Cari Blog Ini

Sabtu, 31 Desember 2011

Waktu

Waktu terlalu lambat 
bagi mereka yang menanti,
terlalu cepat 
bagi mereka yang takut,
terlalu panjang 
bagi mereka yang berduka,
terlalu singkat 
bagi mereka yang bergembira,

tetapi bagi mereka yang mencinta, 
waktu adalah abadi.

                        - Henry van Dyke (1852-1933)
                                penulis, pendidik, dan pendeta asal Amerika Serikat

            Selamat Memaknai Tahun 2012

Menerima Diri Sendiri

Orang tak akan mampu mencintai dirinya sendiri, apabila ia tidak bersedia menerima dirinya sendiri sebagaimana adanya. Bila setiap kali melakukan kesalahan kita mencerca diri sendiri atau bereaksi terlalu berlebihan terhadap setiap kesalahan serta kekurangan kita, berarti kita belum bisa sepenuhnya menerima diri sendiri. Kita perlu benar-benar merasa yakin bahwa kita mampu meningkatkan diri, sehingga kita bisa mengenali potensi diri yang kita miliki.

Menerima diri sendiri berarti menerima kenyataan bahwa kita tak akan pernah "selesai," melainkan selalu berada dalam proses atau perjalanan. Marilah kita terima hidup ini sebagai suatu perjalanan dan kita semua adalah pelancongnya yang berada di jalan menuju kemenangan, meskipun memiliki berbagai kendala dan keterbatasan.

(Dari: Buku Percaya dalam Diri Sendiri, karya Earnie Larsen & Carol Hegarty. Penerbit Professional Books, 1997)

Jumat, 30 Desember 2011

Bunga dan Ilalang

Kebajikan dan kejahatan itu bagaikan bunga dan ilalang. Anda tak perlu menyingkirkan ilalangnya, cukup tumbuhkan lebih banyak bunga. 

Jika Anda terus berfokus pada bunga, kebajikan dalam diri Anda atau orang lain, kebajikan itulah yang akan mereka tunjukkan kepada Anda atau kepada diri mereka sendiri. Kebajikan mereka akan tumbuh... tumbuh... dan tumbuh...

Nasihat saya kepada Anda, jika istri Anda bertengkar dengan Anda atau suami Anda begitu payah, maafkanlah pertengkaran itu, lupakanlah hal negatif itu. Jangan buang-buang waktu memikirkan atau mengingatnya. Namun, kapan pun pasangan Anda melakukan hal yang baik, ingatlah itu. Milikilah syukur ketimbang keluhan.

Jika Anda memiliki syukur ketimbang keluhan, Anda akan selalu melihat sifat baik orang-orang dan melupakan sifat buruk mereka. Sungguh mengagumkan, sifat baik mereka ternyata akan bertumbuh.

Banyak orang tertekan datang ke vihara saya. Beberapa orang memang memiliki hidup yang sangat berat, merasa mereka sudah tak punya harapan lagi, bahkan ingin bunuh diri. Hadapilah mereka dan bersikap baik terhadap sesuatu dalam diri mereka yang benar-benar bisa Anda hargai.

Ketika Anda melihat hal berharga itu - bunga itu, mereka akan menyadari, ada sesuatu dalam diri mereka yang benar-benar bisa Anda hargai dan bisa mereka hargai sendiri. Kebajikan pun mulai tumbuh.

(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2! - 108 (Lagi!) Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publication, 2011)

Kamis, 29 Desember 2011

Kebajikan

Aku bisa memimpikan alam semesta yang penuh kebajikan, atau aku dapat mengamalkan kebajikan di mana aku berada.

Khayalan versus kenyataan.

Ada di antara kita yang dari sifatnya memang aktivis, dan ada di antara kita yang tak cocok dengan peran tersebut. 

Keduanya bukan baik atau buruk - hanya saja berbeda.

Aku bukan aktivis, tetapi dengan menjalani kehidupanku secara berintegritas, aku akan melakukan yang mungkin bagiku.

Diriku yang telah diubah, pertama-tama memengaruhi keluargaku, kemudian teman-temanku, desaku, bangsaku, dan akhirnya alam semesta.

Entah besar atau kecil, kontribusiku itu penting... dan mungkin.

(Dari: Buku Tao Pemulihan, karya Jim McGregor. Penerbit Lucky Publishers 2003)

Yang Menyelamatkan

Sepuluh tahun lalu, segala sesuatu menyerangku dari segala arah. Aku mengalami depresi dan berpikir untuk bunuh diri. Aku pernah mencoba bunuh diri di sebuah motel, tetapi seorang pelayan pembersih kamar menyelamatkanku.

Setelah keluar dari rumah sakit, aku masih tetap bertekad untuk mengakhiri hidupku. Aku mulai mengumpulkan berbagai macam pil. Kalau aku pergi beribadah untuk mencari jawaban, aku akan memandang sekelilingku untuk melihat apakah aku mungkin bisa gantung diri di langit-langit bangunan itu.

Dua bulan kemudian, aku kembali berusaha bunuh diri. Aku pergi ke sebuah kota kecil dengan membawa 300 pil. Seorang teman berhasil melacak jejakku ke tempat itu. Tiga teman lain membujukku masuk rumah sakit. Aku berjalan ke rumah sakit dengan membawa 300 pil itu dan masih tetap bertekad bunuh diri di sana.

Ketika sedang duduk di lobi, aku mengambil majalah Reader's Digest dan membukanya sambil lalu. Halaman yang kubuka ternyata memuat artikel berjudul Sebelum Anda Bunuh Diri. Di artikel itu disebutkan beberapa alasan kuat untuk memilih tetap hidup daripada bunuh diri. Aku lalu memanggil seorang perawat dan memberikan semua pil yang kusembunyikan.

Artikel di majalah tersebut telah menyelamatkan hidupku. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, dan sampai sekarang aku baik-baik saja. (Dikutip dari sebuah kolom di suratkabar, September 1995)

Terkadang yang dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa dan menyembuhkan hati hanyalah sepatah kata ramah dan pesan yang mengandung harapan dan inspirasi.

(Dari: Buku Small Miracles - 68 Kisah Nyata tentang Kebetulan-Kebetulan Tak Terduga yang Memperkaya Jiwa, karya Yitta Halberstam & Judith Leventhal. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000)

Rabu, 28 Desember 2011

Ular dan Merpati

Perhatikan kebijaksanaan yang bekerja pada merpati, bunga, pohon, dan seluruh alam. Itulah kebijaksanaan alam. Di dalam diri kita juga bekerja kebijaksanaan itu, yang bukan hasil kerja otak kita. Kebijaksanaan alam justru kita temukan pada orang-orang yang kita sebut "primitif," yang begitu sederhana dan bijaksana seperti merpati.

Kita yang menganggap diri lebih maju telah mengembangkan kebijaksanaan jenis lain, yakni kecerdikan otak. Kita sadar, kita dapat menjadikan alam lebih baik. Kita dapat mengupayakan rasa aman, perlindungan, umur panjang, kecepatan, dan kenyamanan yang tidak dikenal orang-orang primitif. Namun, tantangan kita adalah mendapatkan kembali kesederhanaan dan kebijaksanaan "merpati" tanpa kehilangan kecerdikan otak "ular."

Bagaimana caranya? Melalui penyadaran bahwa setiap kali Anda berusaha menguasai alam dengan melawannya, Anda hanya merusak diri sendiri, karena alam adalah keberadaan Anda sendiri. Melawan alam bagaikan tangan kanan harus melawan tangan kiri. Inilah yang dialami sebagian besar orang di dunia. Mereka menjadi mati, macet, dan tidak kreatif sebab terkunci dalam konflik dengan alam. Karena itu, upayakanlah keselarasan antara alam dan otak Anda.

Pertama, pikirkan perubahan yang Anda inginkan dalam diri Anda. Apakah Anda berusaha memaksakan perubahan tersebut pada kodrat alami Anda, agar menjadi sesuatu yang direncanakan oleh ego? Inilah saat ular bertarung dengan merpati. Jika Anda membiarkan realitas berubah menurut rencana alam bukan menurut rencana Anda, maka Anda telah memiliki gabungan sempurna antara ular dan merpati.

Kedua, perhatikanlah tubuh Anda dan bandingkan dengan tubuh hewan di lingkungan alaminya. Hewan tak pernah makan atau minum sesuatu yang tidak baik bagi tubuhnya. Hewan bekerja dan beristirahat sesuai kebutuhannya. Itu semua karena hewan "mendengarkan" tubuhnya dan membiarkan dirinya dibimbing kebijaksanaan tubuh. Seandainya tubuh Anda bisa berbicara, apa yang akan dikatakannya kepada Anda?

Ketiga, bertanyalah pada diri sendiri, seberapa dekat hubungan Anda dengan alam, pohon, bumi, rumput, langit, angin, hujan, matahari, burung, bunga, dan hewan? Sejauh mana Anda mengamati, merenungkan, mengagumi, dan mengidentifikasikan diri dengan alam? Terlalu lama menjauhkan diri dari unsur-unsur tersebut akan membuat tubuh Anda layu, lemah, dan rapuh sebab tercerabut dari akarnya.

(Dari: Buku Dipanggil untuk Mencinta - Kumpulan Renungan, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Kanisius, 1997)

Selasa, 27 Desember 2011

Tak Pernah Kesepian

Beberapa tahun silam, saya kebetulan menyeberangi sebuah desa dan memasuki sebuah gubuk yang sangat reot. Seorang wanita tua yang buta duduk di lantai gubuk yang bobrok itu. Ia juga menderita cacat dan hidup dalam kepapaan.

Karena saya menemukannya dalam keadaan sangat mengenaskan seperti itu tanpa seorang pun menemaninya, saya berkata kepadanya, "Ibu, engkau pasti merasa sangat kesepian." "Oh, sama sekali tidak," jawabnya dengan suara bening yang jelas. "Tetangga-tetangga sekitar sini mencintai saya dan melakukan semua hal yang saya butuhkan."

"Tetapi Bu, di malam hari, bagaimana Ibu bisa hidup sendiri di tengah badai yang mengamuk dan di bawah cucuran air hujan yang masuk lewat atap gubuk ini?" tanya saya penuh keheranan. Sekali lagi ia berkata, "Saya tidak merasa kesepian. Saya bahagia, pada hari cerah maupun pada saat hujan. Tetangga-tetangga yang baik memenuhi keperluan saya yang tak terlalu banyak."

Ada sesuatu yang terkandung dalam kata-katanya, membuat saya merasa wanita miskin yang buta ini memiliki rahasia kebahagiaan tersembunyi. Saya kemudian duduk bersimpuh di dekat kakinya. Saya menatap wajahnya yang berseri-seri. Saya terus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan, agar ia membuka rahasianya kepada saya.

Akhirnya ia berkata, "Saya tak merasa kesepian karena Sang Sumber Kasih selalu menyertai. Di tengah malam, ketika semua orang tidur, saya memanggilNya dan Ia datang. Dengan suara langkah kaki yang tak terdengar Ia selalu datang. Saya berbicara kepadaNya, dan Ia berbicara kepada saya. Dengan memilikiNya, saya tak lagi membutuhkan apa pun. Ia adalah segalanya bagi saya. Sesungguhnya, Ia adalah Sang Mahatunggal dalam segala sesuatu."

Saat saya mendengarkan kata-kata bijaknya, saya membungkuk untuk membersihkan butiran-butiran debu yang menempel di kedua kakinya. Kedua mata saya terasa hangat oleh air mata. Suara saya tercekat emosi saya sendiri. Bagi ibu ini, Allah merupakan kenyataan hidup.

"Apa pun yang saya perlukan untuk kebaikan saya, Allah selalu mengirimkannya untuk saya. Dan apa pun yang datang kepada saya, berasal dari Allah untuk kebaikan saya," lanjutnya. "Tak akan pernah ada kebahagiaan sejati tanpa Allah. Di dalam kehendakNya, kita dapatkan kedamaian. Semakin kita memasrahkan diri kepada kehendakNya, jiwa kita semakin dipenuhi sukacita," tambahnya.

Wanita miskin dan buta itu adalah seorang pencinta Allah yang sejati. Ia tinggal dan bergerak di dalam kehadiran Allah, Kekasihnya. Kenyataan itu membuatnya bebas dari sakit dan kecemasan akan hidup, bebas dari rasa takut, nafsu, dan kemarahan, bebas dari semua perasaan ke-aku-an. Ia telah menemukan rumahnya di dalam Sang Sumber Kasih.

(Dari: Buku Saat Chung Tzu Kehilangan Istri - Kumpulan Kisah Bijak, karya J.P. Vaswani. Penerbit Kanisius 2006)

Senin, 26 Desember 2011

Mengenal Roh Kebenaran

Roh Kebenaran merupakan suatu entitas Roh yang tidak memiliki substansi, tekstur, dan warna. Ia tidak bisa dijelaskan atau diilustrasikan. Penjelasan atau ilustrasi tentang Roh Kebenaran hanyalah proyeksi pikiran, tetapi bukan Roh Kebenaran yang sesungguhnya. 

Kalau kita hidup dalam Kebenaran, maka kita hidup bukan dalam ide tetapi dalam Roh. Itu bukan konsep, teori, gagasan. Roh Kebenaran atau Kebenaran yang Hidup seperti halnya Cinta. Ia tidak bisa dijangkau dengan pikiran, emosi, atau indra kita.

Roh Kebenaran tidak bisa dikejar. Ia datang sendiri sebagai berkah di padang gurun kekosongan batin. Ia tidak bisa dikenali atau didekati. Ia sendiri yang mendekati. Ia sendiri yang bisa menunjukkan wajahNya, sehingga bisa dilihat tanpa objek yang terlihat. Ia sendiri yang bisa memperdengarkan suaraNya, tanpa objek yang bersuara. Ia sendiri yang bisa membuat terpahami, tanpa meninggalkan jejak memori.

Selama kita hidup dengan semangat dunia, maka Roh Kebenaran itu tak bisa dikenali, sekalipun mungkin Ia menunjukkan wajahNya. Roh Kebenaran datang ketika arus dunia dalam diri kita berhenti; ketika indra, pikiran, dan emosi yang bergerak terpecah-pecah berhenti.

Ketika kita bergerak di luar arus dunia dari saat ke saat, maka Roh Kebenaran datang mendekat. Pada saat kita sungguh sadar bahwa kita terjebak pada yang serba-terbatas, saat itu pula ada sentuhan Yang Tak Terbatas. Pada saat kita sungguh sadar bahwa kita hanya digerakkan oleh yang dikenal, saat itu pula ada pengenalan akan apa Yang Tak Dikenal. 

Pada saat kita sungguh sadar bahwa kita terpenjara dalam kepalsuan, saat itu pula Kesejatian terlihat. Pada saat kita sungguh sadar bahwa segala sesuatu hanya sementara, saat itu pula pintu cakrawala Keabadian terkuak.

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Minggu, 25 Desember 2011

Ungkapan Cinta

Jimi dan Della, pasangan muda yang hidup miskin, tetapi keduanya saling mencintai. Menjelang Natal, Della memikirkan hadiah untuk Jimi. Ia ingin memberi Jimi kejutan berupa rantai yang terbuat dari emas untuk arloji suaminya. Tetapi, ia tak punya cukup uang. Ia memutuskan memotong rambutnya yang indah dan panjang, lalu menjualnya untuk membeli rantai emas itu.

Ketika Natal tiba, ia pulang ke rumah sambil membawa kotak berisi rantai arloji emas. Della merasa khawatir. Ia tahu Jimi sangat mengagumi rambutnya yang panjang. Mungkin Jimi akan marah, jika mengetahui rambutnya telah dipotong.

Saat menginjak tangga teratas menuju apartemen mungil mereka, Della membuka pintu dan sangat terkejut mendapati Jimi sedang menunggunya. Ia melihat tangan suaminya memegang kotak terbungkus rapi berisi hadiah untuknya.

Sewaktu Della membuka syalnya, Jimi melihat rambut Della telah dipotong pendek. Air matanya mengalir, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian, ia menyerahkan hadiah Natalnya kepada Della. Saat Della membuka hadiah dari Jimi, ia hampir tak percaya pada apa yang ia saksikan. Dalam kotak itu ada satu set sisir perak antik untuk rambutnya yang panjang.

Dan saat Jimi membuka hadiah dari Della, ia juga terkejut. Dalam kotak itu ada rantai emas untuk arloji sakunya. Della kemudian menyadari, Jimi telah menggadaikan arloji emasnya untuk membeli satu set sisir perak sebagai hadiah untuknya.

Sesuatu yang lebih indah daripada hadiah-hadiah mereka adalah cinta yang mereka ungkapkan lewat pemberian itu. (saduran The Gift of the Magi karya O. Henry 1862-1910)

(Dari: Buku Percikan Kebijaksanaan - Rangkaian Kisah Keutamaan Hidup, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2003)

Sabtu, 24 Desember 2011

Berubah Total

Salah satu cerita terkenal berlatar Natal adalah A Chistmas Carol karya Charles Dickens (1812-1870) yang pertama kali dipublikasikan tahun 1843. Kisah ini bertutur tentang tokoh Ebenezer Scrooge - seorang kaya yang sangat egois. Ia berambisi memupuk harta kekayaan, tanpa memerhatikan kebutuhan orang-orang di sekitarnya, bahkan keponakannya sendiri.

Di malam Natal, Scrooge didatangi roh kawannya, Jacob Marley, yang telah meninggal. Marley mengatakan, Scrooge akan mengalami nasib sama seperti dirinya, jika tidak mengubah cara hidupnya. Malam itu pula tiga hantu masa lalu, masa sekarang, dan masa depan mendatanginya; mengajak Scrooge melihat kehidupannya di tiga masa tersebut. Peristiwa itu mampu mengubah total kehidupan Scrooge, menjadikannya seorang yang murah hati dan memerhatikan sesama.

Kisah Scrooge adalah gambaran sesosok pribadi yang memperoleh pencerahan, setelah mengalami malam gelap - ketika ia didatangi roh kawannya dan tiga hantu. Scrooge bangun keesokan hari dengan perasaan ringan, yang mencerminkan sebuah kelahiran baru. Egonya memudar, berganti dengan belas kasih.

Dalam hidup kita pun tak jarang terjadi peristiwa tertentu yang membuat kita sadar akan kekeliruan kita, membangunkan kita dari tidur panjang, dan menggugah keberadaan kita saat ini. Semua terpulang kepada kita masing-masing: apakah kita mau berubah total atau menganggap peristiwa itu tak bermakna.

Jumat, 23 Desember 2011

Sukses Bukanlah Sukses

Sukses dan ketenaran menuntut upaya luar biasa, dan sering kali menuntun seseorang ke sikap merasa diri benar.

Bahkan kita yang kehidupannya tak terkenal pun,  bisa dibebani oleh rasa diri benar.

Sikap pamer merampas diri kita yang sesungguhnya. Sesumbar menjadikan kita bahan olokan. Menyombongkan diri menjadikan kita tampak konyol.

Terlalu sukses membuat yang lain benci. 
Tekanan menjagai harta benda dan posisi kita menjauhkan kita dari kedamaian dan ketentraman.

Aku sungguh sukses ketika telah kutemukan tempat yang menjadi hakku di alam semesta dan ketika telah kulayani umat manusia tanpa mengetahui bagaimana caranya. 

(Dari: Buku Tao Pemulihan, karya Jim McGregor. Penerbit Lucky Publishers, 2003)

Kebesaran

Kebesaran terkadang demikian sempurna, sehingga menjadi ilusi.
Kebesaran yang lain sering kali tidak jelas dan sulit dikenali, tetapi nyata.

Aku bisa menjadi besar tanpa menjadi sempurna dan tanpa siapa pun mengetahui bahwa aku besar.

Aku tak perlu menjadi orator besar untuk mengatakan bahwa aku mengasihimu dan bersungguh-sungguh mengatakannya.

Aku tak perlu menjadi orang yang sempurna untuk berbagi ketidaksempurnaanku denganmu.

Aku tak perlu menjadi seorang yang jenius untuk berdebat denganmu dan memahamimu.

Kejujuran dan kesederhanaan, itulah yang besar. 

(Dari: Buku Tao Pemulihan, karya Jim McGregor. Penerbit Lucky Publishers, 2003)

Kamis, 22 Desember 2011

Kisah Seorang Ibu

Seorang ibu muda mulai menapaki kehidupannya. “Apakah jalannya panjang?” tanyanya. Pemandunya berkata, “Ya, dan jalannya sulit. Tetapi akhir jalan ini akan lebih baik daripada awalnya.”

Ibu muda itu bahagia. Ia tidak percaya segala sesuatu akan lebih baik daripada tahun-tahun ini. Ia bermain bersama anak-anaknya, mengumpulkan bunga-bunga di sepanjang perjalanan. Matahari bersinar dan hidup terasa baik. Ibu muda itu berseru, “Tidak ada hari yang lebih baik daripada hari ini.” 

Malam pun tiba, angin ribut bertiup. Jalan gelap. Anak-anak gemetar kedinginan dan ketakutan. Ibu muda itu menarik mereka dekat dengannya dan menyelimuti mereka dengan mantelnya. Anak-anak itu berkata, “Ibu, kami tidak takut karena engkau berada dekat kami. Tidak ada bahaya yang dapat menimpa kami.” Kemudian ibu itu berkata, “Ini lebih baik daripada terang di siang hari, karena aku telah mengajarkan anak-anakku KEBERANIAN.”

Ketika pagi tiba, tampak sebuah bukit terbentang. Mereka mendaki, semakin lama anak-anak semakin letih. Ibu muda itu tak henti menyemangati anak-anaknya, “Sabarlah anak-anakku, sebentar lagi kita akan tiba.” Maka, anak-anak itu terus mendaki. Ketika tiba di puncak, anak-anak itu berkata, “Kami tak mungkin dapat melakukannya tanpa kau, Ibu.” Ketika berbaring  malam itu, ibu muda itu menatap bintang-bintang dan berkata, “Hari ini lebih baik daripada hari sebelumnya, karena anak-anakku telah belajar KETABAHAN dalam menghadapi kesukaran.” 

Hari berikutnya tampak awan aneh yang menutupi seluruh bumi – awan perang, kebencian, dan kejahatan. Anak-anak itu meraba-raba dan tersandung, Sang ibu berteriak, “Hati-hatilah! Angkat mukamu ke Cahaya.” Anak-anak itu memandang ke atas, di atas awan aneh itu mereka melihat Kemuliaan Kekal yang menuntun mereka keluar dari kegelapan. Malam itu sang ibu berdoa, “Inilah hari terbaik, karena hari ini aku telah MEMPERLIHATKAN ALLAH kepada anak-anakku.”

Hari demi hari berlalu, ibu itu semakin tua. Ia sangat letih. Anak-anaknya sudah besar dan kuat, serta berjalan dalam iman dan keberanian. Ketika jalan terasa sulit, mereka menolong ibu mereka, bahkan ketika jalan terasa berat, mereka menuntun dan menggendong ibu mereka. 

Akhirnya mereka tiba di bukit. Dari sana mereka dapat melihat jalan yang licin dan pintu emas yang terbuka lebar. Sang ibu berkata, “Aku telah sampai pada akhir perjalananku. Sekarang aku tahu bahwa akhir lebih baik daripada awal, karena anak-anakku telah dapat berjalan sendiri.” Anak-anaknya menjawab, “Engkau akan selalu bersama kami, Ibu, bahkan pada saat engkau telah melewati pintu emas itu.”

Mereka berdiri dan melihat ibu mereka meneruskan perjalanan seorang diri. Pintu emas itu tertutup, setelah sang ibu melewatinya. Mereka berkata satu sama lain, “Kita tidak dapat melihat Ibu lagi, tetapi ia masih tetap bersama kita. Seorang ibu seperti Ibu kita lebih dari sebuah kenangan. Ibu adalah suatu kehadiran yang hidup.” (Temple Bailey) 
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-4, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor 2002)

Rabu, 21 Desember 2011

Apa yang Terjadi Jika Tidak Terjadi?

Untuk mengatasi rasa takut, kita tidak boleh hanya memikirkan segala hal yang bisa mengakibatkan kegagalan, namun juga harus ikut memasukkan semua hal yang bisa berjalan mulus.

Kisah favorit saya datang dari filsuf dan pemandu spiritual di zaman kita yang bernama Winnie the Pooh. Winnie, beruang lembut tak pernah sekolah. Ia memiliki otak kecil, karena itu ia begitu bijaksana. Sedangkan Piglet, babi yang paranoid, selalu dihantui ketakutan. Mereka bersahabat karib.

Suatu hari, mereka berjalan pulang melalui hutan. Saat itu angin bertiup makin kencang, padahal mereka masih jauh dari rumah. Piglet takut pohon-pohon tumbang karena badai. Ia berpegangan erat pada Winnie sambil berkata, "Aku tak bisa melanjutkan! Aku takut! Apa yang akan terjadi jika pohon tumbang dan kita berada di bawahnya?"

Sekejap saja Winnie merasa takut. Namun, kebijaksanaan muncul dalam dirinya. Ia berkata, "Apa yang akan terjadi jika pohon tidak tumbang dan tidak jatuh menimpa kita?" Dengan penyadaran itu, semua rasa takut berlalu. Mereka pulang dengan selamat.

Rasa takut: apa yang terjadi jika sesuatu yang buruk terjadi. 
Pemusnah rasa takut: apa yang terjadi jika itu tidak terjadi.

(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2! - 108 (Lagi!) Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit

Selasa, 20 Desember 2011

Semua akan Diruntuhkan

Bayangkan orang yang lamban karena tubuhnya diganduli lemak berlapis-lapis. Seperti itulah pikiran Anda, dapat menjadi lamban karena bertimbun lapisan lemak. Hampir setiap orang ternyata punya pikiran semacam itu, pikiran yang tumpul, menganggur, terbungkus lapisan lemak, tak mau diganggu, enggan dibangunkan.

Lapisan-lapisan lemak itu adalah semua keyakinan yang Anda pegang, semua kesimpulan Anda mengenai orang-orang dan segala sesuatu, serta semua kebiasaan dan kelekatan Anda. Anda terpenjara oleh kepercayaan, tradisi masyarakat, budaya, gagasan, prasangka, kelekatan, dan ketakutan yang terbentuk dalam pengalaman masa lampau.

Dinding-dinding itu berlapis-lapis mengurung Anda, seakan-akan mustahil Anda mampu menembusnya untuk menikmati kekayaan hidup, cinta, dan kebebasan yang ada di balik benteng penjara Anda. Apa yang dapat Anda lakukan untuk merobohkan dinding penjara itu?

Pertama, sadarilah bahwa Anda dikelilingi dinding-dinding penjara. Pikiran Anda selama ini terlelap dan tak pernah digunakan lagi. 

Kedua, pandanglah dinding-dinding itu. Sediakan waktu khusus hanya untuk meneliti gagasan, kebiasaan, kelekatan, dan ketakutan Anda tanpa menghakimi atau mengutuk. Pandanglah mereka dan mereka akan hancur.

Ketiga, gunakan waktu untuk mengamati segala sesuatu di sekitar Anda. Lihatlah sungguh-sungguh - seolah-olah baru pertama kali Anda melihat - wajah sahabat Anda, dedaunan, pepohonan, dan burung-burung yang beterbangan.

Keempat, yang paling penting, duduklah dengan tenang dan amatilah bagaimana pikiran Anda berfungsi. Di dalam pikiran Anda ada aliran pemikiran, perasaan, dan reaksi yang terus-menerus. Amatilah semua itu seperti Anda melihat sungai atau film. Apakah Anda bisa dikatakan sungguh-sungguh hidup, kalau tak sadar akan pikiran dan reaksi diri sendiri?

Hidup yang tak disadari tidaklah berharga. Hidup seperti itu bahkan tak dapat disebut hidup, melainkan sekadar keberadaan mekanis dan otomatis. Karena itu, amatilah, perhatikanlah, pertanyakanlah, dan selidikilah, maka pikiran Anda akan kembali hidup. Lapisan-lapisan lemak itu akan rontok mengelupas, dan hidup Anda akan menjadi bersih, bergairah, dan aktif. Dinding penjara Anda akan roboh sampai tak ada batu yang tersisa. Anda akan mengalami realitas secara langsung.

(Dari: Buku Dipanggil untuk Mencinta - Kumpulan Renungan, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Kanisius, 1997)
 

Senin, 19 Desember 2011

Busur tanpa Tali

Suatu hari, Aesop - penulis fabel Yunani (620-564 SM) - sedang bermain dengan anak-anak, berteriak dan tertawa bersama mereka. Seorang Yunani yang kebetulan lewat sangat heran dengan perilaku Aesop. Menurutnya, Aesop yang sudah dewasa hanya membuang-buang waktu dengan bermain bersama anak-anak.

Aesop mengambil sebuah busur dan melepaskan talinya. Ia bertanya kepada orang tersebut, "Orang bijak, katakan kepadaku apa makna busur tanpa tali?" Pria Yunani itu bingung, "Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Katakan apa artinya."

Aesop menjawab, "Jika engkau terus menyimpan busur dalam keadaan melengkung karena tarikan talinya, busur itu akan kehilangan kelenturannya. Jika engkau biarkan busur mengendur, ia akan menjadi lebih bagus untuk digunakan."

Sebagian besar dari kita sama seperti busur yang selalu dilengkungkan itu, selalu sangat tegang. Kita perlu mengendurkan diri kita, rileks dari waktu ke waktu, sehingga kita bisa menjadi "lebih baik untuk digunakan," ketika kita harus bertindak. Agar bisa rileks, kita perlu belajar untuk "tidak memikirkan sesuatu."

(Dari: Buku Saat Chung Tzu Kehilangan Istri - Kumpulan Kisah Bijak, karya J.P. Vaswani. Penerbit Kanisius, 2006)

Membangkitkan Inteligensi


Manusia memiliki mekanisme pertahanan diri yang lebih kompleks atau lebih canggih dibandingkan binatang, karena manusia memiliki intelek. Tanpa intelek manusia tidak bisa bertahan hidup. Namun, di sisi lain, intelek menciptakan masalah-masalah psikologis yang tak terkira dampak buruknya bagi kehidupan.

Meskipun banyak bicara tentang pemecahan masalah, kesadaran, pencerahan, keselamatan, kebebasan, perdamaian, keadilan, diri, Roh, Tuhan, dan seterusnya, kebanyakan dari kita hanya berhenti pada teori atau intelek. Tetap saja kebanyakan dari kita belum menyentuh secara aktual akar dari segala kekacauan yang ada dalam batin kita sendiri. 

Akar kekacauan itu tidak lain adalah gerak intelek yang melenceng dari tempatnya yang benar. Kekacauan itu tetap ada, selama kita tidak menyadari batas-batas intelek dan mendudukkan kembali intelek pada tempatnya yang benar.

Untuk melihat kekacauan yang diciptakan intelek ini secara aktual, bukan teoretis, dibutuhkan kepekaan. Batin mesti bebas. Dengan menyadari ketidakbebasan atau keterbelengguan batin, ada kemungkinan kebebasan itu muncul.

Mari kita menyadari belenggu batin oleh intelek itu sendiri. Kita telah dididik dalam lingkungan tertentu. Kita memiliki pandangan, doktrin, kepercayaan tertentu. Kita juga memiliki kecenderungan-kecenderungan halus dalam batin yang secara emosional kita lekati. Pandangan dan sikap ini telah menjadi otoritas dalam batin sebagai penyaring atas segala sesuatu yang ingin kita terima atau kita tolak,  sesuai dengan kecenderungan pribadi. Akibatnya, realitas tidak terpahami secara langsung, karena kita memahami menurut keinginan, harapan, dan kesimpulan-kesimpulan pribadi.

Kalau itu semua dilihat secara aktual, secara langsung, tanpa intervensi pengaruh otoritas apa pun; maka pandangan dan sikap kita yang menjadi penghalang pemahaman langsung itu rontok dengan sendirinya. Dalam pemahaman langsung itu, ada kecerdasan atau inteligensi.

Ketika pikiran sepenuhnya berhenti, bukan kita buat berhenti, maka di situ ada keheningan. Dalam titik keheningan itu, muncullah inteligensi. Inteligensi ini tidak muncul dari intelek, tidak bersumber dari ingatan. Ia bukan hasil pembelajaran, bukan akumulasi pengetahuan. Ia tak terukur, di luar waktu. Ia bukan milik Anda, bukan milik saya, bukan milik siapa pun.

Ketika pikiran berhenti sepenuhnya dan hanya bekerja di tempatnya yang benar, maka tidak ada Anda, tidak ada saya. Tidak ada gambaran-gambaran psikologis tentang diri atau bukan-diri. Tidak ada konsep-konsep ideal yang justru membelenggu batin.

Keinginan untuk memahami hal-hal yang secara absolut tidak bisa dipahami merupakan kematian inteligensi. Tidak mengetahui hal-hal yang perlu untuk diketahui merupakan kematian intelek. Intelek maupun inteligensi kita butuhkan pada tempatnya. Intelek yang bekerja secara harmoni dengan inteligensi akan membuat intelek bekerja optimal dan tidak menciptakan kekacauan. Itu hanya mungkin kalau ada ruang keheningan batin.

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Minggu, 18 Desember 2011

Bukan Siapa-Siapa, tetapi Segalanya


Ia seorang suami, ayah dari tiga putra. Seorang bersahaja yang sehari-hari mengurus toko bahan bangunan di Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk menafkahi keluarga. 

Di antara hampir tujuh miliar penduduk dunia, ia bukan siapa-siapa. Namanya tak dikenal karena penemuan penting atau perilaku sensasional yang dibuatnya. Namun, bagi keluarga dan orang-orang yang mengenalnya secara dekat ia adalah segalanya.

Seorang anaknya mengenang, saat ia beranjak remaja dan akan berpiknik ke pantai bersama teman-temannya, sang ayah tidak melarang keras, beliau hanya berujar, “Kamu sudah besar sekarang, silakan tentukan sendiri apa yang terbaik untuk dirimu sendiri.” Kebebasan yang diberikan ayahnya, justru menjadikan si anak berhati-hati melalui masa remajanya dan tumbuh dewasa dengan bijaksana.

Ketika kerusuhan Tasikmalaya merebak pada 26 Desember 1996 yang menghancurkan 36 rumah warga, dua gereja, dan satu pabrik pengolahan kayu (sumber: Tempo.co.id), rumah bapak ini pun nyaris diserbu para perusuh. Namun, karena welas asih yang ditunjukkannya kepada penduduk sekitar – mengulurkan bantuan kepada siapa pun yang membutuhkan, termasuk menyumbang bahan bangunan untuk pembangunan masjid setempat – membuat penduduk sekitar mengamankan rumahnya dan menghalau para perusuh.

Kehidupannya berjalan biasa-biasa saja, bagaikan air yang mengikuti alirannya. Tiba-tiba di awal Oktober silam bapak ini jatuh sakit. Tangan dan kakinya tak dapat digerakkan, ia kesulitan bernapas, dan tak dapat menelan makanan. Dokter mendiagnosis ia menderita Guillain Barre Syndrome (GBS) – kerusakan saraf tepi di tubuh, yang penyebabnya belum diketahui, kemungkinan karena respons autoimun. Setelah mendapat perawatan intensif di rumah sakit selama dua bulan dua minggu, perjuangan hidupnya di dunia ini berakhir.

“Papi orang yang sangat baik. Hatinya luar biasa, selalu memberikan yang terbaik untuk orang lain, tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Amazing personality. He’ll be missed, but his presence will always be around all people who know him,” tulis seorang putranya dalam pesan singkatnya.

Ya, ia memang bukan siapa-siapa di antara sekian miliar penduduk dunia, tetapi ia telah memaknai kehidupannya yang biasa-biasa saja secara luar biasa. Mereka yang mengenalnya akan selalu mengenang kebersahajaan dan kebaikannya.

(In Memoriam Bapak Julius Rubin, 21 November 1951-16 Desember 2011)

Jumat, 16 Desember 2011

Lebih Sedikit, Lebih Baik

Hingga sekarang, telah kuhabiskan kehidupanku berbuat lebih dan belajar lebih banyak. Apa salahnya dengan itu? Aku mulai bertanya-tanya.

Apakah selama ini aku demikian sibuk, sehingga kulewatkan indahnya kehidupan? Apakah selama ini aku demikian sibuk mengumpulkan informasi, sehingga kulewatkan kedamaian batiniah yang seharusnya jadi milikku? Apa yang harus kuperbuat?

Akan kutinggalkan kegiatan-kegiatan yang dulu kukira akan memenuhiku, tetapi ternyata tidak. Akan kulepaskan kebutuhanku untuk mengetahui segalanya, dan aku akan mulai mendengarkan untuk melihat apakah aku masih ada di sini. 

Kalau yang lebih banyak itu mengantarku ke keberadaanku sekarang, kusimpulkan yang lebih sedikit akan mengantarku ke mana aku ingin berada.

(Dari: Buku Tao Pemulihan, karya Jim McGregor. Penerbit Lucky Publishers, 2003)

Kamis, 15 Desember 2011

Sering Melakukannya

Suamiku selalu melakukan perbuatan baik di mana pun ia berada, bahkan untuk orang-orang yang tak dikenalnya. 

Aku bangga dan bersyukur menikah dengannya, namun terkadang aku kesal kalau kebaikannya berlebihan. "Hm...," gerutuku, "bagus sekali perbuatanmu, tetapi kapan kau melakukan seperti itu untukmu atau untukku?" 

Minggu lalu pertanyaanku itu dijawab oleh alam semesta yang ternyata jauh lebih bijaksana daripadaku.

Suatu hari, kami sedang berjalan-jalan di kawasan perniagaan yang sibuk. Mobil-mobil diparkir sepanjang trotoar, bersebelahan dengan meteran parkir. Kami melihat seorang petugas parkir datang memeriksa, siap menuliskan denda.

Suamiku langsung mengeluarkan semua uang receh di kantongnya, lalu berlari mendahului si petugas. Ia buru-buru memasukkan uang ke semua meteran parkir yang waktunya sudah habis. Ketika petugas menyusulnya dengan wajah cemberut, suamiku tersenyum.

Orang-orang yang mobilnya ia selamatkan dari tilang itu tentu tak akan pernah tahu siapa yang menolong mereka. Mungkin mereka malah tidak tahu telah ditolong.

Keesokan hari, aku pergi berbelanja di daerah berbeda. Mobil kuparkir di samping sebuah meteran. Di toko pakaian, aku lupa waktu. Ketika melihat jam tangan, kusadari waktu parkirku pasti sudah habis. Aku bergegas menuju mobilku yang diparkir satu blok dari toko pakaian.

Kulihat petugas parkir tinggal beberapa meter dari mobilku. Tak mungkin aku bisa mendahuluinya. Aku hampir menangis karena kesal. Sekonyong-konyong, seorang lelaki menyeberangi jalan, bergegas ke arah meteranku dan memasukkan uang receh. Lalu ia berjalan cepat, menjauh.

Aku mengejarnya untuk mengucapkan terima kasih, sambil ingin tahu siapa dia? "Terima kasih Anda telah menolong saya. Apakah Anda mengenal suami saya atau mobil kami? Mengapa Anda melakukan itu?" tanyaku ramah.

"Oh, saya tak kenal suami Anda, juga mobil Anda," katanya. "Saya hanya kebetulan melihat petugas meteran itu datang. Saya pikir... kasihan sekali wanita itu akan ditilang. Padahal, cuma perlu dua puluh lima sen untuk menyelamatkan Anda dari tilangan dua puluh lima dollar."

Aku sangat terharu dan tak tahu mesti berkata apa. "Oh, itu bukan apa-apa," ujar pria tersebut, "Saya sering melakukannya." (Yitta Halberstam)

(Dari: Buku Small Miracles - 68 Kisah Nyata tentang Kebetulan-Kebetulan Tak Terduga yang Memperkaya Jiwa, karya Yitta Halberstam & Judith Leventhal. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2000)

Rabu, 14 Desember 2011

Lebih dari Kata-Kata Suci

Ada seorang rahib muda duduk di luar biara, berdoa dengan tangan terkatup. Ia kelihatan sangat suci dan mendaraskan kata-kata suci sepanjang hari. Hari demi hari ia mendaraskan kata-kata itu, dan percaya bahwa ia pasti akan memperoleh rahmat.

Suatu hari, kepala biara itu duduk di sampingnya dan memungut batu bata. Kemudian, ia mulai menggosokkan satu batu bata ke batu bata lain. Dari hari ke hari ia berbuat demikian. Setelah beberapa minggu, rahib muda itu tak bisa lagi menahan keingintahuannya.

Ia bertanya, "Apa yang sedang Bapa lakukan?"
"Saya sedang mencoba membuat sebuah cermin," kata kepala biara itu.
"Tetapi, tidak mungkin," ujar rahib muda itu, "Bapa tidak bisa membuat cermin dari batu bata."
"Betul," jawab kepala biara, "juga tak mungkin bagimu memperoleh rahmat dengan tidak melakukan sesuatu yang lain daripada mendaraskan kata-kata suci sepanjang hari."

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Bahasa Paling Baik

Yang paling diperlukan untuk maju ialah berdiam diri di hadapan Allah yang Mahabesar dari berbagai keinginan dan lidah kita; 
karena bahasa yang paling baik didengarNya ialah cinta kasih yang diam.

(Dari: Karya Kecil Yohanes dari Salib - Kaidah Cinta Kasih, art. 53 - Cafe Rohani November 2010)

Selasa, 13 Desember 2011

Patacara

Sebagian besar orang yang mengalami banyak derita dalam hidup mereka bisa menjadi guru-guru yang besar, sebab mereka tahu bagaimana rasanya sakit dan mereka tahu apa itu derita dari pengalaman mereka. Salah satu guru hebat di zaman Buddha adalah Patacara, seorang perempuan, biksuni.

Patacara berasal dari keluarga baik dan terpandang. Ia jatuh cinta kepada seorang dari kasta lebih rendah. Kedua orangtuanya tak mengizinkan ia menikah dengan pria itu, maka ia kawin lari dan hidup di hutan. Ketika ia mengandung anak pertama, merupakan tradisi di India untuk pergi mengunjungi orangtuanya. Maka, ia pulang ke rumah orangtuanya untuk melahirkan di sana. Namun, di tengah jalan ia keburu melahirkan. Akibatnya ia terpaksa kembali ke hutan.

Kemudian saat mengandung anak kedua, ia berupaya pulang ke rumah orangtuanya, namun sekali lagi ia melahirkan di tengah jalan. Setelah melahirkan di tengah hutan, suaminya mencari kayu bakar untuk menghangatkan tubuh istri dan anaknya, tetapi seekor ular berbisa menggigit mati suaminya.

Sangat sulit untuk bisa bertahan hidup tanpa suami. Satu-satunya pilihan bagi Patacara adalah pulang ke rumah orangtuanya. Ia membawa kedua anaknya, yang sulung berumur 1-2 tahun dan yang baru lahir. Malangnya, hari itu turun hujan deras. Sungai meluap dan ia tak bisa menyeberangkan kedua anaknya dalam sekali jalan. Ia berencana membawa bayinya menyeberang dan meletakkannya di tepian seberang sungai, sebelum kembali mengarungi sungai untuk menjemput putra sulungnya.

Ketika berada di tengah sungai, mendadak seekor elang besar menyambar dan membawa bayinya. Patacara menjerit dan melambai-lambaikan tangannya, berupaya menakut-nakuti burung itu. Putra sulungnya mengira lambaian dan teriakan itu tanda untuk memintanya mendatangi sang ibu. Ia masuk ke sungai dan terseret arus deras. Dalam hitungan jam, Patacara kehilangan suami dan kedua anaknya. Seakan belum cukup, ketika ia berjalan mendekati rumah orangtuanya, ia diberitahu karena badai, pohon tumbang dan menimpa rumah orangtuanya. Keduanya tewas.

Kehilangan orangtua, dua anak, dan suami pada hari yang sama membuat Patacara kehilangan akal sehat. Ia menjadi gila, berkelana tak tentu arah, menggumam dan meracau. Karena batinnya mengalami begitu banyak tragedi, batinnya dengan sangat cepat terbuka ketika Buddha memberinya ajaran singkat. Duka yang begitu berat, rasa sakit yang begitu dahsyat, membuat Patacara bisa menjadi perempuan yang sangat tangguh, guru yang hebat.

(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2! - 108 (Lagi!) Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publications, 2011)