Seorang ibu dengan bayi dalam dekapan datang mengajukan sebuah pertanyaan: Berbicaralah kepada kami tentang anak keturunan.
Jawab sang Guru:
Anakmu bukan milikmu.
Mereka adalah putra-putri Sang Hidup, yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau.
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu,
tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi, sekali pun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kau adalah busur dan anak-anakmu adalah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Mahatahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dalam kekuasaanNya,
hingga anak panah itu melesat, jauh dan cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
seperti dikasihiNya pula busur yang mantap.
(Dari: Buku Sang Nabi, karya Kahlil Gibran. Penerbit Pustaka Jaya, 1995)
Cari Blog Ini
Senin, 31 Oktober 2011
Putra Pembuat Pakaian Kuda
Tahun 1818 di Perancis. Louis, seorang anak lelaki berumur sembilan tahun, sedang duduk di bengkel pembuatan pakaian kuda milik ayahnya. Anak itu senang memerhatikan pekerjaan ayahnya. "Suatu hari, saya ingin menjadi pembuat pakaian kuda seperti ayah," katanya.
"Mengapa tidak mulai dari sekarang?" tanya sang ayah. Ia mengambil sepotong kulit dan menggambar rancangan di atasnya. "Sekarang, anakku," katanya, "ambillah alat pelubang itu dan sebuah palu. Ikutilah rancangan ini, tetapi hati-hati, jangan kau pukul tanganmu sendiri."
Dengan senang hati Louis mulai bekerja. Namun, ketika ia memukul alat pembuat lubang, alat itu melenceng dari tangannya dan menghantam matanya! Ia tak dapat melihat lagi. Kemudian, mata yang lainnya juga tidak berfungsi. Louis buta total.
Beberapa minggu kemudian, Louis sedang duduk di taman. Seorang teman memberinya buah cemara. Ia meraba-raba buah itu dengan jari-jarinya yang amat peka. Timbul gagasannya menciptakan abjad dalam bentuk titik-titik timbul pada kertas, sehingga orang buta dapat merasakan dan menafsirkan apa yang tertulis di atas kertas itu.
Louis Braille (1809-1852) membuka suatu dunia baru bagi orang-orang buta - semua berawal dari suatu kecelakaan.
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
"Mengapa tidak mulai dari sekarang?" tanya sang ayah. Ia mengambil sepotong kulit dan menggambar rancangan di atasnya. "Sekarang, anakku," katanya, "ambillah alat pelubang itu dan sebuah palu. Ikutilah rancangan ini, tetapi hati-hati, jangan kau pukul tanganmu sendiri."
Dengan senang hati Louis mulai bekerja. Namun, ketika ia memukul alat pembuat lubang, alat itu melenceng dari tangannya dan menghantam matanya! Ia tak dapat melihat lagi. Kemudian, mata yang lainnya juga tidak berfungsi. Louis buta total.
Beberapa minggu kemudian, Louis sedang duduk di taman. Seorang teman memberinya buah cemara. Ia meraba-raba buah itu dengan jari-jarinya yang amat peka. Timbul gagasannya menciptakan abjad dalam bentuk titik-titik timbul pada kertas, sehingga orang buta dapat merasakan dan menafsirkan apa yang tertulis di atas kertas itu.
Louis Braille (1809-1852) membuka suatu dunia baru bagi orang-orang buta - semua berawal dari suatu kecelakaan.
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Minggu, 30 Oktober 2011
Mengingkari Kenyataan
Kalau kita tidak memahami kenyataan (realitas) apa adanya, di sana sudah terjadi konflik. Setiap respons pikiran terhadap kenyataan selalu menimbulkan konflik, karena pikiran menghalangi pemahaman terhadap kenyataan seutuhnya. Latar belakang pengalaman, pikiran, keinginan, atau harapan mendistorsi kenyataan.
Penolakan atas kenyataan dan keinginan untuk menjadi lain dari kenyataan apa adanya, menciptakan konflik dalam batin. Konflik batin ini kemudian terproyeksi dalam konflik antarpribadi dan konflik sosial. Adalah fakta bahwa aku marah, aku ambisius, aku iri, aku minder, aku takut, aku suka seks, aku suka kekuasaan, aku menderita, aku depresi, aku rapuh, aku terluka, dan seterusnya. Seluruh daya upaya untuk mengendalikan, menekan, menutupi atau menolak, tidak mengubah fakta.
Kita menyenangi proses-menjadi, karena kita enggan menghadapi fakta. Kita mengatakan, ”aku ingin tidak menderita,” ”aku berharap menjadi lebih sabar,” ”aku ingin tertib.” Penderitaan, kemarahan, kekacauan adalah fakta; kebahagiaan, kesabaran, ketertiban bukanlah fakta. Kebahagiaan hanyalah proyeksi pikiran yang kita ciptakan, kita kejar, dan kita tidak pernah mendapatkannya. Proses-menjadi adalah pengingkaran atas kenyataan. Proses itu menciptakan kontradiksi dan menambah konflik baru.
Hidup kita adalah kisah pengendalian diri atau pendisiplinan diri untuk mengejar pola ideal tertentu. Terjadi pengendalian diri, karena tidak terdapat pemahaman diri. Aku apa adanya ini dipandang buruk dan aku yang ideal dipandang baik. Lalu aku berjuang mendisiplinkan diri yang buruk untuk mencapai diri yang baik.
Aku membuat pemisahan baik dan buruk. Mengapa membuat pembedaan baik dan buruk? Bila batin sadar secara total, waspada, terjaga; maka tidak ada yang disebut baik dan buruk. Yang ada hanyalah perhatian penuh, keadaan cinta, keadaan bangun.
(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)
Sabtu, 29 Oktober 2011
Motorku Hilang
Seorang sahabat lama kami memiliki motor Harley Davidson yang menjadi harta paling berharga baginya. Motor itu didapat dari hasil menabung mati-matian. Dengan motor tersebut ia bisa bebas pergi dari Melbourne hinga Canes lalu kembali ke Perth. Ia adalah orang yang bebas, kecuali cintanya kepada Harley-nya.
Suatu kali, ia memarkir motor kesayangannya di salah satu pusat perbelanjaan di Sydney. Ketika kembali ke tempat parkir, motornya hilang. Ia sudah cukup lama menjadi Buddhis dan tahu bahwa itu adalah kelekatan. "Segala milikku yang kucintai dan menyenangkan, suatu saat akan terpisah dariku. Dan sekarang ini terjadi," ia berujar. Lalu, ia melepaskannya, "Sungguh luar biasa aku bisa memilikimu, Harley. Kita telah melalui perjalanan indah bersama. Kuharap, siapa pun yang memilikimu sekarang, bisa melewati saat yang benar-benar indah bersamamu. Pergilah!"
Ia merasa begitu bebas, begitu damai. Ketika ia sedang mengucapkan selamat kepada dirinya sendiri, saat itulah ia sadar bahwa ia berada di lantai parkir kendaraan yang salah. Ia lalu turun ke lantai parkir yang benar dan Harley-nya masih ada di sana! Ia merasa dua kali menang: lulus ujian hidup sebagai Buddhis dan masih memiliki Harley.
Mungkin bagi Anda, satu-satunya yang Anda punya adalah hidup Anda. Namun, kala tiba saatnya Anda harus menyerahkan tubuh Anda karena penyakit, kematian, atau hal lain..., apakah yang akan Anda lakukan?
(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2! - 108 (Lagi) Cerita Pembuka Pintu Hati, oleh Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publications, 2011)
Suatu kali, ia memarkir motor kesayangannya di salah satu pusat perbelanjaan di Sydney. Ketika kembali ke tempat parkir, motornya hilang. Ia sudah cukup lama menjadi Buddhis dan tahu bahwa itu adalah kelekatan. "Segala milikku yang kucintai dan menyenangkan, suatu saat akan terpisah dariku. Dan sekarang ini terjadi," ia berujar. Lalu, ia melepaskannya, "Sungguh luar biasa aku bisa memilikimu, Harley. Kita telah melalui perjalanan indah bersama. Kuharap, siapa pun yang memilikimu sekarang, bisa melewati saat yang benar-benar indah bersamamu. Pergilah!"
Ia merasa begitu bebas, begitu damai. Ketika ia sedang mengucapkan selamat kepada dirinya sendiri, saat itulah ia sadar bahwa ia berada di lantai parkir kendaraan yang salah. Ia lalu turun ke lantai parkir yang benar dan Harley-nya masih ada di sana! Ia merasa dua kali menang: lulus ujian hidup sebagai Buddhis dan masih memiliki Harley.
Mungkin bagi Anda, satu-satunya yang Anda punya adalah hidup Anda. Namun, kala tiba saatnya Anda harus menyerahkan tubuh Anda karena penyakit, kematian, atau hal lain..., apakah yang akan Anda lakukan?
(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2! - 108 (Lagi) Cerita Pembuka Pintu Hati, oleh Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publications, 2011)
Jumat, 28 Oktober 2011
Keputusan Tersulit
Keputusan tersulit adalah keputusan untuk “melepaskan” sesuatu. Seperti saat kita memikirkan betapa beratnya menyingkirkan mobil tua yang setia atau sweater kesayangan kita yang sudah tidak pantas dipakai. Alasannya, benda-benda itu telah lama sekali berada di dekat kita, dan dalam ingatan kita kedua benda itu masih tetap seperti dulu.
Namun, ada kalanya kita tak dapat melangkah maju, sebelum terlebih dulu mengucapkan selamat tinggal kepada sesuatu yang perlu kita tinggalkan. Walaupun perpisahan sangat menyakitkan, namun kita harus berani melakukannya untuk melanjutkan hidup.
(Dari: Buku Percaya dalam Diri Sendiri, karya Earnie Larsen & Carol Hegarty. Penerbit Professional Books, 1996)
Cinta Diri
Sebuah dongeng dari Yunani berkisah tentang Ekho, seorang peri sangat cantik dan suka menggoda pria. Suatu hari ia tergoda, ketika melihat seorang pemuda tampan bernama Narsisus. Ekho jatuh cinta kepada pemuda itu. Namun, cintanya tak dibalas. Ia lalu memohon kepada Dewa Venus untuk membalaskan kepedihan hatinya kepada Narsisus.
Suatu hari, setelah lelah berburu, Narsisus berada di tepi danau. Ia ingin melepaskan lelah dan rasa hausnya. Ketika ia membungkuk di air, ia melihat bayangan yang elok rupanya. Narisus ingin dapat memegang bayangan itu. Ketika ia berusaha memegangnya, bayangan elok itu menghilang. Sebentar kemudian, setelah air danau tenang, bayangan tersebut muncul kembali.
Berulang-ulang ia melakukan hal itu. Akhirnya Narsisus menderita. Ia mati merana karena mencintai bayangan secara berlebihan - yang sebenarnya adalah bayangannya sendiri.
Orang yang hanya mementingkan diri sendiri tidak akan berkembang.
(Dari: Buku Senyuman - Kumpulan 100 Cerita Bijak, Yustinus Sumantri Hp, S.J. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2005)
Suatu hari, setelah lelah berburu, Narsisus berada di tepi danau. Ia ingin melepaskan lelah dan rasa hausnya. Ketika ia membungkuk di air, ia melihat bayangan yang elok rupanya. Narisus ingin dapat memegang bayangan itu. Ketika ia berusaha memegangnya, bayangan elok itu menghilang. Sebentar kemudian, setelah air danau tenang, bayangan tersebut muncul kembali.
Berulang-ulang ia melakukan hal itu. Akhirnya Narsisus menderita. Ia mati merana karena mencintai bayangan secara berlebihan - yang sebenarnya adalah bayangannya sendiri.
Orang yang hanya mementingkan diri sendiri tidak akan berkembang.
(Dari: Buku Senyuman - Kumpulan 100 Cerita Bijak, Yustinus Sumantri Hp, S.J. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2005)
Kamis, 27 Oktober 2011
Pemanah Ahli
Seseorang yang benar-benar seimbang,
bersikap seperti pemanah ahli,
yang ketika menarik busurnya,
menurunkan yang atas dan menaikkan yang bawah,
mengambil dari apa yang terlalu banyak,
dan menambahkan pada yang tidak ada.
Mereka yang menginginkan kekuasaan dan kendali, karena tidak seimbang,
mengambil dari mereka yang memiliki terlalu sedikit, untuk menguntungkan mereka yang memiliki terlalu banyak.
Roh seseorang bereaksi seperti busur,
karena ingin tetap seimbang,
ia mengikuti jalan alami,
berserah tanpa paksaan,
dibidikkan dari hati,
ia akan menemukan jalannya sendiri.
(Dari: Buku Tao Kehidupan yang Bertujuan, karya Judith Morgan & Andre de Zanger. Penerbit Lucky Publishers, 2003)
bersikap seperti pemanah ahli,
yang ketika menarik busurnya,
menurunkan yang atas dan menaikkan yang bawah,
mengambil dari apa yang terlalu banyak,
dan menambahkan pada yang tidak ada.
Mereka yang menginginkan kekuasaan dan kendali, karena tidak seimbang,
mengambil dari mereka yang memiliki terlalu sedikit, untuk menguntungkan mereka yang memiliki terlalu banyak.
Roh seseorang bereaksi seperti busur,
karena ingin tetap seimbang,
ia mengikuti jalan alami,
berserah tanpa paksaan,
dibidikkan dari hati,
ia akan menemukan jalannya sendiri.
(Dari: Buku Tao Kehidupan yang Bertujuan, karya Judith Morgan & Andre de Zanger. Penerbit Lucky Publishers, 2003)
Rabu, 26 Oktober 2011
Engkau Sudah Tahu Siapa Saya
Dahulu kala, di kalangan pemuda Indian ada kebiasaan mengasingkan diri dalam kesunyian di tempat-tempat terpencil. Kebiasaan ini dinamakan pencarian visi, yang bertujuan menyiapkan diri mereka menyongsong masa dewasa.
Seorang pemuda berjalan kaki ke lembah yang indah dengan pepohonan hijau dan bunga-bunga. Di sana ia berpantang dan berdoa. Ketika ia memandang gunung-gunung yang mengelilinginya, ia memerhatikan satu puncak gunung tinggi yang tertutup salju.
"Saya ingin menguji diri dengan menakhlukkan gunung itu," katanya. Ia mulai mendaki gunung dan berhasil mencapai puncak. Dari atas sana ia dapat memandang alam sekitar tanpa halangan apa pun.
Tak lama kemudian, ia mendengar gemerisik dedaunan di dekat kakinya. Ketika memandang ke bawah, ia melihat seekor ular sedang merayap. Ia bersiap lari, tetapi ular itu berkata, "Saya hampir mati. Terlalu dingin bagi saya di sini. Taruhlah saya di balik bajumu, agar saya menjadi hangat dan bawalah saya turun ke lembah."
Pemuda itu menolak. "Saya tahu siapa engkau, ular berbisa. Saya sudah diingatkan, engkau berbahaya," katanya. Tetapi ular sangat licik. Ia membujuk pemuda dengan keindahan kulitnya yang menawan. Akhirnya, pemuda itu menaruh ular di balik bajunya dan membawanya turun ke lembah. Di sana ia meletakkan ular dengan lemah-lembut di atas rumput.
Ular lalu meliuk-liuk dan menggigit kaki pemuda itu. "Engkau telah berjanji...," teriak sang pemuda. "Engkau sudah tahu siapa saya, ketika engkau mengangkat saya," jawab ular sambil merayap pergi.
Ketika kita tergoda oleh berbagai godaan, ingatlah akan kata-kata sang ular, "Engkau sudah tahu siapa saya, ketika engkau mengangkat saya."
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bijak - 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Seorang pemuda berjalan kaki ke lembah yang indah dengan pepohonan hijau dan bunga-bunga. Di sana ia berpantang dan berdoa. Ketika ia memandang gunung-gunung yang mengelilinginya, ia memerhatikan satu puncak gunung tinggi yang tertutup salju.
"Saya ingin menguji diri dengan menakhlukkan gunung itu," katanya. Ia mulai mendaki gunung dan berhasil mencapai puncak. Dari atas sana ia dapat memandang alam sekitar tanpa halangan apa pun.
Tak lama kemudian, ia mendengar gemerisik dedaunan di dekat kakinya. Ketika memandang ke bawah, ia melihat seekor ular sedang merayap. Ia bersiap lari, tetapi ular itu berkata, "Saya hampir mati. Terlalu dingin bagi saya di sini. Taruhlah saya di balik bajumu, agar saya menjadi hangat dan bawalah saya turun ke lembah."
Pemuda itu menolak. "Saya tahu siapa engkau, ular berbisa. Saya sudah diingatkan, engkau berbahaya," katanya. Tetapi ular sangat licik. Ia membujuk pemuda dengan keindahan kulitnya yang menawan. Akhirnya, pemuda itu menaruh ular di balik bajunya dan membawanya turun ke lembah. Di sana ia meletakkan ular dengan lemah-lembut di atas rumput.
Ular lalu meliuk-liuk dan menggigit kaki pemuda itu. "Engkau telah berjanji...," teriak sang pemuda. "Engkau sudah tahu siapa saya, ketika engkau mengangkat saya," jawab ular sambil merayap pergi.
Ketika kita tergoda oleh berbagai godaan, ingatlah akan kata-kata sang ular, "Engkau sudah tahu siapa saya, ketika engkau mengangkat saya."
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bijak - 100 Cerita Bijak jilid ke-3, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Selasa, 25 Oktober 2011
Mendengarkan Kehidupan
Tahun 1970-an, Presiden Jimmy Carter menghimbau rakyat Amerika Serikat untuk hidup prihatin. Saya pikir, ia seharusnya tidak meminta rakyatnya hidup prihatin, tetapi meminta mereka menikmati apa yang ada. Kebanyakan orang di negara-negara maju telah kehilangan kemampuan merasakan kenikmatan. Mereka harus memiliki makin banyak barang mahal, mereka tak lagi dapat menikmati hal-hal sederhana dalam hidup.
Suatu kali saya masuk ke ruangan tempat menjual bermacam rekaman musik yang sangat bagus. Anda dapat membeli rekaman musik itu dengan potongan harga. Barang-barang bertumpuk, tetapi saya tidak pernah melihat seseorang mendengarkan musik itu. Tidak ada waktu. Mereka bekerja terlalu banyak. Kerja, kerja, kerja.
Bila Anda benar-benar menikmati hidup dan kenikmatan panca indera yang sederhana, maka Anda akan merasa takjub. Perhatikanlah disiplin luar biasa yang dimiliki hewan. Hewan tak pernah makan berlebihan. Di lingkungan hidup alami, tak pernah ada hewan yang kelebihan berat badan. Hewan tidak pernah makan atau minum benda-benda berbahaya untuk kesehatannya. Hewan selalu berolah raga sesuai kebutuhannya.
Kita telah tersesat dalam pikiran-pikiran kita, ide-ide kita, ideal-ideal kita, dan akan selalu terus, terus, terus... Kita mengalami konflik dalam diri kita sendiri yang tidak dialami hewan. Dan kita selalu menyesali diri, membuat diri kita merasa bersalah.
Keadaan itu berlaku juga bagi saya. Saya pernah kehilangan kebebasan di hadapan segala macam benda. Tetapi sekarang, tak lagi demikian. Saya merasa puas dengan jumlah yang sedikit, namun saya menikmatinya dengan sungguh-sungguh.
Jika Anda menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh, Anda hanya membutuhkan sedikit. Tenangkanlah diri Anda. Kecaplah, hiruplah, dengarkanlah, dan biarkanlah panca indera Anda hidup.
Duduklah dengan tenang dan dengarkanlah bunyi-bunyi yang ada di sekeliling Anda. Jangan memusatkan perhatian Anda pada salah satu bunyi. Cobalah dengarkan semuanya. Ah, Anda akan mengalami mukjizat pada saat panca indera Anda terbuka.
(Dari: Buku Awareness – Butir-Butir Mutiara Pencerahan, karya Anthony de Mello, S.J. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1999)
Senin, 24 Oktober 2011
Pohon Kayu Wangi
Seorang hartawan yang sudah tua, sangat khawatir akan masa depan anaknya yang sejak kecil terbiasa dimanja. Meskipun ia mempunyai harta sangat banyak, ia takut kalau hartanya diwariskan justru akan membawa bencana bagi anaknya. Karena itu, daripada meninggalkan warisan, lebih baik ia melatih anaknya untuk berjuang dan mandiri.
Ia memanggil anaknya, menceritakan bagaimana ia dulu memulai usaha dari nol, melalui berbagai pengalaman dan perjuangan sampai bisa seperti saat ini. Cerita sang ayah menggerakkan hati si anak yang belum pernah pergi jauh dari rumah. Pemuda ini berjanji, tidak akan pulang ke rumah sebelum menemukan harta.
Kemudian ia pergi berlayar. Kapalnya melewati berbagai macam badai dan pulau, sampai akhirnya tiba di sebuah hutan tropis. Ia menemukan sejenis pohon yang tingginya mencapai sepuluh meter. Di seluruh hutan, hanya ada dua batang pohon jenis tersebut. Ketika pohon ditebang, tampak inti batang pohon yang berwarna kehitaman mengeluarkan wewangian. Dalam hati pemuda berpikir, ini harta yang tak ternilai harganya.
Ia mengangkut kayu-kayu harum itu ke pasar untuk dijual, tetapi tak ada orang yang mau membeli. Di dekat pasar ada warung yang menjual arang. Ia memerhatikan, arang berukuran kecil cepat laku terjual. Pikirnya, kalau arang begitu mudah dijual, mengapa aku tidak mengubah kayu wangi ini menjadi arang?
Ia lalu membawa arang dari kayu wangi ke pasar dan dengan cepat laku terjual. Pemuda itu senang, ia bisa mewujudkan keinginannya. Dengan bangga ia pulang ke rumah dan menceritakan pengalaman tersebut kepada ayahnya. Namun, sang ayah malah sedih. Ternyata, pohon wangi yang dijadikan arang itu termasuk salah satu pohon paling mahal di dunia. Hanya dengan menumbuk sebagian kecil kayunya menjadi bubuk, harganya bisa melebihi harga sekereta arang.
Di setiap manusia ada "pohon kayu wangi," tetapi kebanyakan orang tidak mengetahui nilainya. Mereka malah mengagumi milik orang lain, sehingga justru kehilangan harta paling berharganya.
(Dari: Buku 200 Kisah Terindah Sepanjang Masa dari China, karya Din Man. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2011)
Ia memanggil anaknya, menceritakan bagaimana ia dulu memulai usaha dari nol, melalui berbagai pengalaman dan perjuangan sampai bisa seperti saat ini. Cerita sang ayah menggerakkan hati si anak yang belum pernah pergi jauh dari rumah. Pemuda ini berjanji, tidak akan pulang ke rumah sebelum menemukan harta.
Kemudian ia pergi berlayar. Kapalnya melewati berbagai macam badai dan pulau, sampai akhirnya tiba di sebuah hutan tropis. Ia menemukan sejenis pohon yang tingginya mencapai sepuluh meter. Di seluruh hutan, hanya ada dua batang pohon jenis tersebut. Ketika pohon ditebang, tampak inti batang pohon yang berwarna kehitaman mengeluarkan wewangian. Dalam hati pemuda berpikir, ini harta yang tak ternilai harganya.
Ia mengangkut kayu-kayu harum itu ke pasar untuk dijual, tetapi tak ada orang yang mau membeli. Di dekat pasar ada warung yang menjual arang. Ia memerhatikan, arang berukuran kecil cepat laku terjual. Pikirnya, kalau arang begitu mudah dijual, mengapa aku tidak mengubah kayu wangi ini menjadi arang?
Ia lalu membawa arang dari kayu wangi ke pasar dan dengan cepat laku terjual. Pemuda itu senang, ia bisa mewujudkan keinginannya. Dengan bangga ia pulang ke rumah dan menceritakan pengalaman tersebut kepada ayahnya. Namun, sang ayah malah sedih. Ternyata, pohon wangi yang dijadikan arang itu termasuk salah satu pohon paling mahal di dunia. Hanya dengan menumbuk sebagian kecil kayunya menjadi bubuk, harganya bisa melebihi harga sekereta arang.
Di setiap manusia ada "pohon kayu wangi," tetapi kebanyakan orang tidak mengetahui nilainya. Mereka malah mengagumi milik orang lain, sehingga justru kehilangan harta paling berharganya.
(Dari: Buku 200 Kisah Terindah Sepanjang Masa dari China, karya Din Man. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2011)
Minggu, 23 Oktober 2011
Bergantung pada Tanganmu
Di puncak bukit yang tinggi, tempat orang bisa memandang keindahan kota Santa Barbara, tinggallah seorang tua yang dianggap orang bijak. Menurut cerita, ia dapat menjawab pertanyaan apa pun yang diajukan kepadanya.
Dua anak muda setempat berencana menjebak lelaki tua itu. Mereka menangkap seekor burung kecil dan membawanya ke hadapan orang bijak tersebut. Salah satu anak menyembunyikan burung dalam genggaman tangan di balik punggungnya.
"Hai, orang tua yang bijak," kata seorang anak, "dapatkah engkau mengatakan, apakah burung dalam genggaman tanganku ini masih hidup atau sudah mati?"
Orang tua itu menatap wajah mereka, dengan suara tegas ia berkata, "Anakku, jika aku mengatakan burung itu masih hidup, engkau akan menggenggam tanganmu dan meremukkan burung itu hingga mati. Namun, jika aku mengatakan burung itu sudah mati, engkau akan melonggarkan tanganmu dan membiarkan burung itu terbang. Lihatlah anakku, di tanganmu engkau memegang kuasa atas kehidupan dan kematian. Itu adalah suatu tanggung jawab yang sungguh besar."
Kedua anak itu terkejut. Mereka saling menatap dengan penuh rasa kagum terhadap kebijaksanaan orang tua tersebut. Mereka turun dari puncak bukit, lalu melepaskan burung yang mereka bawa. Burung itu mengepakkan sayap dan terbang menikmati kebebasannya.
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-5, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Dua anak muda setempat berencana menjebak lelaki tua itu. Mereka menangkap seekor burung kecil dan membawanya ke hadapan orang bijak tersebut. Salah satu anak menyembunyikan burung dalam genggaman tangan di balik punggungnya.
"Hai, orang tua yang bijak," kata seorang anak, "dapatkah engkau mengatakan, apakah burung dalam genggaman tanganku ini masih hidup atau sudah mati?"
Orang tua itu menatap wajah mereka, dengan suara tegas ia berkata, "Anakku, jika aku mengatakan burung itu masih hidup, engkau akan menggenggam tanganmu dan meremukkan burung itu hingga mati. Namun, jika aku mengatakan burung itu sudah mati, engkau akan melonggarkan tanganmu dan membiarkan burung itu terbang. Lihatlah anakku, di tanganmu engkau memegang kuasa atas kehidupan dan kematian. Itu adalah suatu tanggung jawab yang sungguh besar."
Kedua anak itu terkejut. Mereka saling menatap dengan penuh rasa kagum terhadap kebijaksanaan orang tua tersebut. Mereka turun dari puncak bukit, lalu melepaskan burung yang mereka bawa. Burung itu mengepakkan sayap dan terbang menikmati kebebasannya.
(Dari: Buku Rangkaian Kisah Bermakna - 100 Cerita Bijak jilid ke-5, karya Brian Cavanaugh, T.O.R. Penerbit Obor, 2002)
Sabtu, 22 Oktober 2011
Ke Mana Hilangnya Hati?
Jasad Wang Yue yang baru dua tahun menghirup udara dunia, sudah kembali ke pangkuan bumi. Namun, kisah tragisnya masih beredar di seluruh dunia. Senja 13 Oktober di sebuah pasar grosir di kota Foshan, provinsi Guangdong, China; Yue-Yue begitu putri kecil ini dipanggil, dengan santai berlenggang di jalan kecil menjauhi toko orangtuanya.
Saat Yue-Yue berada di tengah jalan, sebuah mobil van melintas tidak terlalu kencang. Bagian depan van membentur kepala mungil dan menjatuhkannya. Pengemudi van tetap melaju, ban kanan depan mobil menyentuh tubuh Yue-Yue. Pengemudi merasa ‘menginjak’ sesuatu. Ia sempat berhenti sebentar, tetapi kemudian melanjutkan perjalanannya – ban kanan belakang mobil kembali menyentuh tubuh Yue-Yue yang terkapar.
Kamera yang dipasang di pojok atas sebuah toko, tepat menyorot ke jalan, merekam jelas kejadian itu. Selama tujuh menit Yue-Yue menahan sakit, sementara 18 orang yang lalu-lalang di dekatnya tak peduli. Seorang pengendara motor berhenti sejenak, melihat Yue-Yue, lalu menjauh. Bahkan sebuah truk yang melintas di jalan itu, menambah derita Yue-Yue.
Lalu lewatlah seorang wanita pemulung. Ia mendekati Yue-Yue, menggesernya ke tepi jalan, berteriak-teriak menarik perhatian orang-orang sekitar, sampai ibu Yue-Yue berlari keluar dan mengangkat tubuh putrinya.
Seluruh dunia mengecam orang-orang yang menganggap remeh balita yang terbaring tak berdaya di jalan. Seandainya, pengemudi mobil van tidak mengikuti egonya, berhenti dan keluar dari mobil ketika ia merasa roda depan ‘menginjak’ sesuatu, tentu luka Yue-Yue terlalu parah. Seandainya, setelah itu orang yang melintas di jalan segera menolong Yue-Yue, tentu ia tak akan kehilangan banyak darah dan dimangsa truk untuk kedua kalinya.
Dunia menangis. Ke mana hilangnya Hati? Kematian Yue-Yue adalah kematian hati nurani. Manusia semakin egois, belas kasih terkikis habis. Sosok kecil Yue-Yue menggambarkan ketidakberdayaan akan kerasnya dunia. Orang-orang kecil, kaum marginal, kerap jadi santapan gurita dunia.
Mungkin bukan hanya 18 orang, tetapi semakin banyak orang yang acuh tak acuh terhadap berbagai bentuk "korban tabrak lari" dalam arti luas. Jika suatu saat kelak rekaman kehidupan kita dibuka, akankah kita melihat adegan di mana kita melintas di depan penderitaan sesama, kemudian berlalu menjauh?
Musim Semi Baru
Kita MEMILIKI KEMAMPUAN untuk MENCAPAI KEBIJAKSANAAN dan KEUTAMAAN. Dengan karunia ini, dan dengan bantuan rahmat Allah, dalam abad dan milenium berikut kita dapat MEMBANGUN PERADABAN yang LAYAK bagi PRIBADI MANUSIA, suatu budaya KEBEBASAN yang SEJATI. Kita dapat dan harus berbuat demikian!
Dengan berbuat demikian, kita akan melihat bahwa air mata dari abad ini telah mempersiapkan tanah bagi suatu musim semi baru roh manusia. (Sambutan di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1995)
- Beato Yohanes Paulus II
(Dari: Buku Paus Yohanes Paulus II - Dalam Kata-Kataku Sendiri, Anthony F. Chiffolo, ed. Penerbit Obor, 2001)
Jumat, 21 Oktober 2011
Kedamaian di "Rumah" Sendiri
Ada anggapan, orang mengalami damai kalau tidak ada konflik, perang, pertentangan, kekerasan, teror, kemiskinan, kerapuhan, kegagalan, kejahatan, dan perubahan. Orang mudah lari dari medan konflik, pertentangan, dan perubahan; lalu mencari kedamaian di tempat lain. Berbagai cara dilakukan, agar orang bisa lari dari kenyataan.
Padahal, kalau orang merasa damai karena lari dari medan konflik, maka kedamaian itu semu belaka. Kegelisahan tetap datang seperti teror. Sebagian orang lari kepada Tuhan. Mereka menghabiskan banyak waktu dalam doa untuk memohon kedamaian. Namun, tidak sedikit orang tetap merasa kering dan gelisah.
Mengapa orang tetap tidak damai? Orang membiarkan dirinya hidup dikendalikan oleh pikiran dan emosinya. Pikiran dan emosi itu seperti monyet. Ia terus bergerak, berubah-ubah, datang dan pergi tiada henti.
Anda bagaikan sebuah rumah. Monyet-monyet berupa pikiran dan emosi datang dan pergi di rumah Anda. Ketika Anda lama pergi, Anda tidak sadar rumah Anda didatangi ribuan monyet. Lihatlah, apa yang terjadi! Ribuan monyet makan, minum, tidur, mandi, dan membuang kotoran di situ. Mereka loncat ke sini, loncat ke sana. Terus bergerak. Merusak semua yang ada. Seluruh isi rumah diacak-acak. Semua jadi kacau, kotor, dan bau.
Diri Sejati Anda yang tinggal di rumah Anda dan tersamar di situ, di tengah-tengah ribuan monyet yang tak bisa diam, memanggil Anda pulang. Dalam keheningan, ia terus berteriak: “Ayo pulang, pulang, pulang…! Aku sangat merindukanmu!”
Ketika pulang, Anda mendapati rumah Anda kacau-balau. Namun, saat mulai menapakkan kaki di lantai rumah Anda, Anda sadar sepenuhnya akan apa yang sedang berlangsung: ribuan monyet itu satu demi satu ngeloyor pergi dengan sendirinya.
Setiap kali ada monyet datang, Anda sadar ada monyet datang. Setiap kali ada monyet pergi, Anda sadar ada monyet pergi. Kini Anda mendapati rumah yang tenang. Anda pelan-pelan mengambil sapu untuk membersihkan yang kotor dan bau, serta menata kembali semua yang kacau. Setelah selesai, Anda mengalami kesukaan dan damai. Di sanalah, Anda bertemu dengan Diri Sejati dan Tuhan Anda.
Kedamaian ditemukan bukan di rumah orang lain, tetapi di rumah Anda sendiri. Pulang ke rumah berarti kembali menguasai tubuh fisik, pikiran, perasaan, reaksi mental, dan kesadaran Anda.
(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)
(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)
Tetap Terjaga
Tubuh dan Pikiran boleh saja terlelap, tetapi Sang Kesadaran tetap terjaga.
- Deepak Chopra (1946 - .....)
Dokter, pembicara, pengembang spiritualitas dan pengobatan alternatif
(Dari: Buku Love and Fear - Enam Kendali Menjadi Diri-Cinta, karya Wisnu Prayudha. Penerbit Elex Media Komputindo, 2010)
- Deepak Chopra (1946 - .....)
Dokter, pembicara, pengembang spiritualitas dan pengobatan alternatif
(Dari: Buku Love and Fear - Enam Kendali Menjadi Diri-Cinta, karya Wisnu Prayudha. Penerbit Elex Media Komputindo, 2010)
Langganan:
Postingan (Atom)