Pelicano menjadi kapal yang paling tidak diinginkan di dunia. Sejak 1986, ia seperti gelandangan di samudra lepas. Tak ada yang menginginkannya. Sri Lanka dan Bermuda tak mau. Republik Dominika mengusirnya. Demikian pula Belanda, Antilles, dan Honduras.
Masalahnya bukan pada kapal tersebut. Walau sudah karatan dan berjamur, kapal berukuran 139 meter itu masih layak. Pemiliknya telah memperpanjang surat-surat dan membayar pajaknya.
Lalu, apa alasannya sehingga kapal itu bertahun-tahun ditolak di Eropa, Afrika, dan Asia - termasuk Filipina dan Indonesia? Ternyata, Pelicano bermuatan 15 ribu ton sampah. Musim panas yang panjang tahun 1986 di Philadelphia, Amerika Serikat, menyisakan sampah sebanyak itu, sementara para petugas kebersihan di kota tersebut mogok.
Ketika itulah kapal Pelicano tampil. Pemiliknya menyangka mereka bisa untung cepat dengan mengangkut sampah. Setelah sampah dibakar, abunya dimasukkan ke perut kapal itu. Namun, tak seorang pun mau mengambilnya. Siapa yang mau sampah berpotensi beracun?
Yang dialami Pelicano itu menyiratkan perumpamaan: hati yang penuh sampah tidak bernasib lebih baik. Kehidupan mempunyai cara menumpahkan sampahnya ke atas dek kita. Suami Anda terlalu banyak bekerja, istri Anda terlalu banyak mengeluh, bos Anda terlalu banyak menuntut, anak-anak Anda terlalu banyak merengek.
Hasilnya? Sampah. Amarah menumpuk. Rasa bersalah. Pesimisme. Kepahitan. Kefanatikan. Kecemasan. Penyesatan. Ketidaksabaran. Semuanya menumpuk. Sampah itu memengaruhi kita, mengontaminasi relasi-relasi kita.
Masalah Pelicano dimulai begitu pertama kali ia dimuati sampah. Seharusnya, para awak sejak awal menolaknya. Kehidupan akan jadi lebih mudah bagi semua orang, seandainya mereka tak pernah membiarkan sampah menumpuk. Kehidupan akan menjadi lebih baik buat Anda, kalau Anda pun berbuat demikian...
(Dari: Buku Serahkan Segalanya kepada Dia - Kisah tentang Permulaan Hidup Baru, karya Max Lucado. Penerbit Gospel Press)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar