Cari Blog Ini

Sabtu, 14 Februari 2015

Rahasia Pernikahan yang Bahagia

Ibu saya seorang yang sangat baik. Sejak kecil saya melihatnya menjaga keutuhan keluarga dengan sangat gigih. Namun, di mata ayah, ibu saya bukan pasangan yang baik. Ayah selalu menyatakan kesepian dalam perkawinannya.

Ayah saya pria yang baik dan bertanggung jawab. Ia serius bekerja dan mendorong anak-anaknya berprestasi dalam studi. Tetapi, di mata ibu, ayah juga bukan pasangan yang baik. Saya kerap melihat ibu menangis terisak di sudut halaman.

Dalam proses pertumbuhan, saya mendengar dan menyaksikan ketidakberdayaan pernikahan orangtua saya, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka. Sebenarnya mereka layak menikmati pernikahan yang indah. Saya bertanya kepada diri sendiri, “Dua orang yang baik, mengapa tidak diiringi dengan pernikahan yang bahagia?”

Setelah dewasa, saya memasuki kehidupan rumah tangga. Perlahan-lahan saya mengetahui jawabannya. Di awal pernikahan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga. Anehnya, saya tidak merasa bahagia; suami saya pun sepertinya tidak bahagia.

Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak... Lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya kami berdua tetap saja tidak bahagia. Sampai suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata, “Istriku, temani aku sejenak mendengarkan alunan musik.”

Dengan mimik tak senang saya berkata, “Apa tidak lihat, masih separuh lantai lagi belum dipel?” Begitu melontarkan kata-kata itu, saya tercenung. Kalimat yang sama tidak asing di telinga saya dalam pernikahan orangtua saya. Ibu sering berkata demikian kepada ayah. Dan kini saya sedang mengulang ketidakbahagiaan dalam pernikahan mereka.

Muncul kesadaran dalam hati. Saya hentikan pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami. “Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu dan mencuci pakaianmu,” saya mengatakan serentetan hal-hal yang dibutuhkannya. “Semua itu tidak penting,” ujar suami saya. “Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.”

Ternyata, kami memiliki cara masing-masing untuk mencintai, tetapi bukan cara seperti yang diharapkan pasangan. Kami lalu membuat sederet daftar kebutuhan pasangan. Puluhan kebutuhan ditulis panjang-lebar dan jelas, contohnya waktu senggang menemani suami mendengarkan musik, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila pasangan akan pergi, dan lainnya.

Bagi saya ini jalan yang cukup sulit ditempuh, tetapi jauh lebih santai daripada mengepel lantai. Pernikahan kami kian hari kian penuh daya hidup.

Kini saya tahu, mengapa pernikahan ayah dan ibu tidak bahagia. Mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri untuk mencintai pasangannya, bukan mencintai pasangan dengan cara yang diharapkan pasangan. 

Setiap orang layak menikmati pernikahan yang bahagia. Jadilah orang yang dibutuhkan pasangan, bukan berusaha keras membahagiakan pasangan sesuai keinginan kita sendiri. 

(Dari: Buku 100 Inspiring Stories - Kisah-kisah Kehidupan yang Menginspirasi, Menghibur, dan Menyejukkan Jiwa Anda, karya Xavier Quentin Pranata. Penerbit Andi, Yogyakarta, 2012)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar