Cari Blog Ini

Jumat, 15 Juli 2011

Memahami Rasa Terluka

Apa yang dilakukan kebanyakan orang ketika timbul rasa terluka? Orang suka menutup-nutupi atau melarikan diri lewat hiburan-hiburan. Ada yang menghadapinya dan berjuang keras untuk melepaskan diri dari luka-luka batin itu. Tetapi selama belum ada pemahaman langsung, tanpa dibatasi oleh pengetahuan atau kepercayaan, pelarian atau penolakan, maka orang masih belum terbebas dari belenggu luka batinnya.

Luka fisik adalah respons saraf terhadap gangguan tubuh fisik,  sedangkan luka batin adalah respons batin terhadap gangguan batin yang aman. Kita semua menyenangi keamanan, kenikmatan, kebahagiaan, kepastian, kekuasaan, kesejahteraan. Kita memiliki harta kepemilikan, pengetahuan, kepercayaan. Lalu kita mudah melekat pada rasa aman atau rasa pasti. 

Adakah rasa aman yang abadi? Kita tahu itu tidak ada. Kehidupan kita terus berubah. Tetapi kita tidak mau sungguh-sungguh berubah. Kita memilih mau tetap tinggal di zona aman. Ketika rasa aman atau rasa pasti diganggu atau diguncang, maka batin mudah terluka atau tersakiti. Kalau batin tidak memiliki tempat berlabuh, tidak melekat pada rasa aman atau rasa pasti, tidak melekat pada kepemilikan, pengalaman, pengetahuan, gambaran, kepercayaan, bukankah batin tidak terluka?

Ketika orang mengatakan, ”aku terluka,” seolah-olah ada entitas lain yang terluka. Siapakah si aku yang terluka? Sesungguhnya si aku tidak berbeda dari luka itu sendiri. Si aku itu tidak lain adalah timbunan pengalaman, ingatan, gambaran, pengetahuan, gagasan, ideologi, keyakinan, kepercayaan, dan seterusnya.  Kalau semua itu tidak ada, maka si aku juga tidak ada. Ketika si aku berakhir, luka juga berakhir. Bisakah Anda memandang luka Anda bukan sebagai objek yang terpisah dari diri Anda sendiri?

Kalau kita memahami rasa terluka tanpa gagasan, tanpa pikiran, tanpa kepercayaan, tanpa pembelaan, tanpa penolakan, tanpa menamai, tanpa keinginan halus untuk bebas dari luka, tanpa reaksi-reaksi batin, maka kita memahami rasa terluka secara langsung. Rasa terluka itu terurai, tertembus, terpahami tuntas dengan sendirinya. Tidak ada bedanya luka lama atau luka baru, luka yang dalam atau luka yang dangkal. 

Saat rasa terluka sepenuhnya berhenti, maka batin bebas sepenuhnya, sampai momen gambaran tentang diri kita muncul lagi dan berpotensi menimbulkan rasa terluka kembali. Rasa terluka belum berhenti secara permanen, selama gambaran tentang diri belum berakhir secara permanen. Maka, diperlukan kewaspadaan atas rasa terluka setiap kali itu muncul. Kalau tidak waspada, kita akan kembali mudah terluka dan mudah membuat masalah dalam relasi kita.

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar