Datanglah seorang kaya dan berkata, "Wahai Guru, bicaralah kepada kami tentang Pemberian." Dan Sang Guru menjawab:
Bila kau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu.
Tetapi bila kau memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh arti.
Sebab, apalah harta milik, apabila bukan simpanan yang kau jaga untuk persediaan hari kemudian?
Dan bukankah ketakutan akan kemiskinan merupakan kemiskinan tersendiri?
Ketakutan akan dahaga, sedangkan sumur masih penuh.
Bukankah merupakan dahaga yang tak mungkin terpuaskan?
Ada orang yang memberi sedikit dari miliknya yang banyak,
dan pemberian itu dilakukan demi ketenaran.
Hasrat yang tersembunyi membuat tak murni dermanya.
Ada pula yang memiliki sedikit dan memberikan segalanya.
Merekalah yang percaya akan kehidupan dan anugerah kehidupan,
pasti mereka tiada pernah mengalami kekeringan.
Ada yang memberi dengan kegirangan di hati,
kegiranganlah yang menjadi anugerah pengganti.
Ada yang memberi dengan kepedihan di hati,
kepedihanlah yang menjadi air penyucian diri.
Ada yang memberi tanpa merasa sakit di dalamnya,
tanpa mencari kegirangan dari pemberiannya,
tanpa mengingat-ingat kebaikannya,
mereka memberi seperti di lembah sana,
di mana bunga-bunga menyebarkan wewangiannya ke udara.
Melalui mereka itulah, Tuhan berbicara,
dan dari sinar lembut tatapan mata mereka,
Tuhan tersenyum kepada dunia.
Sungguh utama, memberi bila diminta.
Namun, lebih utama lagi adalah memberi tanpa diminta, karena dorongan pengertian.
Ada sesuatu yang masih kau sembunyikan,
sekali waktu segala yang kau punya akan terbagi jua.
Karena itu berikanlah sekarang, selagi musim memberi belum lewat bagimu,
belum beralih tangan kepada pewarismu.
Sering kali engkau berkata, "Aku mau memberi, tetapi hanya kepada mereka yang patut menerimanya."
Pohon-pohon di kebunmu tidak berkata demikian, begitu pula ternak di padang rerumputan. Mereka memberi demi kelanjutan hidup sendiri, sebab menahan pemberian berarti mati.
Pastilah, siapa yang patut menerima hari siang dan hari malam, patut pula menerima apa pun darimu. Dan siapa yang patut minum air dari samudra kehidupan, sepantasnya pula mengisi pialanya dari sungai kecilmu.
Siapakah engkau, hingga orang harus mengoyak dadanya, membuka selubung harga dirinya, supaya kau mengukur nilai dan martabatnya yang telanjang tanpa terhalang?
Sebab sesungguhnya, kehidupanlah yang memberi kepada kehidupan.
Sedangkan kau, yang mengira dirimu seorang pemberi, sebetulnya hanyalah seorang saksi.
Dan kau, kaum penerima - ya, engkau semua yang tergolong penerima!
Jangan memberati diri dengan rasa hutang budi,
sebab kau akan membebani dirimu dan dia yang memberi.
Sepantasnya kau bangkit bersama si pemberi.
Naiklah ke sayap pemberiannya, membubung ke taraf yang lebih tinggi.
Sang putera Bumi yang murah hati,dan Tuhan sebagai sumber segala hartanya.
(Dari: Buku Sang Nabi, karya Kahlil Gibran. Penerbit Pustaka Jaya, 1995)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar