Berbulan-bulan, buku Love Story karya Erich Segal (1937-2010) menjadi "best-seller." Di Amerika Serikat, negara asal sang penulis, novel itu terjual lebih dari delapan juta buku. Ketika difilmkan, bioskop-bioskop penuh sesak. Padahal, sebelumnya Segal bukan penulis tenar.
Love Story pun merupakan kisah kasih yang biasa terpapar di sekeliling kita. Dua hati bersua, memadu kasih. Yang paling mengesankan, cara melukiskannya. Sudah sering kita membaca atau melihat film cinta yang memuncakkan kisahnya di ranjang. Cinta dan seks (perbedaan jenis kelamin) biasanya disamaratakan saja. Tetapi, Segal melihatnya secara berbeda.
Meskipun bagi Segal seks juga memegang peran penting dalam percintaan, tetapi cinta dan seks tidak identik. Karena itu, ia mau mengetengahkan cinta tanpa menonjolkan seks. Dan ini memberi suasana bebas, segar, serta justru semakin hangat. Sebuah kasih yang tidak tenggelam dalam luapan nafsu genital.
Segal mampu menghidangkan pengalaman sepasang sahabat, kekasih, tunangan, dan suami-istri yang mesra, terikat kerinduan mendalam satu sama lain untuk selalu bersatu. Persatuan yang mereka dambakan tak mutlak diwarnai persatuan fisik. Melalui tokoh utama Oliver dan Jennifer, warna dominan yang ditampilkan adalah kesamaan cita-cita, pandangan hidup, dan hati yang saling memahami.
Kedua muda-mudi ini mempertaruhkan hidup mereka satu sama lain sungguh untuk seluruh hidup. Bukan hanya selama menit-menit waktu mereka saling membelai, berpelukan, berciuman, dan seterusnya. Perhatian mereka tidak ditentukan berdasarkan keterbiusan jasmani partner mereka.
Kasih mereka merupakan kasih yang bebas dari 'keharusan' dan determinasi keterlaluan dari nafsu. Bukan berarti nafsu kelamin itu buruk. Pada waktunya memang perlu. Namun, Segal mau memperlihatkan segi cinta yang lain - cinta pria dan wanita yang tidak identik dengan seks.
Orang bisa memperoleh kepuasan seks tanpa menaruh cinta. Sebaliknya, suatu tanda cinta dapat ditunjukkan tanpa pikiran 'mau kawin dengannya.' Ciuman dan pelukan sederhana tak perlu selalu dihubungkan dengan maksud kawin. Mengapa masih ada orang yang begitu picik, sehingga mengira setiap perhatian dari jenis kelamin yang lain selalu hanya berarti mengarah ke ranjang?
Bila cinta dicampuradukkan dengan seks, biasanya orang mencintai dengan harapan mendapatkan balasan (kepuasan seks). Hanya jika orang sungguh tidak mencampuradukkan cinta dan seks serta ekspresi-ekspresinya, maka ia dapat lebih mudah memahami cinta tanpa pamrih seperti yang diperlihatkan oleh Tuhan.
Cinta tanpa pamrih mau memberikan segalanya kepada yang dicintai. Cinta jenis ini mau mengasihi para sahabatnya sampai sehabis-habisnya. Sebetulnya, cinta jenis inilah yang mendasari segala jenis cinta lain. Kesediaan untuk membahagiakan partnernya menjadi titik tolak semua jenis cinta. Kalau tidak, bukanlah cinta melainkan egoisme.
Reaksi masyarakat terhadap Love Story-nya Erich Segal menyiratkan, dalam lubuk hati manusia memang tersimpan dambaan untuk dapat mencinta tanpa pamrih.
(Dari: Buku Dari Love Story ke Doa Rutin - Renungan-Renungan Harian, karya B.S. Mardiatmadja, S.J. Penerbit Kanisius & Nusa Indah, 1985)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar