Cari Blog Ini

Minggu, 27 Desember 2015

Meyakini Keajaiban

Beberapa hari sebelum Natal tahun 1924. Di luar badai salju hebat menerpa setiap baris rumah. Keluargaku baru saja pindah dari pedesaan ke kota dua bulan sebelumnya. Kami belum mengenal tetangga satu pun.

Ketika itu aku masih gadis kecil berusia lima tahun yang sedang terserang demam tinggi. Penderita satu-satunya penyakit difteri di Philadelphia. 

Penyakitku sudah didiagnosis dokter dua minggu silam. Dengan segera, ayah dan kakak perempuanku diberi suntikan antitoksin, lalu diungsikan ke rumah saudara kami sampai masa penularan berlalu. Ibu menolak memasukkanku ke rumah sakit di kota yang masih asing baginya. Ia memilih tetap di rumah merawatku.

Pengurus kota menempelkan tanda peringatan berwarna kuning di pintu depan dan belakang rumah kami, tanda adanya penyakit menular. Untuk memastikan tak ada yang datang ke rumah selain dokter, dan kami tetap berada di dalam rumah, seorang polisi berjaga 24 jam di pintu rumah.

Jika kami mendapat surat, benda itu diletakkan di anak tangga; kemudian polisi mengetuk pintu dan mundur beberapa langkah. Ibu membuka pintu sedikit, lalu dengan cepat mengambil surat tersebut.

Pada masa itu persiapan Natal cukup dilakukan seminggu sebelumnya, tidak seperti sekarang belanja Natal sudah dimulai bulan Oktober. Kami menyambut Natal secara berbeda tahun itu. Karena serangan difteri, tak ada yang memikirkan Natal. Kondisi kesehatanku yang terpenting.

Sore 23 Desember, polisi mengetuk pintu. Ada surat dari saudara perempuan ibuku. Ia seorang Katolik, mengirimkan sekantong kecil medalion. "Aku tidak bisa berada bersamamu," tulisnya, "tetapi aku ingin membantu. Sematkan medalion yang telah diberkati pastor ini ke gaun tidur putrimu dan yakinlah." 

Ibuku mau melakukan apa pun untuk kesembuhanku, meskipun harapannya kecil. Ia menatap pipiku yang kurus dan mengompres dahiku. Mataku terus terpejam.

Sore keesokan harinya, ibuku mendengar panggilan lirih. Ia bergegas menuju ke kamarku dan menangis bahagia. Demamku turun dan aku membuka mata. Sambil mengucap syukur, ibu berlutut dan memelukku.

Namun, rasa leganya tiba-tiba lenyap lagi ketika mendengar kata-kata pertamaku, "Mama, ini malam Natal. Apa yang akan dibawakan sinterklas?" "Bukan, bukan!" seru ibuku. "Sayang, kau sakit lama sekali. Sekarang belum malam Natal." Meskipun ibu berusaha keras meyakiniku, aku tidur malam itu dengan bayangan indah menari-nari di kepalaku. 

Di lantai bawah ibuku panik. Bertahun-tahun kemudian ia bercerita, ia sempat ingin mengenakan pakaian ayahku dan mencoba menyelinap ke luar, ke toko di pojok jalan, untuk membelikanku hadiah. Tentu saja ia tak melakukannya. Ibu hanya berharap ia bisa menyakiniku bahwa Natal belum tiba.

Di pagi hari Natal, aku bangun dengan antisipasi khas anak-anak. Ibu masih setengah tertidur ketika polisi mengetuk pintu rumah kami. Ibu terkesiap kaget melihat di tangga ada sekeranjang besar berisi hidangan Natal untuk dua orang dan sejumlah mainan untuk gadis kecil berusia lima tahun.

Ibu melempar pandangan, bertanya kepada si polisi. Tetapi polisi hanya tersenyum dan angkat bahu. 

Kesehatanku pulih kembali, tanpa aku menyadari ada dua keajaiban pada Natal tahun itu. Ayah dan kakak perempuanku pulang dan kami melanjutkan hidup di kota tersebut. 

Seiring berjalannya waktu, ibuku menjalin persahabatan dengan tetangga - seorang perempuan Irlandia yang ramah, ibu enam anak. Mereka bersahabat selama bertahun-tahun, tetapi baru belakangan ibuku akhirnya mengetahui rahasia di balik keajaiban Natal tahun 1924. 

Sahabatnya - orang Irlandia itulah - yang saat itu meski belum saling mengenal, memahami sebagai sesama ibu. Ia tahu betapa sulit situasi yang dihadapi ibuku dan berbaik hati mengirim keranjang Natal kepada kami. Berkat dirinya, aku masih percaya pada sinterklas. Kau hanya perlu mencarinya di tempat yang tepat. (Gerrie Edwards)

(Dari: Buku Chicken Soup for Every Mom's Soul - Kisah-Kisah tentang Cinta dan Inspirasi untuk Para Ibu, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Heather McNamara, Marci Shimoff. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011)  

Selasa, 22 Desember 2015

Dibaca Jika Sedang Sendirian

Saat itu aku berusia 13 tahun. Keluargaku pindah dari Florida Utara ke California Selatan setahun sebelumnya. Aku menjadi remaja habis-habisan. Aku marah dan memberontak, tak mengindahkan kata-kata orangtuaku, terutama kalau perkataan itu menyangkut diriku.

Seperti kebanyakan remaja lain, aku berusaha melepaskan diri dari apa pun yang tidak sejalan dengan gambaranku tentang dunia. Aku menolak semua kasih yang ditawarkan. Malah, aku marah kalau kata "kasih" disebutkan.

Suatu malam, seusai hari yang sulit, aku masuk ke kamarku, menutup pintu, dan naik ke tempat tidur. Saat aku berbaring, tanganku terselip ke bawah bantal. Ada amplop, aku mengambilnya. Pada amplop itu tertulis, "Dibaca jika sedang sendirian."

Karena aku sedang sendirian, tak ada yang tahu aku membaca isinya atau tidak. Aku membuka amplop itu. Di atas secarik kertas tertulis, "Mike, Ibu tahu saat ini kehidupanmu sukar. Kau frustasi dan kami orangtuamu tak bisa membantumu dengan baik. Ibu sayang padamu sepenuh hati, apa pun yang kau lakukan atau katakan tak akan bisa mengubah itu. Ibu selalu ada untukmu kalau kau ingin mengobrol, tetapi kalau kau tidak ingin juga tak apa-apa. Pokoknya kau tahu, ke mana pun kau pergi dan apa pun yang kau lakukan dalam hidupmu, Ibu akan selalu sayang padamu dan bangga kau adalah anakku. Penuh sayang, Ibu."

Surat tersebut menjadi surat yang mengawali beberapa surat "Dibaca jika sedang sendirian." Surat-surat ini tak pernah aku ungkapkan, sampai aku dewasa.

Kini aku berkeliling dunia untuk menolong sesama. Aku sedang berada di Sarasota, Florida, mengajar di sebuah seminar. Di penghujung hari, seorang wanita menghampiriku dan menceritakan kesulitan yang dialami dengan anaknya. 

Aku menuturkan kepada wanita itu tentang kasih ibuku yang tak pernah pudar dan tentang surat-surat "Dibaca jika sedang sendirian." Beberapa minggu kemudian, aku mendapat kartu pos dari wanita tersebut yang mengatakan ia telah menulis surat pertama untuk anaknya.

Malam itu, saat aku naik ke tempat tidur, aku menyelipkan tanganku ke bawah bantal dan mengenang rasa lega yang kurasakan setiap kali aku menerima surat dari ibuku. Di masa remajaku yang bergolak, surat-surat itu menjadi peneguhan yang menenangkan hati bahwa aku tetap dicintai walaupun aku anak yang sulit.

Sebelum tidur, aku bersyukur kepada Tuhan atas ibuku yang tahu apa yang dibutuhkan olehku, seorang remaja yang sedang emosi. Kini, setiap kali lautan kehidupanku dilanda badai, aku tahu di bawah bantalku ada peneguhan yang menenangkan hati - kasih yang tetap, abadi, dan tanpa pamrih - dapat mengubah hidup. (Michael Staver, konsultan/motivator) 

(Dari: Buku Chicken Soup for the Mother's Soul - 73 Kisah yang Membuka Hati dan Menggugah Semangat Para Ibu, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Jennifer Read Hawthorne, Marci Shimoff. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000)  
 

Senin, 21 Desember 2015

Lakukanlah

Di mana tidak ada cinta kasih, 
lakukanlah cinta kasih, 
maka Anda akan menemukan cinta kasih.  

- St. Yohanes dari Salib (1542-1591), biarawan asal Spanyol


(Dari: Buku Renungan Harian Ruah edisi Oktober-Desember 2015)

Kamis, 17 Desember 2015

Pesan Bersandi dan Sahabat Sejiwa

Bertahun-tahun lalu aku mengirim sepucuk surat kepada Mary Carter, pengarang buku Tell Me My Name, dan mengatakan aku sebagai penulis pemula sangat menyukai novelnya. Mary membalas dengan surat indah yang selama bertahun-tahun menghiasi meja kerjaku.

Suratnya sekarang sudah hilang, tetapi aku masih ingat kata-katanya. Mary mengucapkan terima kasih kepadaku dan berharap aku bisa mengembangkan tulisanku sendiri. "Menulis," katanya, "seperti mengirimkan pesan bersandi ke ruang angkasa. Kamu tidak pernah tahu apakah di sana ada orang yang menerimanya." Mary senang mengetahui kali ini telah terjalin hubungan antara penulis dan pembacanya.

Aku mulai menulis untuk sebuah majalah. Aku ingat kekaguman dan ketidakpercayaanku ketika pertama kali menerima surat penggemar. Ah, berarti aku telah berhasil menjalin hubungan! Aku selalu ingat pada Mary Carter, maka ketika aku menerima surat dari penggemar, aku membalasnya.

Salah satu kisahku yang menyentuh hati orang banyak adalah sebuah esai yang mula-mula diterbitkan surat kabar lokal, lalu diterbitkan di Reader's Digest. Esai itu tentang mobil Plymouth Valiant bekas yang kami beli. Suamiku bekerja di Angkatan Udara, kami sering pindah. Mobil Valiant itu mengikuti kami dari Ohio ke New York, lalu ke Alabama, Virginia, dan California. 

Akhirnya, tiba saat untuk menjual mobil yang kami namai "Blueberry." Aku tahu suamiku sebenarnya tidak mau menjualnya, karena itu ia memasang harga tinggi dalam iklan di surat kabar. Seseorang yang keranjingan Valiant tua muncul dan tanpa menawar bersedia mengeluarkan lima lembar uang $100 dari dompetnya.

Tulisanku mendapat banyak tanggapan. Bukan tentang Blueberry atau keluargaku, tetapi mereka ingin aku mengetahui tentang mobil tua yang mereka miliki.

"Tulisan Anda benar-benar menyentuh perasaan saya," tulis seorang perempuan dari Michigan yang juga mempunyai mobil Valiant. Di bawah tanda tangannya ia menulis dalam tanda kurung "sahabat sejiwa."

Menyentuh sahabat sejiwa. Ketika kita menulis tentang hal-hal yang dirasakan orang di mana pun - saat sulit, saat menyenangkan, keputusasaan, kegembiraan - kita mengirim sandi dan sahabat sejiwa menangkapnya, hubungan pun terjalin. Dan itu sebabnya kita menulis. (Marilyn Pribus)

(Dikutip dari: Buku Harga Sebuah Impian - Para Penulis Berbagi Cerita, Chicken Soup for the Writer's Soul, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Bud Gardner. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2007)     

TULISAN ke-1.000

Ini adalah tulisan ke-1.000 yang diunggah di blog Revolusi Batin sejak pertama kali blog ini dipublikasikan pada 21 Februari 2011.

Terima kasih atas kesetiaan para anggota dan pembaca yang menyimak tulisan-tulisan di sini dari hari ke hari. Anda adalah sahabat-sahabat sejiwa! Mari kita terus menebar Kasih dan Kebaikan, menjadikan dunia ini sebagai Rumah Bersama yang penuh Kedamaian.

Senin, 14 Desember 2015

Alternatif yang Positif

Quote: Dalam setiap hal yang kita jalani, selalu ada kebebasan untuk memilih: memilih untuk tertawa atau menangis, memilih untuk sedih atau bahagia, memilih untuk marah atau bersabar. Mengapa kita tidak memilih alternatif yang positif? (Penulis tidak dikenal)

Wisdom: Ketika kita dihadapkan pada keadaan yang tidak menentu, mana yang kita pilih? Jika kita tahu bahwa bersedih, marah, atau tak mau menerima kenyataan - tidak akan memberi kita solusi, mengapa kita tidak berusaha tetap gembira dan tenang, agar pikiran kita jernih sehingga lebih mudah menemukan solusi?

(Dari: Buku Timeless Wisdom for Mother, karya Lita Ariani S. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2012) 

Rabu, 09 Desember 2015

Sakit Gigi

Ketika itu aku sakit gigi. Siang hari, tidak apa-apa. Tetapi di dalam ketenangan malam, ketika para dokter gigi sudah tidur dan toko obat tutup, ia mulai sakit.

Suatu hari, ketika aku semakin tidak sabaran, aku pergi ke dokter gigi dan menyuruhnya mencabut gigi terkutuk itu, yang membuatku nelangsa dan tidak bisa tidur karena mengubah keheningan malamku menjadi erangan dan amukan.

Sang dokter gigi menggelengkan kepalanya dan berkata, "Adalah bodoh mencabut gigi yang dapat diobati."

Lalu ia mulai membor sisi-sisi gigi dan membersihkan celah-celahnya. Ia menggunakan setiap sarana yang ada untuk memulihkan dan membebaskan gigi dari kerusakan. Setelah selesai membor, ia isi gigi itu dengan emas murni dan berkata dengan sombong, "Gigimu yang rusak sekarang lebih kuat dan lebih mantap daripada gigi-gigimu yang lain." Aku percaya kepadanya dan kubayar, lalu pulang.

Tetapi belum satu minggu, gigi itu kembali sakit. Siksaannya mengubah nyanyian-nyanyian indah jiwaku menjadi ratapan dan derita. 

Aku pergi ke dokter gigi lain dan berkata kepadanya, "Cabutlah gigi ini tanpa banyak tanya, sebab orang yang menderita tidak sama dengan orang yang menghitung penderitaannya."

Mematuhiku, dokter gigi itu mencabut gigiku. Sambil mengamatinya, ia berkata, "Untung engkau minta gigi rusak ini dicabut."

Di dalam mulut Masyarakat ada banyak gigi yang rusak, sampai ke tulang rahang. Tetapi Masyarakat tidak berupaya mencabutnya dan menyingkirkan derita yang diakibatkannya. Ia mencukupkan diri dengan tambalan emas. Banyak dokter gigi yang merawat gigi Masyarakat yang sakit dengan emas berkilau.

Banyak yang tunduk kepada rayuan reforman seperti itu. Kepedihan, penyakit, dan maut menjadi nasib mereka....

Kunjungilah pengadilan-pengadilannya dan saksikanlah perbuatan para pemberi keadilan yang bengkok dan bejat. Lihatlah bagaimana mereka bermain dengan pikiran rakyat yang sederhana seperti kucing bermain dengan tikus.

Kunjungilah rumah-rumah orang kaya yang diwarnai kesombongan, kepalsuan, dan kemunafikan.

Tetapi jangan lupa juga mampir di gubuk-gubuk orang miskin, di mana ketakutan, ketidaktahuan, dan kepengecutan, tinggal.

Lalu kunjungilah para dokter gigi yang kebas jari-jemarinya, para pemilik instrumen yang pelik, plester gigi serta pembius, yang menghabiskan hari-hari mereka menambal gigi-gigi bangsa ini untuk menutupi kerusakannya....

Kalau engkau sarankan "dicabut," mereka akan menertawakanmu sebab engkau belum belajar seni kedokteran gigi yang mulia, yang menutupi penyakit. 

Seandainya engkau bersikeras, mereka akan menghindarimu, dan berkata kepada diri sendiri: "Banyak idealis di dunia ini, mimpi-mimpi mereka lemah."

(Dikutip dari buku Renungan dan Meditasi, karya Kahlil Gibran. Penerbit Classic Press, 2003)

Kamis, 03 Desember 2015

Rekonsiliasi

Aku punya seorang teman lama yang kukenal sejak kami sama-sama di taman kanak-kanak. Setelah bertahun-tahun, persahabatan kami berkembang dan sangat berpengaruh dalam hidupku. Ia menjadi seperti anggota keluargaku. 

Persahabatan kami berlangsung lebih dari 38 tahun. Lalu, tiba-tiba ia tak peduli padaku. Kami menjadi seperti orang asing. Ia tak punya waktu lagi untukku. Jika aku meneleponnya, ia menjawab terburu-buru dan pendek saja. Ia tak mau lagi berlibur atau makan malam bersama.

Aku merasa tak berdaya dan tak mengerti. Bagaimana aku tahu apa yang salah, jika ia tak mau menjelaskannya kepadaku? Ia menutup diri bagiku. Kehilangan sahabat kurasakan seperti perceraian suami-istri. Pikiran dan kecemasan karena putus hubungan itu terus-menerus menjadi kemelut dalam diriku.

Kesembuhannya perlu waktu panjang. Ia tak bicara denganku selama 15 tahun. Selama itu aku belajar meringankan perasaan sakit hati dengan membuka diriku pada hubungan-hubungan baru. Walaupun aku masih peduli kepada temanku itu, aku sadar bahwa peduli padanya tidak berarti aku harus menderita karena dia. 

Suatu kali, aku pergi ke pasar swalayan untuk membeli bahan makan malam. Sepertinya aku masuk ke jalur antrean yang salah. Kasir mengumumkan ia hanya akan melayani orang yang ada di depanku, aku harus pindah ke kasir lain.

Tanpa memerhatikan ke mana aku pergi, aku membariskan kereta belanjaanku di belakang seseorang. Ketika aku memerhatikan, orang di depanku itu adalah teman lamaku.

Aku tersenyum padanya. "Hai, apa kabar?" tanyaku.

"Baik. Bagaimana keadaanmu?" ia menanggapi.

Aku kaget, memandang sekeliling. "Kamu bicara padaku?" aku balik bertanya. Lalu terjadi pembicaraan selama 20 menit. Banyak kata positif yang diucapkannya. 

Aku bertanya, mengapa kali ini ia mau bicara denganku? Katanya, ketika aku menyapanya, aku tersenyum. 

Saat menyetir mobil pulang ke rumah, aku takjub pada kekuatan pandangan mata dan sebuah senyuman. Senyuman merupakan berkat bagi orang yang kita senyumi. Dan senyuman membantu orang lain untuk tersenyum juga.

Kisah tentang teman lamaku itu masih terus berlanjut. Kami makan siang bersama beberapa kali sejak pertemuan di pasar swalayan. Penyembuhan batin dimulai. Sungguh tepat yang dikatakan Phyllis Diller (1917-2012), artis asal Amerika Serikat, "Senyuman adalah lengkungan yang meluruskan segala sesuatu." 

(Dari: Buku Tuhan Tahu Anda Stres, karya Anne Bryan Smollin. Penerbit Dioma, 2008)