Cari Blog Ini

Jumat, 12 Agustus 2011

Perubahan dalam Apa Adanya

Banyak orang memiliki hasrat untuk berubah, namun  tidak mendapati perubahan yang radikal. Mengapa demikian?

Beginilah cara kebanyakan orang berubah. Ada kenyataan lama yang ingin kita ubah, lalu kita berjuang melawannya atau mewujudkan kenyataan baru sebagai kebalikannya. Ada ide atau nilai luhur, lalu kita berjuang mewujudkan nilai luhur tersebut. Proses ini berjalan begitu rumit, lama, bertahap, bertele-tele. Meski demikian, jurang antara ide dan kenyataan tetap tak terjembatani. Perubahan yang dihasilkan tidak mendasar. 

Sebagai contoh,  kemarahan. Aku tahu, aku pemarah. Lalu muncul niat menjadi penyabar. Aku bergulat mengalahkan kecenderungan marah, atau aku berjuang menjadi penyabar. Nilai kesabaran aku latihkan setiap hari. Tetapi, aku mendapati perubahan itu hanya sedikit sekali. 

Pikiran, gagasan, ide, nilai, ajaran, teori; serta kelanjutannya berupa hasrat dan keinginan, niat dan kehendak, telah menjauhkan kita dari kenyataan yang kita hadapi. Tindakan yang digerakkan oleh pikiran sebenarnya sekadar reaksi, sehingga bukan sungguh-sungguh tindakan. Maka, wajar kalau perubahan yang dihasilkan pun tidak mendasar.

Bagaimana supaya perubahan yang sesungguhnya mungkin terjadi? Sebelum pikiran bergerak, kita merespons rangsangan dari luar atau dari dalam batin dengan persepsi murni. Persepsi murni adalah pemahaman total akan kenyataan seperti apa adanya. Disebut murni karena belum dipengaruhi oleh pikiran yang sudah terkondisi. Persepsi murni bekerja memintasi pikiran dan langsung menghasilkan tindakan. Di situlah perubahan seketika dan total terjadi, tanpa direncanakan, dipupuk, diupayakan, dikehendaki,atau diminta. 

Kalau kemarahan diamati secara total, maka kita melihat kebenaran murni. Di sinilah kita mendapati perubahan yang luar biasa, suatu perubahan yang tidak dipikirkan lebih dulu atau diinginkan, bebas dari pikiran dan dominasi ke-aku-an.

Bisakah perilaku buruk kita hadapi tanpa niat untuk menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin? Bisakah kita hidup di tengah dunia, tanpa ambisi untuk mengalahkan keinginan-keinginan duniawi? Bisakah kita hidup seperti air mengalir, tanpa ambisi untuk mengubah sedikit pun?

Semakin keras mengubah diri sendiri, semakin kuat diri ini tidak berubah. Semakin garang menuntut orang lain berubah, semakin besar konflik dan perlawanan terhadap perubahan itu sendiri. Semakin besar ambisi mengubah dunia, semakin kecil ruang bagi munculnya perubahan. Memahami dan menerima apa adanya diri sendiri, sesama, dan dunia membuat perubahan terjadi dengan caranya sendiri, tepat pada waktunya.

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar