Cari Blog Ini

Rabu, 03 September 2014

Aku akan Terus Membopongmu....

Pada hari pernikahan, aku membopong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan rumah mungil kami. Sahabatku memintaku membopong istriku keluar dari mobil memasuki rumah. Ia kelihatan malu-malu.

Aku pengantin pria yang sangat bahagia. Itu kejadian 10 tahun silam. Hari-hari selanjutnya berlalu seperti air mengalir: kami punya anak, aku terjun ke dunia usaha, dan berusaha menghasilkan banyak uang.

Begitu kemakmuran kami meningkat, jalinan kasih di antara kami menyurut. Istriku pegawai negeri sipil. Setiap pagi kami berangkat kerja dan tiba di rumah pada waktu bersamaan. Anak kami belajar di kota lain. Pernikahan kami kelihatannya bahagia, tetapi ketenangan hidup mulai berubah karena kejadian yang tidak kusangka....

Seorang perempuan lain hadir dalam kehidupanku. Ide perceraian menjadi semakin jelas di pikiranku, walau kelihatannya tak mungkin. Aku merasa sangat sulit membicarakan hal ini dengan istriku, ia pasti akan sangat terluka.

Suatu malam, ketika istriku menyiapkan makan malam, kupegang tangannya, "Ada sesuatu yang harus kukatakan, aku ingin bercerai." Ia seperti tak terpengaruh dengan kata-kataku, dengan lembut bertanya, "Kenapa?"

Kami saling membisu. Ia menangis. Aku tahu ia ingin tahu apa yang terjadi dengan pernikahan kami. Tetapi aku tak bisa memberi jawaban memuaskan. Dengan rasa bersalah, aku menulis surat perceraian yang menyatakan istriku mendapat rumah, mobil, dan 30% saham perusahaanku. Ia memandangnya sekilas, lalu mengoyakkan kertas itu jadi beberapa bagian.

Istriku lalu menuliskan syarat perceraiannya: ia tidak menginginkan apa pun, kecuali aku memberi waktu sebulan sebelum menceraikannya. Dalam waktu sebulan itu, kami harus hidup bersama seperti biasa. "Masih ingat bagaimana aku masuk ke rumah kita pada hari pernikahan? Aku minta kamu tetap membopongku setiap hari sampai pada hari perceraian kita," tambahnya. Aku menerima persyaratan itu dengan senyum.

Ketika aku membopongnya di hari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Aku harus berjalan 10 meter dengan ia dalam lenganku. Aku menurunkannya di pintu depan, ia lalu pergi ke halte bus dan aku ke kantor.

Pada hari selanjutnya, mulai terasa lebih mudah. Ia rebah di dadaku. Aku sadar, sudah sangat lama aku tidak melihat perempuan ini dengan mesra. Ia tidak muda lagi, ada beberapa kerut di wajahnya.

Hari-hari berikutnya, aku merasa kami masih seperti sepasang suami istri yang akrab. Kedekatan semakin terasa. Bayangan perempuan lain menjadi samar di hatiku. 

"Kelihatannya tidak sulit membopongmu sekarang," kataku suatu hari. Ia sedang mencoba pakaiannya, tetapi tak menemukan yang cocok. "Semua pakaianku kebesaran," ujarnya. Tiba-tiba aku sadar, ia semakin kurus, karena itu aku bisa membopongnya dengan ringan. Aku membelai kepalanya, aku pun merasakan sakit.

Di hari terakhir ketika aku membopongnya, aku melangkah dengan berat. Ia berkata, "Sesungguhnya aku berharap kamu akan membopongku sampai kita tua." Aku memeluknya erat sambil berujar, "Di antara kita saling tidak menyadari, sebetulnya kehidupan kita begitu mesra."

Aku segera menemui perempuan lain itu. "Maafkan aku. Aku tidak ingin bercerai," kataku. "Kehidupan rumah tanggaku membosankan karena kami tidak bisa merasakan nilai kehidupan, bukan karena kami tidak saling mencintai," aku berbalik meninggalkannya.

Dalam perjalanan aku melewati sebuah toko bunga. Kupesan buket bunga kesukaan istriku disertai tulisan, "Aku akan membopongmu setiap pagi, sampai kita tua."

(Dari: Buku Inspiring Stories - Kisah-kisah Inspiratif Pilihan yang Menggugah Jiwa, editor Wahyudi Sutrisno. Penerbit Cakrawala, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar