Cari Blog Ini

Kamis, 26 November 2015

Dua Sepatu Kiri

Suatu kali aku diundang memberi ceramah dalam sebuah konferensi. Perjalanan dengan mobil dari rumahku di Albany ke Utica, New York, biasanya butuh waktu satu setengah jam. Ketika bangun pagi itu, aku lihat salju setebal dua puluh sentimeter dan masih terus turun.

Aku segera bersiap dan meraih apa saja yang aku perlukan, lalu bergegas ke mobil dengan memakai sepatu bot. Aku bermaksud ganti sepatu setiba di gedung. Aku terlambat lima menit. Aku melompat keluar mobil sambil meraih tas kerja dan sepatuku.

Aku terkejut mendapati satu sepatu berwarna biru dan satu lagi berwarna hitam. Yang lebih runyam, bukan hanya warna sepatu itu berlainan, tetapi ternyata kedua sepatu itu untuk kaki kiri. Tak mungkin aku memaksa kaki kananku memakai sepatu kiri!

Aku naik ke panggung dengan kaki terbungkus kaus kaki dan menjinjing dua sepatu yang berbeda warna. Aku memutuskan, yang lebih penting isi ceramahku, bukan penampilanku. Yang pasti, aku punya cerita pembukaan yang hebat. Aku mengisahkan apa yang baru saja kualami. Bisa datang ke tempat ceramah dalam keadaan selamat bagiku lebih penting daripada memakai sepatu yang tepat.

Sering kali, penyakit yang kita alami dapat membantu kita menyadari apa yang benar-benar penting dan apa yang kurang penting bagi kita. Temanku, Rose Ann, penderita penyakit Lou Gehrig - penyakit yang menyerang sel saraf di otak - menulis padaku tentang perayaan ulang tahunnya. "Dulu aku kerap mengeluh: ya Tuhan, ulang tahun lagi... Sekarang aku berkata: terima kasih Tuhan atas ulang tahun ini." 

Orang-orang dan waktu yang diberikan oleh kehidupan ini menjadi lebih penting. Betapa sering orang berkata bahwa kita kurang menghargai kesehatan kita, sebelum jatuh sakit. 

Kita biasanya lebih memikirkan cara agar kita sukses dan berusaha keras menepati jadwal pekerjaan kita, daripada memerhatikan dengan lebih baik hal penting yang ada di hadapan kita. Kita semua umumnya lamban memahami, seperti juga diriku, kecuali hari itu - saat aku menenteng dua sepatu kiri.

Kurangi kesibukan dan nikmatilah hidup. Dengan terus bergerak cepat, Anda bukan saja melewatkan pemandangan indah, tetapi juga kehilangan kesadaran ke mana Anda hendak pergi dan mengapa. - Eddie Cantor (1892-1964), penyanyi, komedian, dan penulis asal Amerika Serikat

(Dari: Buku Tuhan Tahu Anda Stres, karya Anne Bryan Smollin. Penerbit Dioma, 2008)

Senin, 16 November 2015

Guru yang Baik

Jika kita tidak menghindari kepedihan emosional atau tidak berusaha melarikan diri darinya, kita dapat menggunakannya sebagai guru kita. Ketika kita menghindari kepedihan emosional, kita menghindari pelajaran tertentu untuk pertumbuhan spiritual kita.

Keberanian kita merasakan kepedihan emosional memungkinkan kita melihat apa yang hendak diajarkan oleh kepedihan itu kepada kita. Saat kita merasakannya secara total, kepedihan itu menghilang.

Dengan mengambil sikap baru dalam menghadapi kepedihan emosional, kita memiliki peluang untuk bergerak ke situasi tertentu, yang tanpa sikap baru akan kita hindari.

Latihan

Hari ini, ambillah sikap baru dalam menghadapi kepedihan. Bersedialah menghadapi perasaan di dalam diri Anda dan perasaan yang menghampiri Anda. Ketahuilah, kemauan Anda untuk menghadapi perasaan itu akan memberi Anda tanggapan dan kekuatan tertentu, sehingga entah bagaimana, membuat perasaan tersebut hilang. Gunakan kepedihan emosional sebagai guru Anda. Hal itu akan menjadi guru yang baik jika Anda tidak melawannya.

(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)

Minggu, 08 November 2015

Berhenti Menipu Diri Sendiri



Essena O'Neill
Seleb Instagram Essena O’Neill (18 tahun) undur diri dari hingar-bingar media sosial. Padahal, banyak orang iri melihat kehidupan O’Neill yang sebelumnya gencar ia pamerkan lewat akun Instagram, YouTube, Tumblr, dan Snapchat.

“Tak ada yang keren dari dirimu, jika yang kamu lakukan hanya mengunggah foto-foto hasil editan ke media sosial untuk membuktikan kamu keren,” kata O’Neill dalam unggahannya di situs Let’s Be Game Changers. Di situs itu O’Neill mengunggah video-video tanpa sentuhan make-up dan baju mewah. Ia juga mem-posting hal-hal positif tentang musik, buku, kesetaraan gender, teknologi, dan makanan sehat. 

Menurut O'Neill, kecenderungan anak muda menghabiskan waktu berjam-jam menggulir linimasa media sosial menggoreskan luka mental tersendiri. Rasa minder, narsisme, ingin pamer, ingin diakui, hingga pada akhirnya memicu depresi.

Semua orang berlomba-lomba menunjukkan kehidupan paling sempurna di media sosial. Walau mereka (atau kita) harus berbohong untuk itu. Maniak media sosial ingin menampilkan wajah paling cantik, liburan paling mahal, dan prestasi paling gemilang. Padahal, foto-foto yang diunggah adalah hasil bidikan beratus-ratus kali dengan pengeditan super lama. 

"Saya menghabiskan kehidupan remaja saya untuk status sosial, penerimaan sosial, dan penampakan fisik yang basisnya adalah media sosial. Itu semua tak nyata. Itu semua manipulasi untuk saling membandingkan diri dengan orang lain," papar O’Neill yang memiliki lebih dari 265.000 pengikut di YouTube dan 702.000 pengikut di Instagram.

Hal itu tak membuat O'Neill bahagia. Namun, O'Neill tak menyalahkan Instagram atau para pendiri media sosial. Sebab, media sosial lahir dengan itikad mulia: memudahkan komunikasi antarmanusia, menembus jarak dan waktu. Hanya saja, pemanfaatannya telah berkembang jauh dari tujuan awal. 

Saat ini kita memasuki era di mana kehidupan seseorang diukur dari media sosial. Kesuksesan, kekayaan, kepintaran, kebaikan, dan popularitas dilihat dari tiga indikator: foto yang diunggah, jumlah follower dan like. Menurut O’Neill, manusia jadi lupa akan indahnya kehidupan nyata seperti bersosialisasi dengan orang-orang, mengobrol dan berdiskusi tentang hal-hal yang signifikan, berbagi, serta belajar hal-hal baru. 

Terlalu lama menggulir linimasa media sosial membuat manusia modern kehilangan produktivitas dan ide-ide brilian. “Jangan biarkan jumlah follower dan like mendefinisikan dirimu," kata O’Neill yang kini menggunakan akun-akunnya untuk mengkampanyekan gerakan "berhenti menipu diri sendiri lewat media sosial." 

(Sumber: http://tekno.kompas.com/read/2015/11/04/09050047/Ratusan.Ribu.Follower.dan.Like.Tidak.Bikin.Bahagia?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktswp)

Rabu, 04 November 2015

Kekhawatiran adalah Serangan

Kekhawatiran kita adalah bentuk rasa takut. Dan semua rasa takut berasal dari pikiran kita akan adanya serangan. Bila kita mengkhawatirkan seseorang atau sesuatu, berarti kita tidak yakin terhadap orang itu atau situasi tertentu.

Kekhawatiran kita mengatakan hal-hal negatif bisa terjadi, sehingga kita menggunakan kekuatan pikiran kita untuk menciptakan ketidakyakinan kita, memungkinkan elemen yang menakutkan dalam situasi tersebut.

Kekhawatiran menyerang situasi. Sebaliknya, dengan memilih untuk memberkahinya, kita akan terbantu membangun situasi yang berbeda dan mereka yang terlibat di dalamnya.

Latihan

Hari ini, setiap kali Anda merasa tergoda mengkhawatirkan seseorang atau sesuatu, cobalah berikan berkah Anda. Berkah Anda adalah kepercayaan dan pilihan positif Anda untuk yang terbaik, yang akan terjadi pada orang lain dan situasi tertentu.

(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)