkok dan bejat. Lihatlah bagaimana mereka bermain dengan pikiran rakyat yang sederhana seperti kucing bermain dengan tikus.

Kunjungilah rumah-rumah orang kaya yang diwarnai kesombongan, kepalsuan, dan kemunafikan.

Tetapi jangan lupa juga mampir di gubuk-gubuk orang miskin, di mana ketakutan, ketidaktahuan, dan kepengecutan, tinggal.

Lalu kunjungilah para dokter gigi yang kebas jari-jemarinya, para pemilik instrumen yang pelik, plester gigi serta pembius, yang menghabiskan hari-hari mereka menambal gigi-gigi bangsa ini untuk menutupi kerusakannya....

Kalau engkau sarankan "dicabut," mereka akan menertawakanmu sebab engkau belum belajar seni kedokteran gigi yang mulia, yang menutupi penyakit. 

Seandainya engkau bersikeras, mereka akan menghindarimu, dan berkata kepada diri sendiri: "Banyak idealis di dunia ini, mimpi-mimpi mereka lemah."

(Dikutip dari buku Renungan dan Meditasi, karya Kahlil Gibran. Penerbit Classic Press, 2003)

Kamis, 03 Desember 2015

Rekonsiliasi

Aku punya seorang teman lama yang kukenal sejak kami sama-sama di taman kanak-kanak. Setelah bertahun-tahun, persahabatan kami berkembang dan sangat berpengaruh dalam hidupku. Ia menjadi seperti anggota keluargaku. 

Persahabatan kami berlangsung lebih dari 38 tahun. Lalu, tiba-tiba ia tak peduli padaku. Kami menjadi seperti orang asing. Ia tak punya waktu lagi untukku. Jika aku meneleponnya, ia menjawab terburu-buru dan pendek saja. Ia tak mau lagi berlibur atau makan malam bersama.

Aku merasa tak berdaya dan tak mengerti. Bagaimana aku tahu apa yang salah, jika ia tak mau menjelaskannya kepadaku? Ia menutup diri bagiku. Kehilangan sahabat kurasakan seperti perceraian suami-istri. Pikiran dan kecemasan karena putus hubungan itu terus-menerus menjadi kemelut dalam diriku.

Kesembuhannya perlu waktu panjang. Ia tak bicara denganku selama 15 tahun. Selama itu aku belajar meringankan perasaan sakit hati dengan membuka diriku pada hubungan-hubungan baru. Walaupun aku masih peduli kepada temanku itu, aku sadar bahwa peduli padanya tidak berarti aku harus menderita karena dia. 

Suatu kali, aku pergi ke pasar swalayan untuk membeli bahan makan malam. Sepertinya aku masuk ke jalur antrean yang salah. Kasir mengumumkan ia hanya akan melayani orang yang ada di depanku, aku harus pindah ke kasir lain.

Tanpa memerhatikan ke mana aku pergi, aku membariskan kereta belanjaanku di belakang seseorang. Ketika aku memerhatikan, orang di depanku itu adalah teman lamaku.

Aku tersenyum padanya. "Hai, apa kabar?" tanyaku.

"Baik. Bagaimana keadaanmu?" ia menanggapi.

Aku kaget, memandang sekeliling. "Kamu bicara padaku?" aku balik bertanya. Lalu terjadi pembicaraan selama 20 menit. Banyak kata positif yang diucapkannya. 

Aku bertanya, mengapa kali ini ia mau bicara denganku? Katanya, ketika aku menyapanya, aku tersenyum. 

Saat menyetir mobil pulang ke rumah, aku takjub pada kekuatan pandangan mata dan sebuah senyuman. Senyuman merupakan berkat bagi orang yang kita senyumi. Dan senyuman membantu orang lain untuk tersenyum juga.

Kisah tentang teman lamaku itu masih terus berlanjut. Kami makan siang bersama beberapa kali sejak pertemuan di pasar swalayan. Penyembuhan batin dimulai. Sungguh tepat yang dikatakan Phyllis Diller (1917-2012), artis asal Amerika Serikat, "Senyuman adalah lengkungan yang meluruskan segala sesuatu." 

(Dari: Buku Tuhan Tahu Anda Stres, karya Anne Bryan Smollin. Penerbit Dioma, 2008)

Kamis, 26 November 2015

Dua Sepatu Kiri

Suatu kali aku diundang memberi ceramah dalam sebuah konferensi. Perjalanan dengan mobil dari rumahku di Albany ke Utica, New York, biasanya butuh waktu satu setengah jam. Ketika bangun pagi itu, aku lihat salju setebal dua puluh sentimeter dan masih terus turun.

Aku segera bersiap dan meraih apa saja yang aku perlukan, lalu bergegas ke mobil dengan memakai sepatu bot. Aku bermaksud ganti sepatu setiba di gedung. Aku terlambat lima menit. Aku melompat keluar mobil sambil meraih tas kerja dan sepatuku.

Aku terkejut mendapati satu sepatu berwarna biru dan satu lagi berwarna hitam. Yang lebih runyam, bukan hanya warna sepatu itu berlainan, tetapi ternyata kedua sepatu itu untuk kaki kiri. Tak mungkin aku memaksa kaki kananku memakai sepatu kiri!

Aku naik ke panggung dengan kaki terbungkus kaus kaki dan menjinjing dua sepatu yang berbeda warna. Aku memutuskan, yang lebih penting isi ceramahku, bukan penampilanku. Yang pasti, aku punya cerita pembukaan yang hebat. Aku mengisahkan apa yang baru saja kualami. Bisa datang ke tempat ceramah dalam keadaan selamat bagiku lebih penting daripada memakai sepatu yang tepat.

Sering kali, penyakit yang kita alami dapat membantu kita menyadari apa yang benar-benar penting dan apa yang kurang penting bagi kita. Temanku, Rose Ann, penderita penyakit Lou Gehrig - penyakit yang menyerang sel saraf di otak - menulis padaku tentang perayaan ulang tahunnya. "Dulu aku kerap mengeluh: ya Tuhan, ulang tahun lagi... Sekarang aku berkata: terima kasih Tuhan atas ulang tahun ini." 

Orang-orang dan waktu yang diberikan oleh kehidupan ini menjadi lebih penting. Betapa sering orang berkata bahwa kita kurang menghargai kesehatan kita, sebelum jatuh sakit. 

Kita biasanya lebih memikirkan cara agar kita sukses dan berusaha keras menepati jadwal pekerjaan kita, daripada memerhatikan dengan lebih baik hal penting yang ada di hadapan kita. Kita semua umumnya lamban memahami, seperti juga diriku, kecuali hari itu - saat aku menenteng dua sepatu kiri.

Kurangi kesibukan dan nikmatilah hidup. Dengan terus bergerak cepat, Anda bukan saja melewatkan pemandangan indah, tetapi juga kehilangan kesadaran ke mana Anda hendak pergi dan mengapa. - Eddie Cantor (1892-1964), penyanyi, komedian, dan penulis asal Amerika Serikat

(Dari: Buku Tuhan Tahu Anda Stres, karya Anne Bryan Smollin. Penerbit Dioma, 2008)

Senin, 16 November 2015

Guru yang Baik

Jika kita tidak menghindari kepedihan emosional atau tidak berusaha melarikan diri darinya, kita dapat menggunakannya sebagai guru kita. Ketika kita menghindari kepedihan emosional, kita menghindari pelajaran tertentu untuk pertumbuhan spiritual kita.

Keberanian kita merasakan kepedihan emosional memungkinkan kita melihat apa yang hendak diajarkan oleh kepedihan itu kepada kita. Saat kita merasakannya secara total, kepedihan itu menghilang.

Dengan mengambil sikap baru dalam menghadapi kepedihan emosional, kita memiliki peluang untuk bergerak ke situasi tertentu, yang tanpa sikap baru akan kita hindari.

Latihan

Hari ini, ambillah sikap baru dalam menghadapi kepedihan. Bersedialah menghadapi perasaan di dalam diri Anda dan perasaan yang menghampiri Anda. Ketahuilah, kemauan Anda untuk menghadapi perasaan itu akan memberi Anda tanggapan dan kekuatan tertentu, sehingga entah bagaimana, membuat perasaan tersebut hilang. Gunakan kepedihan emosional sebagai guru Anda. Hal itu akan menjadi guru yang baik jika Anda tidak melawannya.

(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Minggu, 08 November 2015

Berhenti Menipu Diri Sendiri



Essena O'Neill
Seleb Instagram Essena O’Neill (18 tahun) undur diri dari hingar-bingar media sosial. Padahal, banyak orang iri melihat kehidupan O’Neill yang sebelumnya gencar ia pamerkan lewat akun Instagram, YouTube, Tumblr, dan Snapchat.

“Tak ada yang keren dari dirimu, jika yang kamu lakukan hanya mengunggah foto-foto hasil editan ke media sosial untuk membuktikan kamu keren,” kata O’Neill dalam unggahannya di situs Let’s Be Game Changers. Di situs itu O’Neill mengunggah video-video tanpa sentuhan make-up dan baju mewah. Ia juga mem-posting hal-hal positif tentang musik, buku, kesetaraan gender, teknologi, dan makanan sehat. 

Menurut O'Neill, kecenderungan anak muda menghabiskan waktu berjam-jam menggulir linimasa media sosial menggoreskan luka mental tersendiri. Rasa minder, narsisme, ingin pamer, ingin diakui, hingga pada akhirnya memicu depresi.

Semua orang berlomba-lomba menunjukkan kehidupan paling sempurna di media sosial. Walau mereka (atau kita) harus berbohong untuk itu. Maniak media sosial ingin menampilkan wajah paling cantik, liburan paling mahal, dan prestasi paling gemilang. Padahal, foto-foto yang diunggah adalah hasil bidikan beratus-ratus kali dengan pengeditan super lama. 

"Saya menghabiskan kehidupan remaja saya untuk status sosial, penerimaan sosial, dan penampakan fisik yang basisnya adalah media sosial. Itu semua tak nyata. Itu semua manipulasi untuk saling membandingkan diri dengan orang lain," papar O’Neill yang memiliki lebih dari 265.000 pengikut di YouTube dan 702.000 pengikut di Instagram.

Hal itu tak membuat O'Neill bahagia. Namun, O'Neill tak menyalahkan Instagram atau para pendiri media sosial. Sebab, media sosial lahir dengan itikad mulia: memudahkan komunikasi antarmanusia, menembus jarak dan waktu. Hanya saja, pemanfaatannya telah berkembang jauh dari tujuan awal. 

Saat ini kita memasuki era di mana kehidupan seseorang diukur dari media sosial. Kesuksesan, kekayaan, kepintaran, kebaikan, dan popularitas dilihat dari tiga indikator: foto yang diunggah, jumlah follower dan like. Menurut O’Neill, manusia jadi lupa akan indahnya kehidupan nyata seperti bersosialisasi dengan orang-orang, mengobrol dan berdiskusi tentang hal-hal yang signifikan, berbagi, serta belajar hal-hal baru. 

Terlalu lama menggulir linimasa media sosial membuat manusia modern kehilangan produktivitas dan ide-ide brilian. “Jangan biarkan jumlah follower dan like mendefinisikan dirimu," kata O’Neill yang kini menggunakan akun-akunnya untuk mengkampanyekan gerakan "berhenti menipu diri sendiri lewat media sosial." 

(Sumber: http://tekno.kompas.com/read/2015/11/04/09050047/Ratusan.Ribu.Follower.dan.Like.Tidak.Bikin.Bahagia?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktswp)

Rabu, 04 November 2015

Kekhawatiran adalah Serangan

Kekhawatiran kita adalah bentuk rasa takut. Dan semua rasa takut berasal dari pikiran kita akan adanya serangan. Bila kita mengkhawatirkan seseorang atau sesuatu, berarti kita tidak yakin terhadap orang itu atau situasi tertentu.

Kekhawatiran kita mengatakan hal-hal negatif bisa terjadi, sehingga kita menggunakan kekuatan pikiran kita untuk menciptakan ketidakyakinan kita, memungkinkan elemen yang menakutkan dalam situasi tersebut.

Kekhawatiran menyerang situasi. Sebaliknya, dengan memilih untuk memberkahinya, kita akan terbantu membangun situasi yang berbeda dan mereka yang terlibat di dalamnya.

Latihan

Hari ini, setiap kali Anda merasa tergoda mengkhawatirkan seseorang atau sesuatu, cobalah berikan berkah Anda. Berkah Anda adalah kepercayaan dan pilihan positif Anda untuk yang terbaik, yang akan terjadi pada orang lain dan situasi tertentu.

(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Kamis, 29 Oktober 2015

Mengapa Terus Dilakukan?

Seorang pengantar surat kabar selalu memilih jalan pintas setiap kali mengantar surat kabar ke sebuah desa di lembah. Dengan melintas di antara padang rumput, ia menghemat perjalanan beberapa kilometer.

Di padang rumput itu ada banyak sapi yang merumput. Setiap kali ia melintas, selalu ada sapi yang terganggu sehingga berusaha mengejar dan menyeruduk si pengantar surat kabar.

Sekali waktu ketika hampir tiba di ujung jalan, pengantar surat kabar berpapasan dengan seorang guru bijak. Guru itu menyapanya, "Kau hampir kena seruduk, ya?" Pengantar surat kabar menjawab singkat, "Ya."

Kemudian ia melanjutkan jawabannya dengan tenang, "Begitulah yang terjadi setiap hari," ujarnya seolah diseruduk sapi bukanlah masalah baginya.

Dari kisah itu kita belajar: betapa sering kita membiarkan semua hal yang tidak baik dalam diri kita hanya karena alasan praktis, bahkan tidak sedikit dari kita yang menikmatinya sebagai suatu sensasi, sekali pun kita kehilangan ketenangan hidup.

Hal-hal yang tidak baik itu antara lain kemarahan, kebencian, rasa kesal, dendam, dan sikap ingin membalas. Sesungguhnya semua itu merusak jiwa kita dan mengganggu jalan kita. Bukankah jauh lebih menyenangkan jika kita mampu mengayuh sepeda kita sambil menikmati pemandangan dan bersenandung tentang keindahan kehidupan?

(Dari: Buku Momen Inspirasi - Renungan bagi Kesehatan Jiwa 3, karya Imanuel Kristo. Penerbit Andi-Yogyakarta, 2012)

Rabu, 21 Oktober 2015

Melihat Tuhan

Semua orang di sekeliling kita akan membantu kita. Tuhan menghampiri kita dalam ribuan samaran untuk menunjukkan kita jalan yang mendekatkan kita denganNya. 

Setiap orang akan membantu kita untuk mengingatkan kita - mereka sebenarnya adalah panggilan Tuhan untuk kita. Jika kita tak mencintai orang-orang yang bisa kita lihat, bagaimana kita bisa mencintai Tuhan yang tak bisa kita lihat?

Kemauan kita untuk menembus semua samaran ini akan memberi kita kesempatan mengenali Tuhan dalam diri setiap orang. Ketika kita tak membiarkan diri kita dibatasi oleh penilaian kita, kita dapat melihat Tuhan dalam diri mereka.

Dengan melihat Tuhan dalam diri semua orang, kita akan dapat merasakan kegembiraan setiap saat dan merasakan betapa kita dicintai.

Latihan

Hari ini, berlatihlah melihat Tuhan dalam diri siapa pun yang dekat dengan Anda. Tataplah mata mereka, pandanglah mereka lebih jauh, dan lihatlah Tuhan tersenyum kepada Anda. 

Saat Anda mengakui Anda melihat Tuhan dalam diri semua orang, nikmatilah cinta dan semua berkah yang diberikan Tuhan kepada Anda.

(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
 

Minggu, 18 Oktober 2015

Awal dari Cinta

Awal dari cinta adalah membiarkan mereka yang kita cintai sepenuhnya menjadi diri mereka sendiri, tidak mengubah mereka agar memenuhi gambaran kita. Jika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri kita yang kita temukan dalam diri mereka. 


Thomas Merton (1915-1968), 
rahib dan penulis


Senin, 12 Oktober 2015

Dengan Memberi, Aku Sembuh

Jika kita memilih untuk sepenuhnya menyerahkan diri, atau membantu orang lain, saat kita memiliki perasaan negatif, kita menciptakan terobosan.

Entah kita merasa malu, terluka, cemburu, takut, putus asa, hampa, tak berguna, sia-sia, atau tersesat; kita menciptakan kelahiran baru dengan memberi.

Ketika kita memberi, kita keluar dari kebekuan dan mengalir. Kita mengubah kesadaran diri dan siksa diri menjadi rahmat. Pemberian yang tulus menciptakan penerimaan - inilah salah satu sarana penyembuhan terbesar di dunia.

Latihan

Hari ini, cobalah lalui rasa sakit hati Anda dengan memberi. Apakah Anda merasa mati rasa? Apakah Anda merasa beku? Apa pun rasa sakit itu, pilihlah untuk memberi. Lihatlah sekeliling Anda, di manakah pemberian Anda akan memperbaiki situasi itu? Sekarang, rengkuhlah orang lain dan dukung dia. Saat Anda memberi kepada dia, segala sesuatu menjadi lebih baik bagi dia dan Anda.

(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
  

Rabu, 07 Oktober 2015

Lonceng Kecil di Leher Kucing

Keluarga tikus selalu ketakutan karena seekor kucing besar tinggal di rumah tempat mereka tinggal. Berkali-kali kucing besar membunuh tikus. 

Keluarga tikus sepakat melawan kucing pembunuh di rumah tersebut. Mereka ingin memasang lonceng kecil di leher kucing sehingga mereka tahu ke mana si kucing berjalan. Lonceng itu akan menjadi semacam tanda bahaya bagi keluarga tikus.

Tetapi, masalahnya siapa di antara mereka yang bersedia memasang lonceng di leher kucing? Keluarga tikus bersitegang. Masing-masing tikus berargumentasi menolak tugas itu sambil mengusulkan tikus lain yang melakukannya.

Tikus-tikus tidak lagi menjadi saudara bagi yang lain, karena mereka hanya memikirkan keselamatan diri sendiri. Tidak mungkin persaudaraan dibangun di atas kepentingan pribadi dan egoisme. 

(Dari: Buku Momen Inspirasi - Renungan bagi Kesehatan Jiwa 3, karya Imanuel Kristo. Penerbit Andi-Yogyakarta, 2012)
 

Minggu, 04 Oktober 2015

Suara Penuh Kasih

"Apa maksudmu, kamu tidak perlu mengikuti peraturan?" tanya Rick kepada putrinya Heather, dengan nada tak percaya.

"Temanku, Shelly, bilang kami tidak harus mengikuti peraturan," jawab Heather. "Temanmu itu salah. Kamu harus mengikuti peraturan!" kata Rick lagi. "Tidak, aku tidak mau," sanggah Heather. "Kamu harus!" Rick menegaskan.

Perdebatan itu terus berlanjut beberapa menit, sampai Jane - istri Rick - masuk ke kamar putri mereka dan dengan tenang berkata, "Rick, apakah kamu sadar kamu berdebat dengan anak berumur tiga tahun?" Kemudian ia berpaling kepada Heather sambil bertanya, "Kamu tahu apa arti peraturan?"

"Tidak," jawab Heather. "Ketika kamu akan masuk ke kelas, kamu dan Shelly berbaris. Itu salah satu contoh peraturan. Kamu tentu akan mengikutinya bukan?," sang ibu menjelaskan. "Ya," ujar Heather.

Jane lalu meninggalkan kamar Heather, diikuti Rick. "Agaknya aku tadi terlalu terbawa perasaan," gumam Rick sambil tersipu kepada istrinya.

Sangat mudah untuk terbawa perasaan. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa mendapati diri kita terlibat dalam konflik dengan orang lain, tanpa pernah tahu alasan sebenarnya. 

Pertengkaran dalam keluarga sering kali terjadi seperti itu. Alasan kebenciannya sudah lama terlupakan, namun permusuhannya berlanjut dari generasi ke generasi. 

Melanjutkan konflik semacam itu tanpa berusaha memahami satu sama lain, sama bodohnya seperti Rick yang berdebat dengan putrinya yang berumur tiga tahun. Dibutuhkan suara penuh kasih seperti Jane, ibu Heather, untuk menenangkan suasana. Kita pun dapat menjadi suara yang membawa kerukunan.

(Dari: Buku Nikmatilah Fajar Menyingsing bersama Allah, editor Daru Susilowati. Penerbit Gospel Press, 2002)    

Kamis, 01 Oktober 2015

Perjalanan di Kereta



Kehidupan seperti perjalanan di kereta. Kita naik. Kita turun. Kita kembali dan naik kereta lagi. Kadang kita mengalami kecelakaan dan penundaan keberangkatan. 

Di pemberhentian tertentu, kita memperoleh kejutan-kejutan. Sebagian kejutan mendatangkan momen kegembiraan; sebagian lagi menimbulkan kesedihan.
 
Ketika kita dilahirkan dan pertama kali ada di dalam kereta, kita bertemu orang-orang yang kita harapkan akan bersama-sama kita sepanjang perjalanan. Mereka adalah orangtua kita! Sayangnya, tidak demikian. Orangtua kita berada bersama kita selama kita benar-benar membutuhkan mereka. Mereka juga harus menuntaskan perjalanan mereka. Kita hidup dengan kenangan akan cinta, persahabatan, bimbingan, dan kehadiran mereka setiap saat.

Ada orang-orang lain yang naik kereta dan akhirnya menjadi sangat berarti bagi kita. Mereka adalah saudara-saudara kita, para sahabat dan teman; dengan mereka kita belajar mencintai dan menghargai.

Sebagian orang menganggap perjalanan mereka seperti wisata. Mereka hanya mau bersenang-senang dengan kita. Sebagian lain akan menjumpai berbagai kepedihan dan kehilangan dalam perjalanan mereka. Sedangkan sebagian lagi akan tetap tinggal di kereta, menawarkan bantuan bagi yang memerlukan.

Sebagian orang yang ada di kereta akan meninggalkan kesan mendalam bagi kita, ketika mereka turun dari kereta. Sebagian lain akan naik dan turun kereta dengan cepat, sampai-sampai mereka tidak meninggalkan kesan apa-apa dalam perjalanan kita.

Terkadang kita kecewa karena beberapa penumpang yang kita sayangi, memilih untuk pindah duduk ke gerbong lain, sehingga kita meneruskan perjalanan sendirian. Tak ada salahnya kita mencari mereka. Namun, setelah mereka ditemukan, kita mungkin tidak bisa duduk bersebelahan dengan mereka lagi, karena kursi di sebelah mereka telah terisi. 
   
Tidak apa. Perjalanan setiap orang diwarnai dengan harapan, impian, tantangan, kegagalan, dan perpisahan. Betapa pun, kita berusaha melakukan yang terbaik. Kita terus berupaya memahami rekan-rekan seperjalanan kita dan melihat yang terbaik dalam diri setiap orang. 

Ingatlah, di setiap momen dalam perjalanan kita, setiap orang yang menjadi rekan-rekan seperjalanan kita bisa menjadi lemah dan membutuhkan pertolongan kita. Mungkin kita juga mengalami keraguan dan terombang-ambing, semoga ktia dapat menemukan seseorang di kereta untuk mendukung dan memahami kita.  
 
Misteri terbesar dalam perjalanan kita adalah kita tidak tahu kapan kita akan tiba di pemberhentian terakhir. Kita juga tidak tahu kapan rekan-rekan seperjalanan kita akan sampai di pemberhentian terakhir mereka; bahkan orang yang duduk di samping kita, tidak kita ketahui.

Saya tentu akan sedih, ketika saya sampai di pemberhentian terakhir. Meninggalkan mereka yang dekat dengan saya. Namun, saya yakin suatu saat saya akan tiba di stasiun utama untuk bertemu kembali dengan mereka. Mereka semua membawa koper masing-masing, padahal sebagian besar dari mereka belum memiliki koper saat mereka pertama kali naik kereta ini.

Saya akan gembira bertemu kembali dengan mereka. Saya juga senang telah memberi kontribusi bagi koper mereka dan memperkaya hidup mereka, seperti mereka juga telah memberi kontribusi untuk koper saya dan memperkaya hidup saya.  

Kita semua berada dalam perjalanan di kereta. Kita perlu berupaya semampu kita untuk membuat perjalanan ini menyenangkan dan mengesankan, sampai tiba di pemberhentian terakhir dan turun dari kereta terakhir kali. 

(Dari The Train Ride, penulis tidak dikenal. Sumber: http://www.rogerwendell.com/life.html)