Cari Blog Ini

Minggu, 31 Juli 2011

Berbicara Langsung

Seorang mistik abad ke-16, Ignatius dari Loyola, bercerita bahwa waktu ia bertobat, ia tidak tahu kepada siapa ia akan meminta bimbingan. Tuhan sendirilah yang kemudian mengajarinya, seperti seorang guru mengajar seorang anak kecil.

Akhirnya ia sampai pada kesimpulan, andaikata seluruh Kitab Suci dimusnahkan, ia masih akan tetap berpegang pada apa yang diwahyukan di dalamnya. Sebab, Tuhan telah mengajarkan hal itu secara pribadi kepadanya.


Tuhan, ada demikian banyak orang yang dapat saya mintai bimbingan. Mereka tiada hentinya menggurui saya dengan ajaran mereka. Hampir-hampir saya tidak dapat mendengar Engkau dalam kegaduhan itu, bahkan pada waktu saya begitu ingin mendengarkanMu.

Namun, keliru jika saya menyalahkan mereka. Saya sendirilah yang harus disalahkan. Sebab, saya kurang kuat membungkam suara mereka; tidak berani mencari dan menemukannya sendiri.

Hati saya kurang teguh bertahan, sampai akhirnya Engkau berbicara. Iman saya terlalu lemah untuk percaya bahwa pada suatu hari, di suatu tempat, Engkau yang akan memecahkan keheninganMu dan berbicara kepada saya.

(Dari: Buku Burung Berkicau, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Yayasan Cipta Loka Caraka, 1984)

Sabtu, 30 Juli 2011

Tak Ada Aksi, Tanpa Diam

 

Batin yang tidak bisa diam mudah tergoda untuk mengikuti gerakan massa, mengikuti tindakan kolektif, mengikuti kecenderungan publik. Apa yang diikuti oleh banyak orang dianggap benar dan perlu. 

Ada rasa-perasaan kerdil atau lumpuh, kalau kita bergerak sendirian. Kita merasa butuh teman lebih banyak, dukungan lebih luas, gerakan massa lebih solid, organisasi lebih besar, dan seterusnya. 

Kita merasa butuh gelar lebih tinggi, kekuasaan lebih besar, uang lebih banyak. Tanpa itu semua, kita merasa bukan apa-apa. Bukankah senyatanya kita ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa?

Aksi yang sesungguhnya hanya mungkin lahir kalau batin diam. Batin yang bising dengan banyak gagasan, tidak bisa dipaksa diam - seperti kita memaksa seorang anak agar berhenti merengek. Ketika kebisingan batin disadari, tanpa upaya keras atau upaya halus untuk membuatnya diam, maka batin sungguh-sungguh diam.

Batin yang hening adalah batin yang berada dalam keadaan sadar. Di dalam keadaan sadar tidak ada fokus konsentrasi, tidak ada proses-menjadi, tidak ada tujuan yang hendak dicapai, tidak ada motif yang menggerakkan tindakan, tidak ada pikiran tebang-pilih.

Batin yang berada dalam keadaan sadar atau diam sepenuhnya adalah batin yang aktif. Di dalam diam ada tindakan yang lengkap dan seketika. Batin yang diam bergerak jauh lebih cepat, dibandingkan apa yang bisa dilakukan batin yang sibuk dengan gagasan. 

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Jumat, 29 Juli 2011

Tiba Tanpa Menempuh Perjalanan

Tanpa pergi ke luar atau memandang lewat jendela,
seseorang bisa melihat terang.

Semakin jauh seseorang pergi,
semakin sedikit yang mungkin dilihatnya,
dan semakin sedikit yang mungkin diketahuinya.

Tempuhlah perjalanan dalam hatimu untuk memperoleh bimbingan,
agar engkau tahu belokan-belokan mana saja yang bijaksana.

Tetap berada di pusat keberadaanmu,
engkau tiba tanpa menempuh perjalanan,
melihat tanpa memandang,
berbuat tanpa berupaya.

(Dari: Buku Tao Kehidupan yang Bertujuan, karya Judith Morgan & Andre de Zanger. Penerbit Lucky Publishers, 2003)

Kamis, 28 Juli 2011

Ketika Saya Mencapai Pencerahan

Pada tahun keempat saya menjadi biksu di Thailand, saya berlatih lama dan berat di sebuah vihara hutan yang terpencil di timur laut. Suatu hari, di tengah malam, saat meditasi jalan, pikiran saya menjadi luar biasa jernih. Pandangan cerah mengalir bagaikan air terjun di pegunungan. Dengan mudah saya memahami misteri-misteri yang selama ini tidak saya pahami. Ini dia! Pencerahan!

Rasa bahagianya tidak seperti apa pun yang saya ketahui sebelumnya. Ada banyak sukacita, di saat bersamaan, semua serba damai. Saya bermeditasi sampai sangat larut, tidur singkat sekali, dan bangun untuk melanjutkan meditasi lagi. Kesadaran mengalir sangat tajam laksana pisau bedah dan konsentrasi dengan mudah terpusat. Namun, sungguh sayang hal itu tak bertahan lama.

Di Thailand timur laut makanannya begitu memualkan. Biasanya, hidangan utama kami setiap hari adalah kari ikan busuk – ikan kecil-kecil yang ditangkap selama musim hujan, disimpan dalam gentong tanah liat, dan digunakan sepanjang tahun. Pada hari pasca-pencerahan saya, saya melihat ada dua panci kari sebagai lauk. Panci yang satu berisi kari ikan busuk seperti biasanya, sedangkan panci lainnya berisi kari daging babi yang layak makan.

Kepala vihara memilih makanannya sebelum saya. Ia mengambil tiga sendok besar kari daging babi yang lezat. Sebelum menyerahkan sendok lauk kepada saya, ia mulai mencampur kari daging babi yang menggiurkan itu ke dalam panci kari ikan busuk. “Kan sama saja!” katanya sambil mengaduk-aduk.

Saya terdiam. Dalam hati saya menggerutu. Jika dia benar-benar berpikir “kan sama saja,” mengapa dia lebih dulu mengambil tiga sendok kari daging babi untuk dirinya sendiri, sebelum mencampuradukkannya? Dasar curang!

Lalu, sebuah penyadaran menghantam saya. Orang yang tercerahkan tak akan memilih-milih makanan, pun tak mungkin marah dan menyumpahi kepala viharanya, meskipun cuma dalam hati. Api kemarahan saya tiba-tiba dipadamkan oleh guyuran hujan kesedihan. Awan-awan gelap kekecewaan menggulung di hati dan menutupi sinar mentari pencerahan saya. Saya mengambil dua sendok kari ikan busuk yang sudah bercampur kari daging babi. Saya tak peduli lagi apa yang saya makan. Saya begitu sedih menyadari kenyataan bahwa saya belum mencapai pencerahan.  

(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya – 108 Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publication, 2011)

Rabu, 27 Juli 2011

Apa yang Anda Maksudkan dengan "Kita"?

Pemain organ terkenal sedang mengadakan konser dengan menggunakan organ besar dan antik. Puputan dipompa dengan tangan oleh seorang anak kecil yang berada di belakang layar, tidak terlihat oleh para penonton.

Bagian pertama pertunjukan dinikmati dengan baik. Para penonton tergetar akan kemampuan sang organis memainkan alat musik tua tersebut. Setelah memberi hormat dan menerima sambutan meriah, musikus itu berjalan dengan anggun menuju pintu samping.

Ketika melewati anak kecil yang memompa puputan, ia mendengar suara berbisik, “Tuan, kita bermain bagus bukan?” Pemain organ itu menjawab dengan sombong, “Apa yang Anda maksudkan dengan ‘kita’?”

Setelah istirahat, pemain organ itu kembali ke tempat duduknya, menghadapi lima papan tuts dan siap bermain lagi. Tetapi tidak terjadi apa-apa. Tak satu pun suara terdengar. Kemudian organis itu mendengar suara lembut berbisik dari belakang layar, “Katakan, Tuan, apakah sekarang Anda tahu arti ‘kita’?”

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna – 100 Cerita Bijak jilid ke-4, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Selasa, 26 Juli 2011

Kesaksian Seorang Sahabat

Selama Perang Sipil, Presiden Abraham Lincoln menerima banyak permintaan amnesti bagi para tentara yang akan dihukum mati karena melarikan diri dari tugas. Setiap permohonan itu selalu diikuti sejumlah surat kesaksian dari para sahabat dan orang berkuasa.

Suatu hari, Presiden menerima sebuah permohonan amnesti yang berbeda. Permohonan itu tiba tanpa dokumen atau surat pendukung yang menjamin narapidana tersebut. Presiden Lincoln bingung dan bertanya kepada perwira yang bertugas, apakah tentara itu memiliki seseorang untuk berbicara mewakilinya?

Presiden terkejut, karena perwira yang bertugas mengatakan tentara itu tak memiliki seorang sahabat pun dan seluruh keluarganya telah tewas dalam perang. Presiden akan memikirkan perkara ini dan memberitahukan keputusannya keesokan pagi.

Sepanjang malam Lincoln bergumul dengan masalah ini. Melarikan diri dari tugas bukanlah masalah kecil. Kalau hukuman mati dibatalkan, akan menimbulkan pesan yang salah bagi para tentara lain. Namun, Lincoln merasa sulit untuk tidak bersimpati kepada seseorang yang sangat sendirian di dunia ini.

Keesokan pagi, ketika perwira bertanya apa keputusan Presiden, ia terkejut mendengar Lincoln berkata bahwa kesaksian seorang sahabat telah memeteraikan keputusannya terhadap tentara yang mangkir dari tugas itu.

Sang perwira mengingatkan, permohonan amnesti tersebut datang tanpa surat referensi apa pun. Lincoln hanya berkata, "Aku akan menjadi sahabatnya." Ia lalu menandatangani permohonan itu dan mengampuni tentara tersebut.

(Dari: Buku Harga Tak Ternilai Seorang Sahabat, karya John C. Maxwell. Penerbit Light Publishing. 2010)
 

Menjadi Diri Sejati

Saya tidak harus menang, 
tetapi saya harus menjadi diri yang sejati. 
Saya tidak harus berhasil, 
tetapi saya harus berbuat sesuai dengan 
cahaya yang saya miliki.

-                                                           - Abraham Lincoln
                                      Presiden Amerika Serikat ke-16

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna – 100 Cerita Bijak jilid ke-6, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2004)

Senin, 25 Juli 2011

Menahan Kebaikan

Si Disaster demikian aku menjulukinya. Anjing cokelat muda berbadan kekar dengan kaki-kaki kuat dan napas memburu. Ia rajin bertandang ke rumah, bermain dengan anjing kami. Biasanya, sebelum mereka berkejaran dan bergulingan, Disaster lebih dulu kami ajak masuk ke rumah dan diberi makan. Pendatang baru ini melahap semua makanan yang disodorkan ke hadapannya – termasuk sayuran, buah, bahkan roti tawar. 

Setiap hari selama sekitar dua minggu ia rajin mampir pada sore hari dengan ritual yang sama – makan dan bermain. Kami tak tahu namanya, siapa pemiliknya, di mana ia tinggal, namun kami senang karena anjing kami yang biasa sendirian jadi punya teman bermain. 

Lalu, Disaster menghilang beberapa hari. Suatu senja ia datang kembali. Begitu datang ia langsung bercengkrama dengan sahabatnya di teras rumah. Ada dorongan untuk menghidangkan makanan buatnya, tetapi aku enggan melakukannya. Masih beberapa kali Disaster bertandang ke rumah setelah itu, namun setiap kali aku tak mau membukakan pintu rumah, hanya membiarkan mereka bermain di teras. Pikirku, besok-besok ia bakal datang lagi, nanti saja memberinya makan.

Belakangan ini Disaster kembali tak tampak, sampai semalam aku mendengar berita tentangnya dari salah seorang tetangga. Suatu pagi, ketika Disaster - yang ternyata bernama asli Bento,  tengah mengejar kucing di jalan dalam perumahan, sebuah mobil melintas dengan kencang, menabrak, dan menewaskan Bento seketika. Sirna sudah kesempatan memberinya makan. Maafkan aku, Bento…

Tak jarang kita menunda untuk melakukan sesuatu yang baik bagi sesama dengan berbagai alasan, padahal kita tidak tahu berapa lama lagi waktu yang tersisa. Mengapa tidak melakukannya saat ini? 
      

Minggu, 24 Juli 2011

Lebih Baik Tidak Berdoa daripada Mengumpat

Sa'di bin Shiraz menceritakan tentang dirinya:

Ketika masih kecil, aku anak saleh, tekun berdoa, dan melakukan ibadah. 
Suatu malam, aku berjaga bersama  ayahku dengan memegang Kitab Al Qur'an di atas pangkuanku.

Semua orang yang ada di kamar bersama kami mulai mengantuk,
dan akhirnya mereka semua tertidur pulas. Maka, aku berkata kepada ayahku, "Dari semua orang yang tidur ini, tak ada seorang pun yang membuka matanya atau mengangkat kepalanya untuk berdoa. Mereka semua seperti mati."

Ayahku menjawab, "Anakku, aku lebih senang engkau juga tertidur dan tidak berdoa, daripada mengumpat." 

Membenarkan diri sendiri adalah bahaya yang sering muncul pada orang yang berusaha maju dalam hidup doa dan menjadi semakin saleh. 

(Dari: Buku Burung Berkicau, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Yayasan Cipta Loka Caraka, 1984)

Reformasi yang Benar

Suatu hari St. Fransiskus berbicara dengan salah seorang bangsawan di Asisi. Orang itu sedang meratapi kekacauan yang melanda dunia. Kata Fransiskus, “Yang Mulia tak perlu berduka atas hal ini, ada suatu cara untuk mengatasinya.”

Bangsawan tersebut bertanya, “Tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai kejahatan ini?” St. Fransiskus dengan tenang menjawab, “Itu mudah. Pertama-tama Yang Mulia dan saya harus menjadi sejatinya diri kita, lalu kita akan menghasilkan pemulihan batin. Kalau setiap orang melakukan hal demikian, pembaruan akan terjadi. Yang terburuk adalah setiap orang bicara tentang membarui orang lain, tanpa mencoba memperbaiki kebobrokan diri sendiri. Karena itulah terjadi kekacauan di mana-mana.” 

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna – 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Sabtu, 23 Juli 2011

Menghadapi Terpaan Angin Badai

Di sebuah kapal kayu yang berlayar di lautan terdapat dua awak kapal, seorang pejabat, dan empat petani. Minyak di kapal akan segera habis terpakai. Saat itu, langit tampak merah membara, diperkirakan akan segera terjadi angin topan.

Menghadapi keadaan itu, kedua awakkapal berdebat. Yang satu memutuskan untuk berlayar ke pulau kosong yang ada di depan mereka dan menunggu topan berlalu. Awak kapal yang lain berpendapat, meskipun minyak tidak cukup untuk mencapai tepian, posisi mereka tidak terlalu jauh dari sana. Kalau sudah mendekati tepian, ada banyak kapal hilir-mudik, sehingga bisa meminta bantuan.

Mereka harus cepat memutuskan. Lalu, pejabat menyarankan, biarlah penumpang kapal yang menentukan. Kedua awak kapal masing-masing berdiri di posisi ujung kapal yang berbeda. Para penumpang dapat memilih dengan bebas. Awak kapal dengan jumlah pengikut terbanyak harus diikuti sarannya.

Selesai berkata, pejabat itu langsung berdiri ke sisi salah satu awak kapal. Keempat petani semua berpikir, kalau pejabat saja sudah berdiri di sana, pasti tidak mungkin salah.

Serempak mereka berdiri dan berjalan ke arah pejabat itu. Kedua awak kapal yang melihat hal ini berteriak mencegah, tetapi terlambat. Karena salah satu sisi kapal ditempati enam orang, sementara sisi lain hanya seorang awak, kapal pun kehilangan keseimbangan dan dengan cepat tenggelam.

Perdebatan dapat mendatangkan masalah dan menghasilkan kerugian. 
Ada kalanya kebenaran tidak terletak pada keputusan orang banyak.   

(Dari: Buku 200 Kisah Terindah Sepanjang Mas dari China, karya Din Man. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011)

Jumat, 22 Juli 2011

Berbicara dengan Batin Hening

Kita memiliki ingatan masa lalu. Ingatan ini muncul kembali ketika kita di hadapkan pada persoalan, tantangan, atau situasi-situasi tertentu. Ingatan baik atau ingatan buruk ini telah menciptakan pola-pola reaktif dalam batin, kemudian menggerakkan tindakan.

Lihatlah cara Anda berbicara. Apakah Anda berbicara karena takut, karena bingung, karena kesepian? Apakah Anda berbicara untuk menonjolkan diri, untuk mendominasi, untuk merendahkan yang lain?

Motif dan tujuan halus yang mengiringi cara Anda berbicara membuat berbicara sekadar sebagai reaksi. Ketika motif dan tujuan tersebut disadari saat itu muncul, apa yang terjadi? Bukankah batin diam? Dan ketika Anda melanjutkan berbicara sementara batin diam, apa yang terjadi? Bukankah terdapat suatu kualitas bicara yang berbeda?

Mari kita melihat tindakan kita dalam relasi antarpribadi. Batin yang tidak bebas dari beban pencitraan tidak mampu bertindak benar dalam relasi-relasi antarpribadi. Pencitraan adalah gagasan, gambaran, atau pengetahuan yang kita bentuk dari suatu pengalaman. Kita sering kali berhubungan satu dengan yang lain menurut gambaran tertentu. Aku memiliki gambaran tertentu tentang diriku. Aku memiliki gambaran tertentu tentang Anda. Begitu pula Anda.

Lalu, kita saling berinteraksi mengikuti gambaran kita masing-masing. Adakah relasi pribadi antara aku-engkau yang sesungguhnya dalam relasi yang digerakkan oleh gambaran ini? Bukankah yang terjadi adalah kita berhubungan dengan gambaran Anda dan gambaran saya sendiri? Bukankah dengan demikian tidak ada relasi pribadi, karena tindakan kita hanya digerakkan oleh gambaran kita sendiri? Karena gambaran kita tentang diri kita atau orang lain terkondisi, bukankah tindakan relasi antarpribadi yang dihasilkannya juga terkondisi?

Selama batin kita tidak sungguh-sungguh diam, maka segala tindakan dan kegiatan kita tidak lain hanya perluasan dari kepentingan diri. Kalau ada pemahaman total atas seluruh proses batin ini, maka tindakan dan kegiatan kita mungkin menjadi berbeda.

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Kamis, 21 Juli 2011

Di Antara yang Berlawanan

Berhentilah mencari kesempurnaan.
Berhentilah berusaha memperbaiki orang,
maka semua orang akan memetik manfaatnya seratus kali lipat.

Relakanlah idealisme.
Lupakanlah moralitas.
Berhentilah mengajarkan kepantasan,
biarkanlah kasih sayang alami timbul dengan sendirinya.

Aksi menciptakan reaksi, seolah-olah alam semesta ini berlawanan.
Temukanlah permulaan, maka akhirannya akan dinyatakan.
Ungkapkanlah suatu pendapat, maka seseorang akan tidak sependapat.
Perbuatlah apa pun, maka tiba-tiba ada saja penentangan.

Ada jalan di antara segala yang berlawanan.
Ikutilah prinsip-prinsip ini:
kembalilah kepada kesederhanaan;
janganlah mengumbar nafsu;
janganlah menganggap diri penting;
lihatlah inti dari segalanya.

Jalan di tengah-tengah adalah penyeimbang yang pelik antara
berbuat dengan tidak berbuat,
belajar dengan menanggalkan pembelajaran,
mengisi dan mengosongkan.

(Dari: Buku Tao Kehidupan - Ajaran Lao Tzu yang Diadaptasi untuk Zaman Baru, karya Ray Grigg. Penerbit Lucky Publishers, 2002) 

Rabu, 20 Juli 2011

Memecahkan Masalah

Baru-baru ini saya menerima undangan berbicara dalam siaran langsung di radio. Setelah memasuki studio, baru saya diberitahu bahwa acara malam itu bertema "orang dewasa," dan saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan secara langsung bersama seorang pakar seksologi ternama.

Kami sepakat memanggil saya dengan julukan "Mister Monk." Sebagai biksu, saya tidak banyak tahu tentang seluk-beluk hubungan intim, namun masalah-masalah mendasar yang ditanyakan para penelepon bisa dengan mudah ditangkap.

Dalam suatu diskusi di radio, seorang penelepon mengajukan pertanyaan, "Saya sudah menikah, saya berselingkuh dengan perempuan lain dan istri saya tidak tahu. Apakah ini tidak apa-apa?" Kalau disodori pertanyaan demikian, bagaimana Anda akan menjawabnya? 

"JIka itu tidak apa-apa," jawab saya, "Anda tidak akan menelepon untuk menanyakan hal itu."

Banyak orang yang menanyakan pertanyaan semacam itu, sebenarnya tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, tetapi dengan harapan beberapa "pakar" akan meyakinkan mereka bahwa perbuatan itu dapat dibenarkan.

Jauh di dalam lubuk hati, kebanyakan orang tahu apa yang salah dan apa yang benar - hanya saja, sebagian orang tidak mendengarkannya dengan saksama. 

(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya - 108 Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publication, 2011)

Selasa, 19 Juli 2011

Pendengar Sejati

Banyak yang dapat dihasilkan, kalau pertama-tama orang sedikit berbicara dan lebih banyak mendengarkan ...

Ketika Calvin Coolidge menjadi Presiden Amerika Serikat, setiap hari ia menerima banyak tamu. Kebanyakan mereka menyampaikan keluhan. Suatu hari, seorang Gubernur bertanya kepada Presiden, bagaimana ia dapat menerima begitu banyak tamu dalam beberapa jam saja?

"Bapak bisa selesai menerima semua tamu pada waktu makan malam," kata Gubernur, "sedangkan saya sering kali harus tinggal di kantor sampai tengah malam."

"Tentu saja," kata Presiden Coolidge, "Karena Bapak berbicara." 

Seorang pendengar yang sejati dapat mendengarkan orang, juga kalau ia tidak mengatakan sesuatu.

(Dari: Buku Doa Sang Katak 2 - Meditasi dengan Cerita, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Kanisius, 1991)

Senin, 18 Juli 2011

Katak dan Ayam Jago

Suatu kali, Zi Qin bertanya kepada gurunya, Mo Zi, "Guru, apakah banyak berbicara itu baik?"

Mo Zi menjawab, "Kamu lihat katak-katak yang hidup di pinggir sungai? Mereka bersuara tiada henti siang dan malam. Tetapi, tak seorang pun memerhatikan apa sebenarnya yang mereka ributkan. Sekarang, kamu lihat  ayam jago, hanya pada waktu subuh ia berkokok. Tetapi, begitu ayam jago berkokok, orang-orang yang mendengar suaranya satu per satu memulai hari baru. Bila kita mengetahui dengan tepat, kapan waktunya berbicara, kapan waktunya berpendapat, dan mampu menyampaikan hal terpenting tanpa berbelit-belit, maka kita bisa mendapat perhatian orang lain dan memperoleh hasil yang diinginkan."
   
(Dari: Buku 200 Kisah Terindah Sepanjang Masa dari China, karya Din Man. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011)

Minggu, 17 Juli 2011

Sekarang Saya Mulai

 Nunc coepi adalah frasa dalam bahasa Latin yang berarti, “sekarang saya mulai.” Para calon biarawan di berbagai seminari pada zaman dulu diajarkan untuk mengucapkannya setiap pagi sebagai ungkapan bahwa apa yang ada dahulu telah berlalu, apa yang akan terjadi tersembunyi di masa mendatang. Hanya sekarang inilah – hari ini, saat ini – yang berarti. Sekarang saya mulai.

Setiap hari adalah kesempatan lain dan permulaan baru. Kita perlu menyadari hal itu. Hari yang kini ada di tangan kita penuh dengan berbagai kemungkinan. Mengapa kita begitu mudah menghapuskan kehebatan Saat Sekarang?

Kita dapat mulai dari awal setiap pagi, bila kita memutuskan untuk menjalani hidup seperti itu. Sesuatu akan terjadi pada saat kita mengulurkan tangan untuk memeluknya.

(Dari: Buku Percaya dalam Diri Sendiri, karya Earnie Larsen & Carol Hegarty. Penerbit Professional Books, 1997)

Sabtu, 16 Juli 2011

Melihat Hidup dalam Pandangan Berbeda

 Sepasang suami-istri berusia lanjut memiliki dua anak perempuan. Putri pertama menikah dengan seorang pria yang menjual payung, sedangkan putri bungsunya menikah dengan penjual topi anyaman.

Pada hari cerah, sang ibu berkata, "Oh, hari ini tidak menguntungkan bagi menantu pertamaku." Namun ketika hari hujan, ia juga mengeluh, "Tak ada orang yang akan membeli topi anyaman menantu keduaku." Perempuan itu tak pernah merasa bahagia jika hari hujan atau pun jika matahari bersinar terang.

Namun, suaminya melihat hal itu dari sudut berbeda. Ia tetap saja senang kala hari hujan maupun ketika hari cerah. Pada saat cuaca cerah, ia berpikir menantu keduanya akan menjual banyak topi anyaman dan ketika hari hujan ia membayangkan payung yang dijual menantu pertamanya akan banyak laku.

Kenyataannya, kebahagiaan itu bergantung pada cara kita menyikapi sesuatu dan tak pernah berada jauh dari kita. Semua tergantung kita puas atau tidak. 

(Dari: Buku Kebijaksanaan China Sehari-hari, dikompilasi oleh Cheng Qinhua. Penerbit Elex Media Komputindo, 2011)

Jumat, 15 Juli 2011

Memahami Rasa Terluka

Apa yang dilakukan kebanyakan orang ketika timbul rasa terluka? Orang suka menutup-nutupi atau melarikan diri lewat hiburan-hiburan. Ada yang menghadapinya dan berjuang keras untuk melepaskan diri dari luka-luka batin itu. Tetapi selama belum ada pemahaman langsung, tanpa dibatasi oleh pengetahuan atau kepercayaan, pelarian atau penolakan, maka orang masih belum terbebas dari belenggu luka batinnya.

Luka fisik adalah respons saraf terhadap gangguan tubuh fisik,  sedangkan luka batin adalah respons batin terhadap gangguan batin yang aman. Kita semua menyenangi keamanan, kenikmatan, kebahagiaan, kepastian, kekuasaan, kesejahteraan. Kita memiliki harta kepemilikan, pengetahuan, kepercayaan. Lalu kita mudah melekat pada rasa aman atau rasa pasti. 

Adakah rasa aman yang abadi? Kita tahu itu tidak ada. Kehidupan kita terus berubah. Tetapi kita tidak mau sungguh-sungguh berubah. Kita memilih mau tetap tinggal di zona aman. Ketika rasa aman atau rasa pasti diganggu atau diguncang, maka batin mudah terluka atau tersakiti. Kalau batin tidak memiliki tempat berlabuh, tidak melekat pada rasa aman atau rasa pasti, tidak melekat pada kepemilikan, pengalaman, pengetahuan, gambaran, kepercayaan, bukankah batin tidak terluka?

Ketika orang mengatakan, ”aku terluka,” seolah-olah ada entitas lain yang terluka. Siapakah si aku yang terluka? Sesungguhnya si aku tidak berbeda dari luka itu sendiri. Si aku itu tidak lain adalah timbunan pengalaman, ingatan, gambaran, pengetahuan, gagasan, ideologi, keyakinan, kepercayaan, dan seterusnya.  Kalau semua itu tidak ada, maka si aku juga tidak ada. Ketika si aku berakhir, luka juga berakhir. Bisakah Anda memandang luka Anda bukan sebagai objek yang terpisah dari diri Anda sendiri?

Kalau kita memahami rasa terluka tanpa gagasan, tanpa pikiran, tanpa kepercayaan, tanpa pembelaan, tanpa penolakan, tanpa menamai, tanpa keinginan halus untuk bebas dari luka, tanpa reaksi-reaksi batin, maka kita memahami rasa terluka secara langsung. Rasa terluka itu terurai, tertembus, terpahami tuntas dengan sendirinya. Tidak ada bedanya luka lama atau luka baru, luka yang dalam atau luka yang dangkal. 

Saat rasa terluka sepenuhnya berhenti, maka batin bebas sepenuhnya, sampai momen gambaran tentang diri kita muncul lagi dan berpotensi menimbulkan rasa terluka kembali. Rasa terluka belum berhenti secara permanen, selama gambaran tentang diri belum berakhir secara permanen. Maka, diperlukan kewaspadaan atas rasa terluka setiap kali itu muncul. Kalau tidak waspada, kita akan kembali mudah terluka dan mudah membuat masalah dalam relasi kita.

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Kamis, 14 Juli 2011

Berapa Banyak Sendok Buah Berry?


“Saya tak akan memaafkan dia,” kata seorang wanita tua dengan lembut namun tegas, ketika perawat membawa obat untuknya setiap malam. Ekspresi wanita tua itu penuh kepedihan, saat menceritakan bagaimana saudaranya mendekati tempat tidurnya dan menuduh ia mengambil pusaka keluarga lebih daripada bagiannya, setelah ibu mereka meninggal.

Saudaranya bicara berbagai hal sampai pada sendok buah berry. “Saya menginginkan sendok itu,” kata saudaranya. Selama empat puluh tahun sejak kematian ibu mereka, saudaranya telah menyembunyikan perasaan tersebut dan sekarang terkuak. Sementara wanita tua itu sakit hati dan marah atas tuduhan saudaranya dan bersumpah tak akan pernah mau memaafkannya. “Itu sendokku. Ibu memberikannya kepadaku,” ujarnya. 

Perawat yang berdiri di sisi tempat tidurnya menjadi sedih. Sebuah sendok buah berry! Karena sakit parah, diperkirakan usia wanita tua itu tinggal dua bulan, namun hanya lantaran sendok buah berry, ikatan keluarga yang masih ada menjadi berantakan.

Saat kembali ke ruang kerjanya, perawat itu termenung, “Berapa banyakkah sendok buah berry dalam hidupku?”   

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna – 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)

Rabu, 13 Juli 2011

Hidup Batin

Socrates, seorang filsuf sejati, yakin bahwa orang yang bijak dengan sendirinya hidup sederhana. Ia sendiri tidak memakai sepatu, namun ia selalu tertarik akan keramaian pasar dan sering pergi ke sana untuk melihat berbagai macam barang yang diperdagangkan.

Ketika salah seorang kawannya bertanya, mengapa ia suka pergi ke pasar; Socrates menjawab, "Saya senang mengetahui ada berapa banyak barang di pasar; meskipun tidak memilikinya, saya tetap gembira."

Hidup batin adalah tidak mengetahui apa yang engkau kehendaki, 
tetapi memahami apa yang tidak engkau butuhkan.  

(Dari: Buku Doa Sang Katak 2 - Meditasi dengan Cerita, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Kanisius, 1991)

Tidak Takut

Tuhanku, saya tidak memiliki tujuan ke mana saya akan pergi,
saya tidak melihat jalan di depan saya,
saya tidak mengetahui secara pasti 
di mana jalan ini akan berakhir...
tetapi saya tidak takut, karena Engkau selalu bersamaku.

                                                                      - Thomas Merton

(Dari: Buku Percaya dalam Diri Sendiri, karya Earnie Larsen & Carol Hegarty. Penerbit Professional Books, 1997)

Selasa, 12 Juli 2011

Menjaga Keseimbangan

Seorang yang intuitif tidak berusaha menjangkau puncak,
karena ia tahu, bisa-bisa ia kehilangan keseimbangan.

Ia juga tidak mengejar sasaran, 
karena ia tahu, bisa-bisa ia kehilangan kegembiraan menempuh perjalanannya.

Mengikuti jalan batiniahnya, ia tetap berada di dalam terang, sehingga ia tak perlu sesumbar 
dan merasa terhubungkan dengan diri sendiri maupun sesamanya,
ia tidak perlu menang.

Sebab ia tahu, semua hal yang lahiriah ini tidak membawa kebahagiaan, dan dibimbing oleh sukacitanya, ia tak akan goyah.

(Dari: Buku Tao Kehidupan yang Bertujuan, karya Judith Morgan & Andre de Zanger. Penerbit Lucky Publishers, 2003)

Misteri Akhir

Sepintar apa pun seseorang, ternyata ada batas-batas tertentu yang tidak akan mampu ditembusnya, yaitu hati nurani dan rencana orang lain. Apa yang dipikirkan dan diinginkan orang lain adalah misteri yang tidak akan terkuak ke hadapan publik. Artinya, kita memiliki satu imunitas nan hakiki bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diintervensi orang lain, karena setiap insan mempunyai rencana sendiri-sendiri. Oscar Wilde, penyair, novelis, dan dramawan asal Irlandia, suatu ketika mengatakan, “Misteri akhir dari segalanya adalah diri orang itu sendiri.”

(Dari: Buku Stories of Zen in Comics – Kisah Zen dalam Komik untuk Mencapai Pencerahan Hidup, karya Ponijan Liaw & Andrew Ho. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2008)

Senin, 11 Juli 2011

Berita Terbaik

Suatu kali, Roberto de Vincenzo seorang pemain golf terkenal dari Argentina, memenangkan turnamen golf profesional yang berhadiah uang tunai dalam jumlah besar. Setelah menerima cek, ia bergegas pergi.

Beberapa saat kemudian, ketika berjalan ke mobil, ia dihampiri seorang wanita. Wanita itu memberinya selamat, lalu mengatakan bahwa bayinya sakit parah dan hampir meninggal, tetapi ia tidak tahu bagaimana membayar dokter dan rumah sakit. De Vincenzo tersentuh dan mengambil pen untuk menandatangani pengalihan cek kemenangan yang baru diperolehnya ke wanita itu.

Seminggu setelahnya, De Vincenzo tengah makan siang di sebuah klub, ketika seorang pejabat asosiasi golf profesional mendatangi mejanya. "Beberapa orang di tempat parkir mengatakan, Anda bertemu seorang wanita, setelah Anda menang turnamen minggu lalu," katanya. De Vincenzo mengangguk. "Saya punya berita untuk Anda, wanita itu penipu. Dia tak punya bayi yang sakit!" lanjut sang pejabat asosiasi golf.

"Itu adalah berita terbaik yang saya dengar minggu ini," jawab De Vincenzo.

Kebahagiaan Anda tidak tergantung pada kejadian-kejadian di sekitar Anda, tetapi pada apa yang Anda ciptakan dari kejadian-kejadian itu. Anda tidak dapat mengontrol apa yang orang lain lakukan, tetapi Anda memiliki kontrol penuh atas respons Anda sendiri.

(Dari: Buku Hati yang Bijaksana - Wisdom of the Heart, karya Alan Cohen. Penerbit Interaksara, 2005)

Minggu, 10 Juli 2011

Berhenti Menggali Emas untuk Menjual Air

Di tahun 1938, berita tentang simpanan emas yang ditemukan di suatu kota di Xinjiang menyebar ke seluruh negeri. Banyak orang bergegas ke sana untuk mencari emas.

Di antara orang-orang itu, terdapat seorang petani berusia 17 tahun, namanya Zhang Dong. Ternyata, di kota itu tidak ada bijih emas seperti yang dibayangkan orang, dan tak seorang pun mendapatkan emas. Banyak orang malah jatuh sakit karena cuaca panas dan kering, serta kekurangan air.

Ketika berada di tengah orang-orang yang mengumpat karena tidak menemukan emas, tiba-tiba Zhang Dong mendapat gagasan. Ia meninggalkan mereka dan mencari sumber air. Ia lalu membawa air ke daerah penggalian emas dan menjual air kepada mereka. Dalam waktu kurang dari dua bulan, ia berhasil mengumpulkan banyak uang. Ketika orang-orang meninggalkan lokasi galian emas dengan tangan hampa, Zhang Dong malah berhasil mengumpulkan rezeki.

Tak guna mengumpat saat berada dalam situasi sulit. Dengan ketenangan hati, dapat muncul gagasan kreatif.  

(Dari: Buku Kebijaksanaan China Sehari-hari - Everyday Chinese Wisdom, dikompilasi oleh Cheng Qinhua. Penerbit Elex Media Komputindo, 2011)

Sabtu, 09 Juli 2011

Bebas dari Mesin Pikiran dan Waktu

Pikiran memuat berbagai ingatan masa lampau dan ilusi masa depan. Ia bukan Saat Sekarang. Pikiran adalah arus waktu. Pikiran memisahkan dan menjauhkan Anda dari Saat Sekarang.

Kesadaran bekerja tidak tergantung pikiran. Kesadaran merupakan nyala api Saat Sekarang. Arus kesadaran merupakan arus di luar waktu. Kesadaran menyatukan pikiran, perasaan, kehendak, tindakan, dan keseluruhan diri Anda.

Saat Anda tidak sadar, Anda terjebak pada arus pikiran dan waktu. Anda merasa  tidak lengkap, kurang sempurna, takut, gelisah, cemas, mudah marah, benci, terluka, dan seterusnya. Semua itu menjadi tanda bahwa Anda tidak sadar. Kalau Anda sadar, Anda bebas dari mesin pikiran dan waktu.

Pikiran telah menciptakan banyak mesin kehancuran di muka bumi. Mesin pemiskinan, ketidakadilan, kekerasan - tidak lain adalah ciptaan pikiran. Ketidaksadaran kolektif telah melahirkan pikiran yang menghancurkan wajah kemanusiaan dan alam semesta ini.

Kalau Anda tidak sadar, Anda sudah ikut dalam arus penghancuran itu. Kalau Anda sadar, Anda mungkin dimampukan untuk memotong mesin penghancuran itu mulai dari dalam diri Anda.

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Jumat, 08 Juli 2011

Mengasihi yang Dekat

Sungguh mudah mengasihi orang yang tinggal jauh. 
Tidak selalu mudah mengasihi mereka 
yang tinggal persis di sebelah kita. 
Lebih mudah menawarkan sepiring nasi 
untuk memenuhi kelaparan orang yang berkekurangan,
ketimbang menghibur kesepian dan penderitaan seseorang  
yang merasa tidak dikasihi di rumah kita sendiri.

                                                                                                       - Ibu Teresa

(Dari: Buku Heart of Joy - Kuasa Penyerahan Diri yang Mengubah, karya Ibu Teresa. Penerbit Santo Press, 2002)

Pelempar Bintang

Saat sedang berlibur, Jed pergi ke pantai untuk berjemur di bawah sinar mentari. Suatu hari, ia mengamati para pengumpul kerang terlibat dalam pertengkaran. Mereka masing-masing membawa kantong berisi bintang laut, kepiting, kacamata selam, dan sebagainya – benda-benda yang dapat dikumpulkan di sepanjang pantai. Mereka berebut mengumpulkan yang terbaik dan terbanyak.Kejadian itu membuat Jed merenung, betapa banyak orang menjalani kehidupan seperti mentalitas para pengumpul kerang.

Hari berikutnya, Jed melihat seseorang berjalan sendirian di tengah hiruk-pikuk para pengumpul kerang. Orang itu membungkuk, kemudian melempar suatu benda ke laut melampaui pecahan ombak. Jed menghampirinya dan bertanya apa yang sedang dilakukan? Orang itu menjawab dengan lembut, “Saya adalah pelempar bintang.”

Karena tidak paham, Jed semakin mendekatinya. Dengan gerakan cepat tetapi penuh perasaan, orang itu mengambil bintang laut dan melemparkannya jauh di atas hempasan ombak. “Ia mungkin bisa hidup, jika arus ke dalam laut cukup kuat,” kata orang itu.

Orang itu bukan pengumpul kerang, tetapi juga bukan penonton. Ia memutuskan untuk menjadi bagian kehidupan, membantu memberikan kembali kesempatan hidup bagi bintang laut. Jed meninggalkan pantai seraya sesekali membungkuk, melemparkan bintang laut yang masih hidup melampaui hempasan ombak menuju kebebasan.

Rahasia pelempar bintang merupakan nasihat bijak bagi setiap orang. Hidup tidak hanya untuk mengumpulkan, tidak juga hanya diamati dari jauh. Hidup hendaknya dirayakan dengan menggabungkan diri ke dalamnya dan memberikan kembali sesuatu bagi kehidupan.

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna – 100 Cerita Bijak jilid ke-6, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2004)

Kamis, 07 Juli 2011

Kebenaran tentang Diri Anda

 Pikiran yang dipenuhi rasa takut mengajarkan Anda bahwa kebenaran tentang diri Anda itu tidak menyenangkan, sehingga Anda tidak dapat menghadapi apa yang akan Anda temukan, jika Anda memiliki keberanian untuk melihat kebenaran itu. 

Namun kenyataannya, kebenaran tentang diri Anda begitu menarik, sehingga jika Anda menatap kebenaran itu, Anda akan mendapatkan pembenaran dan inspirasi.

Sebagian besar yang Anda pikirkan tentang diri Anda diperoleh dari berbagai pendapat orang lain. Selama ini Anda mengambil citra suram diri Anda yang diproyeksikan atas diri Anda oleh orang-orang lain, yang sebenarnya tidak tahu atau hanya mencintai diri mereka sendiri. Lalu, Anda mulai percaya bahwa Anda memiliki kekurangan atau jahat.

Saat perhatian mulai Anda arahkan ke dalam   Anda, kemudian Anda mundur dengan rasa takut, kalau-kalau diri Anda terkuak. Anda tidak berani melihat diri Anda yang sesungguhnya, Anda lalu menemukan banyak cara untuk mengalihkan diri Anda dari hal tersebut. Berbagai kesibukan dan ketergantungan menjadi cara-cara untuk bisa menghindar dari menghadapi diri sendiri.

Temukan kedamaian dengan berhentilah menghindar. Jadilah apa adanya. Sadari secara lebih utuh, apa yang Anda rasakan. Pelarian diri sebenarnya tak akan membawa Anda ke mana pun. Jika Anda tidak menghindar, saat itulah Anda akan mengenali diri Anda melalui mata cinta, dan segala sesuatu akan menjadi berbeda.

(Dari: Buku Hati yang Bijaksana – Wisdom of the Heart, karya Alan Cohen. Penerbit Interaksara, 2005)

Rabu, 06 Juli 2011

Mengapa Tidak Menyerahkan Beberapa Meter?

Keluarga Zhang dan Ye bertetangga. Setiap keluarga ingin menggeser tembok luar mereka lebih jauh lagi ke sisi sebelahnya. Begitu satu keluarga menggeser dinding ke arah luar sepanjang 1,2 meter, maka keluarga lainnya akan menggeser dinding mereka ke arah berlawanan sepanjang 2,4 meter.

Ketika sampai pada puncak kemarahan, Zhang menulis surat kepada kakaknya yang memiliki posisi sebagai pejabat di Ibukota. Ia berharap kakaknya akan menekan Ye. Tak lama kemudian, kakak Zhang membalas surat adiknya dengan kalimat berikut: Kau mengirim surat dengan jarak ribuan li hanya untuk sebuah dinding. Mengapa tidak menyerahkan beberapa meter kepada orang yang ada di seberangmu? Tembok Besar yang berjarak sepuluh ribu li masih tetap berdiri di sana, sementara Kaisar Pertama Qin sudah lama tak terlihat lagi.

Zhang lalu sadar, orang yang memiliki kekuasaan pun seperti Kaisar Pertama Qin yang memerintahkan pembangunan Tembok Besar China, hanyalah bagian dari masa lampau. Mengapa harus bertengkar karena sebuah dinding?

Akhirnya Zhang menyerahkan beberapa meter kepada tetangganya. Karena malu, Ye mengikuti apa yang dilakukan Zhang. Hasilnya, jalan yang tadinya sempit menjadi lebih lebar dan kedua keluarga itu berbaikan. Orang-orang memuji sikap mereka yang menyerahkan beberapa meter tanahnya untuk jalan umum dan menamakan jalan itu "Jalan Ren De" (Jalan Kemurahan Hati). 

(Dari: Buku Kebijaksanaan China Sehari-hari - Everyday Chinese Wisdom, dikompilasi oleh Cheng Qinhua. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2011)

Selasa, 05 Juli 2011

Jangan Berubah

Sudah lama aku mudah naik darah. Aku serba khawatir, mudah tersinggung, dan egois. Setiap orang mengatakan, aku harus berubah. Dan setiap orang terus-menerus menekankan betapa mudah aku menjadi marah.

Aku sakit hati terhadap mereka, biar pun sebetulnya aku setuju dengan nasihat mereka. Aku memang ingin berubah, tetapi aku tidak berdaya untuk berubah, betapa pun aku telah berusaha.

Aku merasa paling tersinggung ketika sahabat karibku juga mengatakan, aku mudah naik pitam. Ia juga terus-menerus mendesak supaya aku berubah. Aku mengakui, ia benar, meskipun aku tidak bisa membencinya. Aku merasa sama sekali tidak berdaya dan terpasung.

Namun, suatu hari sahabat karibku berkata kepadaku, “Jangan berubah! Tetaplah seperti itu. Sungguh, tak jadi soal apakah engkau berubah atau tidak. Aku mencintaimu sebagaimana kau adanya. Aku tidak bisa tidak mencintaimu.”

Kata-kata itu berbunyi merdu di telingaku. “Jangan berubah… Aku mencintaimu.” Aku menjadi tenang. Aku mulai bergairah. Dan, oh, sungguh mengherankan, aku berubah!

(Dari: Buku Burung Berkicau, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Yayasan Cipta Loka Caraka, 1984)

Senin, 04 Juli 2011

Pilihlah Satu Kursi

Penyanyi tenor termasyhur di dunia, Luciano Pavarotti, mengenang, “Ketika saya masih kanak-kanak, ayah saya seorang tukang roti, memperkenalkan saya pada pesona sebuah lagu. Ia memaksa saya berlatih sangat keras demi mengembangkan suara saya. Arrigo Pola, penyanyi tenor profesional di kampung saya, menjadikan saya sebagai murid. Saya juga mendaftarkan diri di lembaga pendidikan tinggi keguruan. Ketika hampir selesai, saya bertanya kepada ayah, apakah saya sebaiknya menjadi guru atau penyanyi?

Ayah saya menjawab, jika saya berusaha duduk di dua kursi, maka saya akan jatuh di antara keduanya. Untuk hidup, saya harus memilih, saya hanya dapat duduk di satu kursi. Akhirnya saya memilih salah satu. Sebelum tampil profesional untuk pertama kali, selama tujuh tahun saya harus belajar dan frustasi. Tujuh tahun berikutnya saya harus belajar lagi untuk bisa tampil di Opera Metropolit.

Kini saya yakin, entah belajar menjadi tukang batu atau menulis buku – apa pun yang kita pilih – kita harus mengabdikan diri pada pilihan kita. Komitmen, itulah kuncinya. Pilihlah satu kursi.”

(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna – 100 Cerita Bijak jilid ke-6, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2004)

Minggu, 03 Juli 2011

Selamanya Terbebaskan

Ketika engkau harmonis dengan dirimu sendiri,
engkau memiliki segala yang kaubutuhkan.

Ketika engkau penuh hasrat,
mengingini, mengambil, memiliki, 
bisa jadi engkau kehilangan jalanmu.

Ketika engkau penuh ketidakpuasan,
bisa jadi engkau seperti berperang
dengan diri sendiri dan sesamamu.

Seseorang yang memelihara kecukupan diri,
mengenal betapa membahagiakannya kedamaian itu,
dan selamanya terbebaskan. 

(Dari: Buku Tao Kehidupan yang Bertujuan, karya Judith Morgan & Andre de Zanger. Penerbit Lucky Publishers, 2003)

Kemanunggalan Menakjubkan

Ketika realitas bisa diselami pada tataran tertingginya, 
seseorang telah mencapai tingkat kebijaksanaan yang  disebut 
pikiran non-diskriminatif – sebuah kemanunggalan menakjubkan,
di mana tidak ada lagi pembedaan antara subjek dan objek.

                                                                              - Thich Nhat Hanh

(Dari: Buku Keajaiban Hidup Sadar, karya Thich Nhat Hanh. Penerbit Karaniya, 2010)

Sabtu, 02 Juli 2011

Di Manakah Tuhan Ditemukan?

Dalam segala keadaan, orang mencari Tuhan. Terlebih saat orang mengalami penderitaan, kekecewaan, kegagalan, keterbatasan. Orang sering mencari Tuhan di luar dirinya, padahal Tuhan sudah ada di dalam dirinya dan melingkupi dirinya. DIAlah yang memungkinkan manusia hidup, bergerak, dan ada.


Segala sesuatu yang kita butuhkan untuk tetap hidup sudah tersedia di hadapan kita dua puluh empat jam setiap hari: udara, air, api, bumi, sinar matahari, napas, dan lainnya. Apakah kita bisa menikmati bersihnya udara, segarnya air, hangatnya sinar matahari, indahnya napas, dan seterusnya? Semuanya bergantung pada kesadaran. Kalau tak pernah sadar, maka kita tidak tahu bagaimana menikmati realitas itu. Kita belum sungguh-sungguh menikmati kehidupan dan apa yang membuat kita tetap hidup. 

Tuhan pun tersedia bagi kita dua puluh empat jam setiap hari. Olah kesadaran menghantar kita berjumpa secara langsung denganNya. Lihatlah hubungan yang begitu dekat antara ikan dengan air. Ikan  dilingkupi oleh air. Bahkan dalam diri ikan, terdapat unsur-unsur air. Tanpa air, ikan tak mungkin bisa hidup, bergerak, dan ada.

Manusia  seperti ikan dan Tuhan  seperti lautan air. Tuhan melingkupi manusia secara menyeluruh dan mendalam. Ia ada di dalam, sekaligus di luar diri manusia. Ia ada di mana-mana secara umum dan tidak ada di mana-mana secara khusus. Tanpa Tuhan, manusia tak mungkin bisa hidup, bergerak, dan ada. Bisakah kita melihat kebenaran itu secara aktual, bukan sebatas pikiran?

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Jumat, 01 Juli 2011

Kios Kebenaran

Ketika aku melihat papan nama pada kios itu, hampir-hampir aku tidak percaya pada apa yang kubaca: KIOS KEBENARAN. Mereka menjual Kebenaran di sana!

Gadis penjaga kios bertanya dengan amat sopan, “Kebenaran macam apa yang ingin dibeli? Sebagian Kebenaran atau seluruh Kebenaran?” Tentu saja, seluruh Kebenaran! Aku tak perlu menipu diri, mengadakan pembelaan diri, atau rasionalisasi lagi. Aku menginginkan kebenaranku terang, terbuka, penuh, dan utuh. Ia memberi isyarat, agar aku menuju ke bagian lain dalam kios itu, yang menjual Kebenaran yang utuh.

Pemuda penjaga kios yang ada di sana memandangiku dengan rasa kasihan dan menunjukkan daftar harga. “Harganya amat tinggi, tuan,” katanya. “Berapa?” tanyaku mantap, karena ingin mendapat seluruh Kebenaran, berapa pun harganya.

“Kalau tuan membelinya, kata penjaga kios, “Tuan akan membayarnya dengan kehilangan semua ketenangan dalam seluruh sisa hidup tuan.”

Aku keluar dari kios itu dengan rasa sedih. Aku mengira, aku dapat memperoleh seluruh Kebenaran dengan harga murah. Aku masih belum siap menerima Kebenaran. Terkadang aku mendambakan ketenangan. Aku masih perlu sedikit penipuan diri dengan membela dan membenarkan diri. Aku masih ingin berlindung di balik kepercayaan-kepercayaanku yang tak boleh dipertanyakan.  

(Dari: Buku Burung Berkicau, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Yayasan Cipta Loka Caraka, 1984)