Cari Blog Ini

Selasa, 31 Mei 2011

Sumur Tua yang Setia

Seorang anak muda menghabiskan waktu satu bulan setiap musim panas untuk berlibur bersama orangtuanya di rumah tua seorang petani. Rumah itu sudah berusia sekitar 150 tahun ketika dibeli oleh keluarganya dan belum pernah dipugar.

Sumber persediaan air selama bertahun-tahun berasal dari sumur tua yang terletak persis di luar pintu depan rumah. Sumur ini tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau yang paling kering, sumur tua itu tetap setia menghasilkan air yang bening dan dingin.

Suatu kali, rumah tua itu dipugar. Sumur baru dibor beberapa puluh meter jaraknya dari rumah. Sumur tua tersebut ditutup selama beberapa tahun, sampai suatu hari terdorong rasa ingin tahu, anak muda yang sekarang sudah dewasa itu memutuskan untuk membuka dan memeriksa kondisi sumur tua.

Ketika menyingkirkan penutup sumur, ternyata sumur tua itu sudah kering. Ia lalu meneliti apa yang sebenarnya terjadi dengan sumur tersebut. Ternyata, sumur itu dialiri oleh ratusan sungai kecil di bawah tanah, yang selalu mengalirkan persediaan air. Ketika air ditimba dari sumur, maka lebih banyak lagi air mengalir ke dalam sumur melalui sungai-sungai kecil, sehingga saluran-saluran kecil ini tetap bersih dan terbuka.

Tetapi, ketika sumur tidak digunakan dan air tidak ditimba secara teratur, maka sungai-sungai kecil  itu tertutup alirannya. Sumur yang menghasilkan air tanpa pernah kering selama bertahun-tahun, kini kering kerontang - bukan karena kekurangan air, melainkan karena sudah lama tidak digunakan. 

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-4, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Yang Tidak Mau Kita Dengar

Ada ketukan keras di hati si ‘pencari.’

“Siapa?” tanya ‘pencari’ yang takut itu.

“Saya, Kebenaran,” datang jawaban.

“Jangan edan,” kata ‘pencari.’  “Kebenaran berbicara dalam diam.”

Itulah cara efektif menghentikan ketukan – yang melegakan si ‘pencari.’

Apa yang tidak diketahui ‘ pencari’ adalah ketukan itu disebabkan oleh getaran hati yang penuh ketakutan.

Kebenaran yang membebaskan kita, hampir selalu merupakan Kebenaran yang tidak mau kita dengar. Maka, bila kita mengatakan bahwa sesuatu tidak benar, sebenarnya yang sering kita maksudkan adalah, “Saya tidak senang dengan itu.”

(Dari: Buku Doa Sang Katak 1 – Meditasi dengan Cerita, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Kanisius, 1991)

Senin, 30 Mei 2011

Menyingkap Tirai Penderitaan

Hidup ini penuh dengan penderitaan, maka orang lalu mencari kebahagiaan. Kebahagiaan yang dicari umumnya tak jauh dari kebahagiaan tertentu: bahagia karena berkecukupan, bahagia karena memiliki pasangan hidup atau keluarga yang baik, bahagia karena sembuh dari sakit, dan sebagainya.  

Apa yang akan terjadi kalau tiba-tiba orang jatuh miskin, ditinggal mati atau ditinggal pergi yang dicintai, jatuh sakit, dan seterusnya? Bukankah orang akan terguncang batinnya, sedih, dan penderitaan muncul kembali?

Mengejar kebahagiaan merupakan bentuk lain pelarian dari penderitaan. Ternyata, kebahagiaan yang didapat tidak membuat orang terlepas dari penderitaannya. Kebahagiaan yang didapat hanyalah sisi lain dari penderitaan. Demikianlah penderitaan seperti roda yang terus bergerak.

Penderitaan pertama-tama bukan disebabkan oleh kondisi-kondisi yang tidak ideal di luar batin, melainkan disebabkan oleh keberadaan si aku atau ego. Selama masih ada ego, bukankah ada si aku yang menderita?

Setiap kali muncul pikiran,  si aku terlahirkan. Lalu muncullah pengalaman ”aku menderita” yang tidak lain adalah kelanjutan dari pikiran. Pikiran telah menciptakan si aku permanen yang menderita. Ketika pikiran lenyap, si aku yang menderita juga lenyap. Ilusi tentang si aku yang menderita juga lenyap.

Si aku yang menderita adalah penderitaan itu sendiri. Tidak ada penderitaan tanpa si penderita. Kalau penderitaan dihadapi tanpa si aku yang menderita, apa yang terjadi? Bukankah yang ada hanya penderitaan apa adanya dan tidak ada lagi yang mengatakan ”aku menderita”?

Alih-alih mengejar kebahagiaan, penderitaan mesti dihadapi sebagai realitas apa adanya. Segala bentuk penolakan terhadap penderitaan, entah melawan atau lari daripadanya, hanya akan meningkatkan belenggu penderitaan.

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Minggu, 29 Mei 2011

Membuat Perbedaan

Samuel T. Rayburn (1882-1961), juru bicara DPR Amerika Serikat selama 17 tahun - terlama sepanjang sejarah, mendengar salah seorang putri temannya terluka serius dalam kecelakaan mobil. Keesokan harinya, pagi-pagi Rayburn mengetuk pintu rumah temannya itu. “Saya hanya mampir untuk melihat apakah ada yang dapat saya lakukan untuk membantumu,” ujar Rayburn.

Ayah putri yang malang tersebut menjawab bahwa tak ada yang perlu dilakukan. “Baiklah,” kata Rayburn, “Apakah engkau sudah sarapan pagi?” Temannya mengaku belum sempat sarapan pagi. Rayburn lalu bekerja di dapur rumah temannya. 

“Pak Juru Bicara, saya kira Anda diharapkan untuk menikmati sarapan pagi di Gedung Putih pagi ini,” kata temannya. “Ya, benar,” ujar Rayburn, “Tetapi saya sudah menelepon Presiden dan mengatakan bahwa ada seorang sahabat yang membutuhkan saya, sehingga saya tidak dapat datang ke Gedung Putih.”
 
Betapa berbedanya dunia ini, jika kita dapat belajar untuk lebih peduli dan semakin tidak mementingkan diri sendiri.

(Dari: Rangkaian Kisah Bermakna – 100 Cerita Bijak jilid ke-5, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Sabtu, 28 Mei 2011

Kekuatan untuk Menemukan Diri Sendiri

Mengenal orang lain disebut pemahaman. 
Mengenal diri sendiri disebut hikmat.
Mungkin orang lain dapat dikuasai dengan paksa, 
tetapi hanya kekuatanlah yang dapat menguasai diri.
Dengan menyangkal diri carilah diri sendiri, 
maka segala rahasia orang lain akan ditemukan.
Yang terdalam dari diri sendiri adalah yang terdalam dari orang lain.
Mengenal diri sendiri adalah mengenal orang lain. Jalan batiniah adalah jalan lahiriah.

Berpikirlah secara utuh, mengenallah secara utuh, bergeraklah secara utuh.
Kalau berpikir, berpikirlah untuk segalanya;
kalau berbuat, berbuatlah untuk segalanya.
Kalau bersatu dengan segalanya, 
segalanya bergerak menuju keharmonisan dan keselarasan.
Terlebih dulu, milikilah kekuatan untuk menemukan diri sendiri;
lalu milikilah kekuatan untuk merelakan diri sendiri.

(Dari: Buku Tao Kehidupan – Ajaran Lao Tzu yang Diadaptasi untuk Zaman Baru, karya Ray Grigg. Penerbit Lucky Publishers, 2002)

Berlatih Kesadaran

Hanya dengan berlatih kesadaran, kita tidak lagi menderita 
tetapi merasakan kebahagiaan dan kedamaian sejati. 
Hanya dengan berlatih kesadaran, 
kita bisa membuka pikiran dan mata cinta kasih.

                                                                           - Thich Nhat Hanh

(Dari: Buku Keajaiban Hidup Sadar, karya Thich Nhat Hanh. Penerbit Karaniya, 2010)

1.000 Kali Dilihat

 Terima kasih 
kepada seluruh pencinta kehidupan dengan batin hening. 
Kemarin (Jum'at 27 Mei 2011), dalam kurun 95 hari sejak tulisan pertama diunggah, blog Revolusi Batin telah dilihat 1.000 kali.

Terima kasih, Saudara-Saudara Seperjalanan. 
Mari, bersama membangun dunia yang lebih baik.
Bagikanlah pencerahan batin ini kepada orang-orang 
di sekitar Anda, sehingga mereka pun turut menikmati hidup yang berbeda dengan batin sadar.

Batin hening, tanpa diri - melahirkan kasih dan kepedulian kepada sesama dan alam semesta.  

Salam,
Batin Hening

Jumat, 27 Mei 2011

Apa Persoalannya?

Seorang profesor masuk ke ruang kelas dan menulis tiga angka di papan tulis: 2, 4, 8. Dia berpaling dan bertanya kepada semua mahasiswa di kelas itu, “Bagaimana penyelesaiannya?”

Beberapa mahasiswa menjawab, “Jumlahkan ketiga angka itu, sehingga menjadi 14.” Profesor menggelengkan kepala. Yang lain berkata, “Itu kelipatan dua dan angka berikutnya adalah 16.” Sekelompok mahasiswa di bagian belakang berkata, “64.” Profesor masih saja menggelengkan kepala tanda tak setuju.

“Kalian semua tergesa-gesa menemukan penyelesaiannya, padahal kalian tidak bertanya, ‘Apa persoalannya?’ Jika kalian tidak tidak menanyakan pertanyaan kuncinya, kalian tidak akan dapat mengetahui apa persoalannya, dan tak mungkin menemukan penyelesaiannya.

Kebanyakan dari kita cepat-cepat memberi jawaban, tanpa pertama-tama memastikan bahwa kita tahu apa masalah yang sebenarnya.

(Dari: Rangkaian Kisah Bermakna – 100 Cerita Bijak jilid ke-5, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Kamis, 26 Mei 2011

Batin tanpa Kelekatan

Batin yang lepas dari kelekatan melahirkan sikap lepas-bebas, kosong, tetapi penuh vitalitas. Tidak ada pengejaran, daya upaya, ambisi untuk mengejar tujuan tertentu, termasuk tujuan untuk mencapai diri sejati. Batin menjadi bebas, tenang, terbuka tanpa batas, dan menerima realitas saat ini apa adanya. 

Selama kita belum menyentuh realitas terdalam, batin akan terus didera dan dipenjara oleh pikiran dan perasaan. Tidak peduli pikiran dan perasaan itu baik atau buruk, menyedihkan atau menggembirakan, penuh harapan atau putus asa.

                                                                                           - J. Sudrijanta, S.J.


(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)   

Rabu, 25 Mei 2011

Profesor Itu Tenggelam

Seorang profesor sedang menyeberangi Sungai Jamuna dengan perahu. Dia bertanya kepada tukang perahu, “Apakah Anda pernah belajar aritmatika?”

“Belum pernah, Pak,” jawab tukang perahu.

“Kalau begitu, Anda kehilangan sepertiga dari hidup Anda. Lalu, apakah Anda pernah belajar membaca dan menulis?” tanya profesor lagi.

“Tidak pernah, Pak,” sahut tukang perahu.

“Kalau begitu, Anda telah kehilangan dua pertiga dari hidup Anda.”

Tiba-tiba terjadi badai dahsyat. Perahu terguncang dihantam badai gelombang air sungai yang mengganas. Dalam detik-detik yang mengerikan itu, tukang perahu bertanya kepada profesor, “Apakah Anda pernah belajar berenang?”

“Belum pernah,” jawab profesor.

“Kalau begitu, saya sangat khawatir Anda akan kehilangan seluruh hidup Anda, karena ….”

Belum sempat tukang perahu menyelesaikan ucapannya, perahu terbalik dan ditelan gelombang sangat ganas. Tukang perahu berenang ke pantai dengan selamat, namun profesor itu tenggelam bersama perahu.
Semua pengetahuan bermanfaat. Tetapi, pengetahuan lain yang juga sangat penting adalah pengetahuan tentang cara menyeberangi Pantai Lain. Dunia ini dikenal sebagai lautan kehidupan lahiriah (sansara sagara). Berbahagialah orang-orang yang telah mempelajari keterampilan menyeberang untuk bisa mencapai Sisi Lain lautan itu.
(Dari: Buku Kumpulan Kisah Bijak – Saat Chung Tzu Kehilangan Istri, karya J.P. Vaswani. Penerbit Kanisius, 2006)

Selasa, 24 Mei 2011

Ketika Semua Keinginan Saya Terpenuhi



Di dalam tradisi saya, para biksu tidak diperkenankan menerima, memiliki, atau memegang uang, apa pun macamnya. Kami ini begitu miskinnya sampai-sampai mengacaukan statistik pemerintah. Kami hidup sederhana dengan sukarela, hidup dari pemberian bersahaja para penyantun awam. Betapa pun, tak jarang kami mendapat tawaran yang istimewa.
 
Saya telah membantu seorang pria Thai yang punya masalah pribadi. Sebagai ungkapan terima kasih, ia ingin memberikan saya 500 baht. Adalah lazim menyebutkan jumlah saat mengajukan penawaran untuk menghindari kesalahpahaman. Karena tidak bisa langsung memutuskan apa yang saya inginkan dan dia terburu-buru, kami sepakat saya akan memberitahu keputusan saya pada kedatangannya di saat lain. 
 
Sebelum kejadian itu, saya seorang biksu kecil yang bahagia. Tetapi, sekarang saya merenungkan apa saja yang saya inginkan. Saya membuat daftar yang terus bertambah panjang, sehingga 500 baht tidak cukup. Begitu sulit mencoret sesuatu dari daftar itu. Daftar kian bertambah, sekarang 5.000 baht pun tak cukup!

Saya lalu membuang daftar keinginan itu jauh-jauh. Pada hari berikutnya, saya bilang kepada dermawan itu agar menyumbangkan 500 baht untuk pembangunan vihara atau tujuan baik lainnya. Saya tidak menginginkannya. Apa yang paling saya inginkan adalah mendapatkan kembali rasa kecukupan hati yang pernah saya miliki pada hari-hari sebelumnya. Ketika saya tidak punya uang ataupun cara-cara untuk mendapatkan sesuatu, itulah saat ketika semua keinginan saya terpenuhi.

Keinginan itu tak ada batasnya. Bahkan satu juta baht pun tidaklah cukup, pun satu miliar dolar. Namun, “bebas dari berkeinginan” itu ada batasnya. Itulah saat ketika Anda tak menginginkan apa-apa. Rasa berkecukupan adalah satu-satunya saat tatkala hati Anda merasa cukup.

(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya – 108 Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publication, 2009)

Senin, 23 Mei 2011

Memberi Sedikit Ruang

Percayalah, keilahian itu tidak terbatas pada orang, agama, atau tempat tertentu. Jika Tuhan menghendaki, Ia akan datang kepada Anda. Yang harus kita lakukan adalah memberiNya sedikit ruang, agar Ia bisa masuk. Untuk menciptakan ruang, Anda perlu berpasrah diri dan menyerahkan segalanya kepadaNya.

                                                                                      - Vikas Malkani

(Dari: Buku A Pearl of Awareness – Rahasia Membuka Pintu Kesadaran Anda, karya Vikas Malkani. Penerbit Bhuana Ilmu Populer, 2005)

Arti Hening

Kadang-kadang, banyak rombongan datang beramai-ramai, dan keheningan dalam biara runtuh berantakan.

Ini membuat para murid marah, tidak demikian Sang Guru. Agaknya, ia senang dengan keramaian maupun dengan keheningan. 

Kepada para murid yang tidak puas, suatu hari Sang Guru berkata, "Hening itu bukan ketiadaan suara, melainkan ketiadaan diri manusia."

(Dari: Buku Sejenak Bijak, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Kanisius, 1987)

Minggu, 22 Mei 2011

Beri Kesempatan bagi Nurani


Tidak semua orang terpanggil menjadi pertapa, tetapi semua orang memerlukan cukup kesunyian dan kesendirian dalam hidupnya untuk memberi kesempatan bagi suara nurani mereka, yang sebenarnya bisa didengarkan, paling tidak sesekali. 

                                                                      – Thomas Merton 
                                         (1915-1968, rahib Trappis & penulis)

(Dari: Buku Ajaran-Ajaran St. Fransiskus, karya John Michael Talbot & Steve Rabey. Penerbit Bina Media Perintis, 2007)

Kekayaan Sejati

Jalan pembelajaran batiniah itu lebar dan enak,
tetapi manusia sering kali menempuh jalan pinggir,
untuk menemukan kekayaan dan kekuasaan.

Api hasrat ini tidak pernah puas,
sebab semakin banyak yang engkau miliki,
semakin engkau berpikir bahwa engkau kekurangan.
 
Tetapi jalan keberadaan yang lebar,
menawarkan kedamaian karena kekuatan batiniah,
pengetahuan bahwa engkau terhubungkan dengan semuanya,
dan kekayaan sejati mengetahui bahwa engkau sudah cukup.

(Dari: Buku Tao Kehidupan yang Bertujuan, karya Judith Morgan & Andre de Zanger. Penerbit Lucky Publishers, 2003)

Sabtu, 21 Mei 2011

Diri sebagai Pusat Konflik


Konflik selalu terjadi antara dua hal yang saling berlawanan. Aku merasa benar, dan aku menganggap engkau salah. Lalu aku memaksakan apa yang kuanggap benar. Demikian sebaliknya. Aku dan engkau lalu terlibat konflik, karena sama-sama menganggap diri paling benar. Segala sesuatu yang menimbulkan konflik, betapa pun orang merasa paling benar; sama-sama jahat, sama-sama merusak.

Kebenaran yang sesungguhnya atau Kebaikan Tertinggi tidak mempunyai lawan atau kebalikan. Anda bisa berkonflik dengan Sang Kebaikan atau Tuhan, tetapi Sang Kebaikan tidak mungkin berkonflik dengan Anda. Anda bisa membenci Tuhan, tetapi Tuhan yang sesungguhnya tidak mungkin membenci Anda. Bagaimana mungkin di dalam Sang Kebaikan ada kejahatan, di dalam Sang Kebenaran ada kepalsuan, di dalam Cinta ada kebencian?

Ketika aku melawan sesuatu, sesungguhnya aku telah menjadi apa yang aku lawan. Jika Anda marah dan saya membalas Anda dengan marah, maka saya telah menjadi seperti Anda. Jika Anda jahat dan saya membalas Anda dengan kejahatan, maka saya dan Anda sama-sama jahat.

Kejahatan tidak bisa dilawan dengan kejahatan. Kebaikan sebagai lawan dari kejahatan juga tak bisa menghabisi kejahatan, karena kebaikan sebagai lawan dari kejahatan masih tetap mengandung benih kejahatan. Kejahatan dalam diri kita mesti berakhir lebih dulu, dan ketika itu berakhir mungkin terlahir apa yang disebut Kebaikan Tertinggi. Berakhirnya kejahatan tidak mungkin terjadi, tanpa pemahaman secara tuntas terhadap kejahatan, yang pusatnya tidak lain adalah diri.

Diri adalah akar dari kejahatan, karena gerak diri selalu cenderung mengisolasi, mengambil jarak, memecah-belah, menciptakan konflik, mengelabui pandangan terhadap realitas yang sesungguhnya. Sebaik apa pun gambaran kita tentang diri ini, si aku psikologis tetaplah jahat. Bisakah si aku yang jahat berubah menjadi baik? Bagaimana mungkin yang jahat bisa berubah menjadi baik?

Orang mengira diri bisa ber-evolusi dari jahat menjadi baik. Itulah harapan kebanyakan orang. Namun, diri yang baik yang dibayangkan, tidak lebih dari perluasan diri yang jahat. Aku sadar ada kejahatan dalam diriku, lalu aku berjuang mengalahkan kejahatan. Kita mengira si aku yang jahat ini akan menjadi baik seiring berjalannya waktu, lewat perjuangan atau pembiaran. Kenyataannya, orang mendapati dirinya tetap jahat. Perubahan yang sesungguhnya tidak terjadi dalam gerak waktu. Artinya, diri yang adalah gerak pikiran mesti berakhir sepenuhnya Saat Sekarang, agar terlahir sesuatu yang baru.

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)