Dunia berduka. Kematian Steve Jobs (56 tahun), pendiri perusahaan Apple Inc. dan pencipta gadget canggih seperti komputer MacBook, iPod, iPhone, iPad pada 5 Oktober 2011 menyisakan perenungan akan makna kehidupan dan kematian.
Jobs pertama kali dideteksi menderita kanker pankreas pada Agustus 2004. Dokter mengatakan tipe kankernya hampir mustahil disembuhkan. “Aku diperkirakan hanya akan hidup tiga sampai enam bulan ke depan," ujarnya di hadapan para wisudawan Stanford University tahun 2005 seperti diulas tempointeraktif.com.
Dokter kemudian meminta Jobs pulang ke rumah dan menyelesaikan segala urusan yang tersisa. Saat itulah pria dengan kekayaan senilai US$ 5,5 miliar ini mengaku merasa begitu dekat dengan kematian.
Jobs kemudian memutuskan untuk melakukan biopsi. Mengetahui bahwa kanker yang dideritanya berpeluang sembuh dengan operasi, Jobs menangkap peluang itu. Ramalan sang dokter meleset. Jobs dapat beraktivitas kembali sampai secara resmi ia mundur sebagai CEO perusahaannya pada Agustus lalu.
Bayang-bayang kematian selalu menyertainya. “Kematian tetap saja merupakan tujuan kita bersama. Tidak ada yang bisa melarikan diri darinya, dan memang harus begitu; karena kematian adalah penemuan terbesar dalam kehidupan. Kematian adalah agen perubahan dari kehidupan. Dia membersihkan yang tua untuk memberi jalan bagi mereka yang muda,” tutur Jobs yang sempat mempelajari Buddha Zen di India tahun 1974.
Suatu pemahaman yang indah akan makna kematian. Tetapi di sisi lain seperti kebanyakan manusia, Jobs tak menyembunyikan keengganan dan kegalauannya menghadapi kematian. “Tidak seorang pun mau mati. Bahkan, mereka yang ingin ke surga pun tak mau meninggal untuk bisa ke sana,” tuturnya masih di hadapan para wisudawan Stanford University.
Steve Jobs bisa bertahan tujuh tahun lagi, sejak ia pertama kali menerima vonis kematian dari dokternya. Betapa pun manusia berupaya mempertahankan hidup, jika saatnya tiba, kematian tak terelakkan. Selamat jalan, Mr. Jobs.
Steve Jobs bisa bertahan tujuh tahun lagi, sejak ia pertama kali menerima vonis kematian dari dokternya. Betapa pun manusia berupaya mempertahankan hidup, jika saatnya tiba, kematian tak terelakkan. Selamat jalan, Mr. Jobs.
Selama kita masih terikat pada dunia dan isinya, kematian menjadi sesuatu yang menakutkan. Bisakah kita mati sebelum mati - tidak melekat pada benda-benda bahkan orang-orang yang kita sayangi, berani melepas segala impian dan kesenangan hidup - sehingga saat kematian yang sesungguhnya datang, kita dapat dengan tenang memeluknya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar