Cari Blog Ini

Kamis, 28 Juni 2012

Kasih Tak Bersyarat

Musim panas tahun 1956, orangtua saya tak lagi punya pengasuh anak penuh waktu. Di usia 14 tahun, saya bertanggung jawab menjaga adik-adik. Ketika melihat seorang polisi sedang mengatur lalu lintas yang padat, karena rumah kami dekat arena pacuan kuda, hati saya tergerak membawakannya segelas jus dingin.

Polisi itu bernama Bill. Ia sudah menikah, punya dua anak, dan sedang menanti kelahiran anak ketiga. Senyumnya hangat, setelah beberapa kali berkunjung, ia berkata, "Kau tahu, Karen, para polisi di kantor berebut ditempatkan di sudut jalan ini, karena ada seorang remaja cantik yang menyajikan minuman dingin dengan senyum manis." Wajah saya bersemu merah mendengarnya.

Beberapa minggu kemudian, ada seorang asing yang berpenampilan seperti kontraktor, datang ke rumah. Ia begitu meyakinkan, sehingga saya percaya bahwa ayah telah memintanya datang. Saya mengizinkannya masuk. Tetapi, setelah ia tahu situasi di rumah, ia menerkam saya dari belakang. Saya merasakan sebilah pisau menempel di leher. Penjahat itu memerkosa saya dan meninggalkan kengerian yang terus melekat dalam jiwa saya.

Setelah kejadian itu, saya membawa adik-adik ke rumah tetangga, lalu menelepon polisi dan orangtua saya. Saat itu saya berharap ayah memeluk saya dan mengatakan saya akan baik-baik saja.  Namun, ayah malah menjauhi saya. Hidup saya hancur.

Saat polisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan, saya merasa seperti penjahat bukan korban. Waktu itu belum ada pusat rehabilitasi. Orangtua saya mengalami kepedihan dan mereka tak dapat menolong. Saya merasa sendiri dan ditinggalkan. Pikiran bunuh diri menghantui saya.

Suatu hari, dua orang detektif datang. Sambil menundukkan kepala saya menemui mereka. "Karen, apakah kamu masih ingat saya?" suara tak asing menyapa. Saya mendongak dan melihat Bill. Dengan lembut ia menggenggam tangan saya. Air mata yang selama ini saya tahan, mengalir begitu saja.

Bill ditugaskan menangani kasus saya. Bagi saya, ia tak ubahnya seperti ayah angkat. Persahabatan yang dtunjukkannya memberi harapan. Ia mengenalkan saya kepada istrinya. Rumah mereka menjadi tempat aman bagi saya. Kasihnya yang tulus menolong saya dalam mengatasi trauma.

Setelah pemerkosa itu tertangkap dan menjalani hukumannya, persahabatan saya dengan Bill dan keluarganya terus berlanjut. Selama bertahun-tahun kami melewati banyak peristiwa suka dan duka bersama. Kini, persahabatan kami telah berlangsung selama empat puluh tahun.

Dunia pasti akan lebih indah, bila semua orang mau mengulurkan tangan untuk menolong mereka yang mengalami kepedihan dan mengasihi dengan kasih Allah yang tak bersyarat, seperti yang dilakukan Bill terhadap saya. (Karen Kosman)

(Dari: Buku Embun Bagi Jiwa Terluka, karya Kathy C. Miller & D. Larry Miller. Penerbit Yayasan Gloria, Yogyakarta 2001)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar