Cari Blog Ini

Selasa, 16 Februari 2016

Pekerjaan Penting

Penumpang-penumpang yang paling belakangan masuk ke pesawat dari Seattle ke Dallas adalah seorang ibu dan tiga anaknya. "Aduh, jangan sampai mereka duduk di sebelahku," kataku dalam hati. "Banyak pekerjaan yang harus kulakukan."

Tetapi sesaat kemudian, anak perempuan berumur sebelas tahun dan adik lelakinya berumur sembilan tahun sudah melangkahi kakiku untuk duduk di kursi-kursi sebelahku. Sementara ibu mereka dan anak lelaki yang berumur empat tahun mengambil tempat duduk di belakangku.

Seketika itu juga, kedua anak yang lebih besar mulai bertengkar, sedangkan anak kecil di belakangku sebentar-sebentar menendang sandaran kursiku. "Anak-anak sama sekali tak mengerti pekerjaan penting," pikirku dengan kesal. Tiba-tiba suara dalam batinku dengan jelas dan singkat mengatakan, "Cintailah mereka."

"Ah, anak-anak ini tidak bisa diatur, padahal aku harus mengerjakan pekerjaan penting," aku berusaha membantah suara tadi. Hati sanubariku kembali berkata, "Cintailah mereka seakan-akan mereka anak-anakmu sendiri."

Karena berkali-kali mendengar anak lelaki itu bertanya kepada kakak perempuannya, "Di mana kita sekarang?" kuarahkan perhatian mereka pada peta di majalah penerbangan yang terselip dalam kantong di belakang sandaran setiap kursi. 

Kujelaskan trayek yang ditempuh pesawat dan perkiraan waktu pesawat akan mendarat di Dallas. Mereka bertanya tentang penerbangan, navigasi, ilmu pengetahuan, dan pandangan orang dewasa tentang kehidupan. 

Waktu berlalu dengan cepat, dan pekerjaanku yang 'penting' masih saja belum kusentuh. Ketika pesawat akan mendarat, aku bertanya maksud mereka ke Dallas. Ternyata mereka ingin mengunjungi ayah mereka yang meninggal di rumah sakit.

Tiba-tiba aku sadar, apa yang kami percakapkan selama penerbangan adalah pekerjaan terpenting dalam hidup ini, yaitu menjalani kehidupan, mencintai, dan terus berkembang meski mengalami kesedihan mendalam.

Ketika kami berpisah di bandara Dallas, aku bersalaman dengan kedua anak itu. Mereka mengucapkan terima kasih kepadaku karena telah menjadi 'guru di angkasa' bagi mereka. Dan aku berterima kasih karena mereka pun menjadi 'guru angkasa' bagiku. (Dan S. Bagley, profesor Komunikasi Massa di University of South Florida)

(Dari: buku A Cup of Chicken Soup for the Soul, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Barry Spilchuk. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar