Cari Blog Ini

Kamis, 15 Agustus 2013

Respons Total

Kualitas peradaban dari zaman ke zaman sangat ditentukan oleh kualitas respons manusia terhadap tantangan. Tantangan selalu baru, tetapi respons kita selalu lama - selama kita merespons dari batin kita yang telah terkondisi.

Perubahan-perubahan sosial sampingan bisa dilakukan, misalnya dengan membuat aturan atau undang-undang, memperkeras sanksi atas pelanggaran. Namun, semua itu belum cukup. Perubahan yang sesungguhnya tidak datang dari undang-undang dan hukuman, tetapi dari respons yang menyeluruh terhadap tantangan.

Wajah penderitaan ada di mana-mana. Di seluruh dunia, manusia hidup dalam konflik, kecemasan, takut, sedikit rasa aman, kurang bahagia, tanpa Cinta. Penderitaan ini tidak kenal suku, bangsa, bahasa, agama, ras, golongan, status sosial, umur, jenis kelamin, dan seterusnya.

Secara kejiwaan, penderitaan Anda adalah penderitaan dunia. Anda tidak terpisah dari manusia lain yang terluka, sedih, dan menderita. Anda adalah dunia dan dunia adalah Anda.

Ketika kita melihat orang asing menderita – bukan pasangan hidup, anak-anak, keluarga Anda, atau orang-orang yang dekat di hati kita – pikiran mengatakan, “Mereka bukan keluargaku, bukan orang-orang dekatku, karena itu nasib mereka bukan tanggung jawabku.” Tetapi ketika kita melihat bahwa penderitaan mereka adalah penderitaan dunia, sebagai penderitaan universal, tidak ada ”kita” dan ”mereka,” apa tanggapan kita?

Selama pikiran melakukan proses identifikasi, maka sudah terjadi pengkotak-kotakan, pemisah-misahan - “Ini penderitaanku, itu penderitaanmu,” “Ini tanggung jawabku, itu tanggung jawabmu.” Maka, setiap tantangan tidak mendapat respons yang tepat.

Jika ada Cinta, sesungguhnya tidak ada tanggung jawab yang memberatkan. Yang ada adalah respons total terhadap tantangan. Istilah “respons total” barangkali lebih tepat daripada “tanggung jawab” untuk menggambarkan tindakan langsung dan seketika terhadap tantangan yang muncul.

Ada banyak tantangan menghadang di depan mata: pemanasan global, kekeringan, banjir, pembabatan hutan, pengalihan lahan, penyusutan ketersediaan pangan, kemiskinan, korupsi, kekerasan, dan seterusnya. Ini semua menuntut respons total bersama. Seperti apakah respons kita?

Kita bertanggung jawab pertama-tama bukan kepada keluargaku, agamaku, bangsaku, masyarakatku, lingkungan hidupku; tetapi kepada seluruh kemanusiaan dan seluruh alam semesta. Bisakah kita melihat tantangan-tantangan universal tanpa proses identifikasi dan pengkotak-kotakkan priskologis?

Ketika tanggung jawab bergerak bukan berdasarkan keterkondisian kita, bukankah lalu muncul respons total dan gerakan sosial menemukan basisnya yang lebih solid?

(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma hal. 74, 76, 80-82, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar