Ini kisah tentang seorang pastor yang hidup di Italia sekitar 600-700 tahun lalu. Suatu hari pengikut Fransiskus dari Asisi ini sedang berkeliling menerima derma makanan. Lalu, ia melihat seorang pengemis yang meminta makan kepadanya. Tetapi sang pastor belum mendapat derma apa-apa. Ia berkata, “Aku hanya punya jubahku.” Pengemis menjawab, “Itu juga boleh.”
Kembali ke biara dalam keadaan telanjang, ia sempat ditolak para pastor. Setelah tahu ia memberikan jubahnya kepada pengemis, ia diberi jubah pengganti. Beredar cerita dari mulut ke mulut di antara para pengemis tentang kedermawanan sang pastor. Keesokan hari, pengemis lain meminta jubah pastor itu lagi. Ia pun memberikannya.
Tiga kali hal tersebut terjadi, kepala biara lalu memanggilnya. “Perbuatanmu sangat baik, tetapi para pengemis kemudian mengambil keuntungan darimu. Kita tak punya persediaan jubah yang banyak. Jangan kamu lakukan lagi!” pesan kepala biara.
Pastor itu tidak berdebat atau membela diri. Ia hanya tunduk mendengarkan. Setelah satu jam lebih berlalu, “Sekarang kamu boleh pergi,” kata kepala biara. Pastor itu pergi. Sejam kemudian, ia datang kembali ke ruang kepala biara dengan semangkuk sup. “Untuk apa sup ini?” Pastor itu menjawab, “Anda tadi menegur saya dengan begitu keras, tentu tenggorokan Anda kering, maka saya buatkan sup ini…”
Ia sungguh tulus. Ia begitu welas asih hingga tak memikirkan dirinya sendiri. Bukankah ini luar biasa? Saya benar-benar terinspirasi dengan kisah tersebut. Itulah cara menghadapi omelan orang lain. Anda tidak mengizinkan orang lain membuat Anda marah, Anda pun tidak menghukum. Begitulah welas asih sejati. Orang yang benar-benar perkasa dan baik, tidak akan pernah marah.
(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2! – 108 (Lagi) Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publication, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar