Cari Blog Ini

Minggu, 30 Oktober 2011

Mengingkari Kenyataan

Kalau kita tidak memahami kenyataan (realitas) apa adanya, di sana sudah terjadi konflik. Setiap respons pikiran terhadap kenyataan selalu menimbulkan konflik, karena pikiran menghalangi pemahaman terhadap kenyataan seutuhnya. Latar belakang pengalaman, pikiran, keinginan, atau harapan mendistorsi kenyataan.

Penolakan atas kenyataan dan keinginan untuk menjadi lain dari kenyataan apa adanya, menciptakan konflik dalam batin. Konflik batin ini kemudian terproyeksi dalam konflik antarpribadi dan konflik sosial. Adalah fakta bahwa aku marah, aku ambisius, aku iri, aku minder, aku takut, aku suka seks, aku suka kekuasaan, aku menderita, aku depresi, aku rapuh, aku terluka, dan seterusnya. Seluruh daya upaya untuk mengendalikan, menekan, menutupi atau menolak, tidak mengubah fakta.

Kita menyenangi proses-menjadi, karena kita enggan menghadapi fakta. Kita mengatakan, ”aku ingin tidak menderita,” ”aku berharap menjadi lebih sabar,” ”aku ingin tertib.” Penderitaan, kemarahan, kekacauan adalah fakta; kebahagiaan, kesabaran, ketertiban bukanlah fakta. Kebahagiaan hanyalah proyeksi pikiran yang kita ciptakan, kita kejar, dan kita tidak pernah mendapatkannya. Proses-menjadi adalah pengingkaran atas kenyataan. Proses itu menciptakan kontradiksi dan menambah konflik baru.

Hidup kita adalah kisah pengendalian diri atau pendisiplinan diri untuk mengejar pola ideal tertentu. Terjadi pengendalian diri, karena tidak terdapat pemahaman diri. Aku apa adanya ini dipandang buruk dan aku yang ideal dipandang baik. Lalu aku berjuang mendisiplinkan diri yang buruk untuk mencapai diri yang baik.

Aku membuat pemisahan baik dan buruk. Mengapa membuat pembedaan baik dan buruk? Bila batin sadar secara total, waspada, terjaga; maka tidak ada yang disebut baik dan buruk. Yang ada hanyalah perhatian penuh, keadaan cinta, keadaan bangun. 

(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar