Cari Blog Ini

Selasa, 30 April 2013

Konflik dan Ketegangan dalam Hubungan


Kita terlibat dalam banyak hubungan dengan sesama: hubungan pasangan suami-istri, hubungan anak dan orangtua, hubungan keluarga, hubungan kerja, hubungan pertemanan, hubungan dalam masyarakat, dan seterusnya.

Apa yang kita cari dalam setiap hubungan? Setiap hubungan memiliki tingkat kedalamannya sendiri. Tetapi ada ciri yang sama dalam setiap hubungan. Pada umumnya lewat hubungan orang mencari rasa aman, kenikmatan, kepuasan, atau pemenuhan atas suatu kebutuhan. Selama kebutuhan terpenuhi, maka hubungan kita pertahankan.

Kalau hubungan menimbulkan rasa tidak aman, kesakitan, ketidakpuasan, maka kita memutus tali hubungan. Kemudian kita mencari pemenuhan kebutuhan dalam hubungan dengan yang lain. Begitulah seterusnya. Setiap hubungan dibentuk, dipertahankan, atau diputus berdasarkan motif pemenuhan kebutuhan dari pihak-pihak yang saling berhubungan.

Dalam kenyataan, tidak ada hubungan yang bisa menciptakan rasa aman yang sesungguhnya. Kalaupun ada, rasa aman itu tidak langgeng. Saat ini barangkali Anda berhubungan dengan orang tertentu dan Anda merasa aman. Tetapi dalam rasa aman tersebut, juga terdapat rasa tidak aman, takut, khawatir. Untuk menghindari rasa takut ini, Anda merasa harus memiliki. Maka muncullah rasa cemburu, nafsu menguasai, konflik, dan ketegangan.

Konflik adalah ketidakpaduan respons terhadap tantangan. Selama kita merespons tantangan dari pusat diri – yang adalah ingatan, pengetahuan, pengalaman, keinginan, harapan, ketakutan, dan seterusnya – maka kita menciptakan konflik.

Setiap konflik perlu dipahami secara tuntas. Upaya untuk mengenyahkan konflik, justru menciptakan konflik baru. Begitu pula berbagai upaya untuk mengatasi, menekan, mengontrol, mengendalikan, mengacuhkan, atau melarikan diri tidak membuat konflik berakhir.

Upaya mengatasi konflik menimbulkan ketegangan lebih besar. Sumber dari semua ketegangan adalah keinginan menjadi. Aku ingin menjadi lain dari kenyataannya. Aku merasa tidak aman, aku ingin rasa aman. Ada ketegangan antara kenyataan yang sekarang Anda hadapi dan kondisi ideal yang Anda inginkan.

Bukankah tidak ada lagi konflik dan ketegangan, kalau kita membuang yang ideal dan sepenuhnya tinggal bersama yang faktual? Tantangan terberat bagi kita adalah membersihkan diri dari tekanan ”harus” atau ”tidak harus,” ”boleh” atau ”tidak boleh,” ”wajib” atau ”tidak wajib.” Itu berarti membebaskan diri dari kebiasaan melawan apa yang faktual, berhenti dari kebiasaan untuk berjuang atau menjadi - menurut pola ideal yang kita ciptakan dari dalam atau dipaksakan dari luar.

Sejauh dapat dipahami, ketegangan dalam setiap hubungan merupakan momen transformatif. Melalui hubungan, diri kita yang merupakan akar dari konflik dan ketegangan itu sendiri terkuak. Diri selalu menciptakan jarak dari yang faktual. Jarak itu baru bisa terlebur, kalau diri sepenuhnya berakhir. Ketika diri berakhir, hubungan-hubungan lalu menjadi baru dan segar, bebas dari konflik dan ketegangan. 

(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar