Cari Blog Ini

Kamis, 26 Juli 2012

Persatuan dengan Allah

Persatuan jiwa dengan Allah adalah sesuatu di luar jangkauan indera-indera dan kemampuan manusia. Untuk mencapainya, jiwa harus mengosongkan diri sepenuhnya dan dengan rela - dari segala perkara duniawi dan surgawi yang dapat ditangkapnya.

Seperti seorang buta, jiwa harus bersandar pada iman yang gelap, menerimanya sebagai pemandu dan terang, serta tidak berpegang pada apa pun yang dipahaminya, dirasakannya, dirabanya, maupun dibayangkannya. Iman mengatasi segala pengertian, selera, perasaan, dan imajinasi. Kalau jiwa tidak membutakan dirinya terhadap hal-hal tersebut dan tidak tinggal dalam kegelapan total, maka jiwa tidak akan mencapai yang lebih tinggi, yaitu ajaran iman.

Segala yang dapat dirasakan dan dikecap dari Allah dalam hidup ini - tak terhingga jauhnya dari Allah dan dari memiliki Dia dengan murni.

Maka, jelas, orang terhambat dalam mencapai tingkat persatuan yang tinggi dengan Allah, apabila ia lekat pada pikiran, perasaan, imajinasi, pendapat, keinginan atau caranya sendiri, ataupun pada karya-karya atau persoalan-persoalannya yang lain, serta kalau ia tidak tahu bagaimana menyangkal dan mengosongkan diri dari penghalang-penghalang itu. Tujuan yang akan dicapai melampaui semua ini, bahkan melampaui objek yang paling mulia yang bisa diketahui atau dialami, karena itu orang harus melalui semua ini menuju ketidaktahuan.

Jalan ke persatuan dengan Allah berarti meninggalkan jalannya sendiri dan masuk ke dalam sesuatu yang tidak ada caranya, yaitu Allah. Kalau orang cukup berani melewati batas-batas jasmani dan rohani dari kodratnya, ia akan masuk dalam batas-batas adikodrati yang tidak punya cara, namun dalam substansi yang memiliki segala cara.

(Dari: Buku Mendaki Gunung Karmel hal. 81-83, karya St. Yohanes dari Salib. Penerbit Pertapaan Shanti Bhuana, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar