Di pusat Kerajaan Agung terdapat sebuah taman. Dari antara semua penghuni taman, yang paling indah dan paling disayangi Pemilik Taman adalah Bambu yang mulia dan ramah. Dari tahun ke tahun Bambu bertumbuh terus, semakin lama semakin agung. Ia sadar akan cinta dan perhatian Tuannya, namun tetap rendah hati dan lembut.
Suatu hari, Sang Pemilik datang mendekati Bambu dengan wajah penuh harap. "Oh, Bambu, aku sungguh mencintaimu. Aku ingin memakaimu sekarang untuk membantuku." Bambu menjawab dengan gemersiknya, "Tuanku, gunakanlah aku seturut keinginanmu."
"Bambuku," ujar sang Tuan, "Aku akan menebangmu. Jika tidak, aku tak dapat menggunakanmu sesuai rencanaku." Taman menjadi sunyi senyap. Bambu membungkuk dan berbisik, "Tuan, jika engkau tidak dapat menggunakan aku, kecuali dengan menebang aku... lakukanlah sesuai kehendakmu. Potonglah aku."
"Oh, Bambu," kata Tuannya lagi, "Aku masih ingin memintamu lebih banyak. Aku akan memangkas daun-daun dan ranting-rantingmu, lalu membelahmu menjadi dua bagian dan memotong buku-bukumu." Bambu terkulai dan berkata, "Tuanku, bersihkan dan belahlah aku."
Pemilik Taman melakukan seperti apa yang direncanakan. Kemudian ia mengangkat Bambu yang telah dipotong dan membawanya ke tempat di mana ada mata air segar. Ia memasang salah satu ujung Bambu ke mata air dan ujung lainnya ke saluran irigasi. Air jernih mengalir dengan riang melalui batang Bambu yang telah dikoyak. Hari demi hari berlalu, tunas-tunas baru bermunculan di taman.
Bambu yang pernah begitu mulia dalam keindahannya, tetap mulia. Bahkan, lebih mulia dalam kehancuran dan kerendahan hatinya. Bambu yang semula hidup berkelimpahan dalam kebesarannya, kini dalam kehancurannya menjadi saluran kehidupan yang berlimpah bagi taman Tuannya.
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-4, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar