Cari Blog Ini

Minggu, 29 September 2013

Life is Beautiful


Kalau Anda pernah menonton film Life is Beautiful (La Vita est Bella), pasti Anda akan sepakat: hidup memang indah. Mengambil setting di Italia pada awal Perang Dunia II, film ini bercerita tentang seorang lelaki bernama Guido Orefice yang sangat menikmati hidupnya. Terlepas dari masalah apa pun yang dihadapinya, ia tak lupa bernyanyi dan menari. Padahal, dunia di luar sana tak terlalu bersahabat. Pada masa itu orang-orang keturunan Yahudi dimusuhi dan diperlakukan tak layak.

Suatu ketika, Guido, istri, dan anak lelakinya Joshua, ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi Nazi. Guido sadar apa yang dihadapinya, tetapi ia tak mau larut dalam kesedihan. Ia tak ingin putranya yang berusia 6 tahun tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Karena itu, ia mengarang cerita kepada Joshua, bahwa mereka sedang melakukan permainan. Semua yang ada di kamp itu, baik orang-orang Yahudi maupun tentara-tentara Jerman adalah para pemainnya. Mereka harus mengikuti peraturan amat ketat, kalau ingin memenangi hadiah pertama, yaitu mobil tank sungguhan. Film ini berakhir dengan kalahnya tentara Jerman. Guido meninggal ditembak Nazi, tetapi istri dan anaknya selamat. Joshua bahkan mendapat “hadiah,” yaitu naik tank tentara Amerika.

Bagi saya, film yang mendapat 3 penghargaan Academy Awards dan 56 penghargaan internasional ini memberi pelajaran amat berharga tentang kepemimpinan. Kita sering keliru memahami kepemimpinan dengan kedudukan, pangkat, dan jabatan. Padahal, kepemimpinan adalah mengenai kita sendiri. Setiap kita sesungguhnya adalah pemimpin. Dan esensi tertinggi dari kepemimpinan adalah mencapai hidup damai dan bahagia.

Seperti dicontohkan Guido, menikmati hidup mestinya tidak sulit. Namun, mengapa banyak orang sulit menikmati hidup? Ini berkaitan dengan “jendela” yang kita gunakan dalam memandang kehidupan. Penyebabnya adalah lima keyakinan atau paradigma yang salah.

Pertama, keyakinan bahwa Anda tidak dapat bahagia tanpa hal-hal yang Anda pandang bernilai dan yang membuat Anda terikat. Anda senantiasa merasa kekurangan. Anda merasa akan lebih bahagia kalau memiliki uang lebih banyak, rumah lebih besar, mobil lebih bagus, dan sebagainya. Padahal, masalah sebenarnya: Anda tidak bahagia karena lebih memusatkan perhatian pada segala sesuatu yang tidak Anda miliki, bukannya pada apa yang Anda miliki sekarang.

Kedua, Anda percaya bahwa kebahagiaan ada di masa depan. Kapan Anda bahagia? Nanti, kalau sudah jadi manajer, kata Anda. Persoalannya, saat menjadi manajer, tugas Anda bertambah banyak. Anda belum bahagia juga. Kebahagiaan Anda letakkan di tempat yang jauh, sebenarnya kebahagiaan berada sangat dekat dan dapat Anda nikmati di sini, sekarang juga.

Ketiga, Anda tidak bahagia karena selalu membanding-bandingkan diri Anda dengan orang lain. Saya pernah bertemu seorang eksekutif yang berkali-kali pindah kerja hanya karena kawan akrabnya semasa kuliah memperoleh penghasilan yang lebih besar darinya. Sampai suatu saat, ia sadar tak ada gunanya “mengejar” sahabat karibnya.

Keempat, Anda percaya bahwa kebahagiaan akan datang bila Anda berhasil mengubah situasi dan orang-orang di sekitar Anda. Anda perlu menyadari, sangat sulit mengubah orang lain. Walau demikian, silakan saja kalau Anda ingin meneruskan niat Anda mengubah dunia. Namun, jangan tempatkan kebahagiaan Anda di sana. Jangan biarkan situasi, lingkungan, dan orang-orang di sekitar Anda membuat Anda tidak bahagia. Kalau Anda tidak dapat mengubah mereka, yang perlu Anda ubah adalah diri Anda sendiri.

Kelima, keyakinan bahwa Anda akan bahagia kalau semua keinginan Anda terpenuhi. Padahal, target-target itu membuat kita tegang, frustasi, cemas, dan takut. Terpenuhinya keinginan Anda hanya akan membawa kesenangan sesaat, itu tidak sama dengan kebahagiaan.

Kebahagiaan berada di dalam hati kita, bukannya di luar sana. Oliver Wendell Holmes, penulis asal Amerika Serikat, mengungkapkannya dengan sangat baik: “Apa yang ada di belakang kita dan apa yang ada di depan kita adalah persoalan kecil, dibandingkan dengan apa yang ada di dalam kita.”  

(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar