Waktu itu aku membutuhkan cinta, tanpa sadar aku mencarinya dengan sia-sia.
Bagaimana aku bisa mendapatkannya?
Aku hanya mampu melihat diriku sendiri dengan persoalan-persoalanku,
ketidaksenanganku, dan kegelisahanku...
Bagaimana aku mungkin memberikan cinta, bila aku memusatkan perhatian pada diriku sendiri?
Perlahan aku berjalan menyusuri suatu jalan besar. Betapa banyak orang lalu-lalang dengan wajah muram dan sedih. Mereka memikirkan sesuatu yang tak berarti bagiku.
Mereka semua sedang memikirkan persoalan-persoalan mereka, seperti aku memikirkan persoalan sendiri. Mereka lalu-lalang seperti bayang-bayang saja, tanpa menyadari bahwa di samping mereka ada orang-orang yang ingin mendengar sapaan mereka...
Tak kudapati cinta pada wajah mereka yang kujumpai.
Aku ingin berhadapan muka dengan cinta,
aku merasa mampu mendapatkannya.
Aku memasuki jalan ke luar kota. Di sana juga banyak orang lalu-lalang, entah ke mana. Kulihat seorang kakek buta duduk di kaki lima di samping anjingnya. Ia berbicara dengan anjingnya, entah apa yang dibicarakannya. Orang tak punya waktu untuk berhenti dan bertukar kata dengan kakek itu.
Pemandangan ini mengena di hatiku. Aku terdorong mendekati kakek itu dan menyapanya. Wajah si kakek menjadi cerah, ketika didengarnya suara manusia. Ia mulai mencurahkan isi hatinya.
Tak terkatakan betapa gembira aku malam itu.
Aku sadar ada seseorang di dunia ini yang membutuhkanku.
Aku tidak seorang diri.
Pandanganku diperluas. Aku kembali dilimpahi kehidupan.
Aku hidup karena cinta, aku telah menemukannya,
justru dalam diri kakek buta yang malang itu.
Aku menghirup kesegaran hidup ini,
ketika aku membuka pintu hatiku untuk cinta.
(Dari: Buku Gairah Masa Remaja, saduran dari buku Life, Love, Lifts oleh Staf Cipta Loka Caraka, 1980)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar