Cari Blog Ini

Senin, 17 Oktober 2011

Balairung di Puncak Bukit

Biksu kepala sebelum saya di vihara ini bernama Ajahn Jagaro. Suatu kali saya benar-benar ribut dengan beliau selama seminggu penuh, karena urusan pembangunan balairung utama vihara kami di puncak bukit.

Saya ingin membangun balairung yang berbeda, sedangkan beliau ingin membangun jenis lain. Saya memaparkan semua alasan saya, "Mahal jika digarap dengan cara itu. Tidak akan berhasil. Suatu saat komunitas kita akan jadi begitu besar, sehingga tidak muat menampung mereka di sini."

Saya sadar, saya telah menciptakan konflik. Saya tidak takut berbicara seperti ini, karena saya memang telah berbuat bodoh selama seminggu dan bijak selama 30 menit Dalam waktu 30 menit itu saya bertanya kepada diri sendiri, "Untuk apa sebenarnya saya melakukan ini? Apakah vihara sebenarnya? Bangunan yang indah? Apa gunanya vihara indah, kalau tidak ada orang yang tinggal di sana?"

Orang-orang malah suka datang ke vihara kami karena ada kedamaian dan harmoni di sana. Itulah yang membentuk vihara - orang-orangnya bukan bangunannya. Apa yang membentuk keluarga Anda? Apakah rumah Anda atau orang-orang yang tinggal di dalamnya?

Setelah saya mendapat inspirasi tersebut, saya menemui Ajahn Jagaro dan bersujud tiga kali di hadapannya. Saya minta maaf. Meski saya tidak setuju dengannya, namun saya akan melakukan yang saya bisa untuk menjaga keharmonisan. 

Saya membangun balairung yang tidak saya setujui dan mencurahkan segala yang ada dalam diri saya untuk mengerjakannya. Saya bahagia dengan apa yang saya kerjakan. Anda bisa melihat balairung ini, berdiri di puncak bukit vihara kami.

(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2! – 108 (Lagi) Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publication, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar