Cari Blog Ini

Selasa, 22 Desember 2015

Dibaca Jika Sedang Sendirian

Saat itu aku berusia 13 tahun. Keluargaku pindah dari Florida Utara ke California Selatan setahun sebelumnya. Aku menjadi remaja habis-habisan. Aku marah dan memberontak, tak mengindahkan kata-kata orangtuaku, terutama kalau perkataan itu menyangkut diriku.

Seperti kebanyakan remaja lain, aku berusaha melepaskan diri dari apa pun yang tidak sejalan dengan gambaranku tentang dunia. Aku menolak semua kasih yang ditawarkan. Malah, aku marah kalau kata "kasih" disebutkan.

Suatu malam, seusai hari yang sulit, aku masuk ke kamarku, menutup pintu, dan naik ke tempat tidur. Saat aku berbaring, tanganku terselip ke bawah bantal. Ada amplop, aku mengambilnya. Pada amplop itu tertulis, "Dibaca jika sedang sendirian."

Karena aku sedang sendirian, tak ada yang tahu aku membaca isinya atau tidak. Aku membuka amplop itu. Di atas secarik kertas tertulis, "Mike, Ibu tahu saat ini kehidupanmu sukar. Kau frustasi dan kami orangtuamu tak bisa membantumu dengan baik. Ibu sayang padamu sepenuh hati, apa pun yang kau lakukan atau katakan tak akan bisa mengubah itu. Ibu selalu ada untukmu kalau kau ingin mengobrol, tetapi kalau kau tidak ingin juga tak apa-apa. Pokoknya kau tahu, ke mana pun kau pergi dan apa pun yang kau lakukan dalam hidupmu, Ibu akan selalu sayang padamu dan bangga kau adalah anakku. Penuh sayang, Ibu."

Surat tersebut menjadi surat yang mengawali beberapa surat "Dibaca jika sedang sendirian." Surat-surat ini tak pernah aku ungkapkan, sampai aku dewasa.

Kini aku berkeliling dunia untuk menolong sesama. Aku sedang berada di Sarasota, Florida, mengajar di sebuah seminar. Di penghujung hari, seorang wanita menghampiriku dan menceritakan kesulitan yang dialami dengan anaknya. 

Aku menuturkan kepada wanita itu tentang kasih ibuku yang tak pernah pudar dan tentang surat-surat "Dibaca jika sedang sendirian." Beberapa minggu kemudian, aku mendapat kartu pos dari wanita tersebut yang mengatakan ia telah menulis surat pertama untuk anaknya.

Malam itu, saat aku naik ke tempat tidur, aku menyelipkan tanganku ke bawah bantal dan mengenang rasa lega yang kurasakan setiap kali aku menerima surat dari ibuku. Di masa remajaku yang bergolak, surat-surat itu menjadi peneguhan yang menenangkan hati bahwa aku tetap dicintai walaupun aku anak yang sulit.

Sebelum tidur, aku bersyukur kepada Tuhan atas ibuku yang tahu apa yang dibutuhkan olehku, seorang remaja yang sedang emosi. Kini, setiap kali lautan kehidupanku dilanda badai, aku tahu di bawah bantalku ada peneguhan yang menenangkan hati - kasih yang tetap, abadi, dan tanpa pamrih - dapat mengubah hidup. (Michael Staver, konsultan/motivator) 

(Dari: Buku Chicken Soup for the Mother's Soul - 73 Kisah yang Membuka Hati dan Menggugah Semangat Para Ibu, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Jennifer Read Hawthorne, Marci Shimoff. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000)  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar