Pada tahun keempat saya menjadi biksu di Thailand, saya berlatih lama dan berat di sebuah vihara hutan yang terpencil di timur laut. Suatu hari, di tengah malam, saat meditasi jalan, pikiran saya menjadi luar biasa jernih. Pandangan cerah mengalir bagaikan air terjun di pegunungan. Dengan mudah saya memahami misteri-misteri yang selama ini tidak saya pahami. Ini dia! Pencerahan!
Rasa bahagianya tidak seperti apa pun yang saya ketahui sebelumnya. Ada banyak sukacita, di saat bersamaan, semua serba damai. Saya bermeditasi sampai sangat larut, tidur singkat sekali, dan bangun untuk melanjutkan meditasi lagi. Kesadaran mengalir sangat tajam laksana pisau bedah dan konsentrasi dengan mudah terpusat. Namun, sungguh sayang hal itu tak bertahan lama.
Di Thailand timur laut makanannya begitu memualkan. Biasanya, hidangan utama kami setiap hari adalah kari ikan busuk – ikan kecil-kecil yang ditangkap selama musim hujan, disimpan dalam gentong tanah liat, dan digunakan sepanjang tahun. Pada hari pasca-pencerahan saya, saya melihat ada dua panci kari sebagai lauk. Panci yang satu berisi kari ikan busuk seperti biasanya, sedangkan panci lainnya berisi kari daging babi yang layak makan.
Kepala vihara memilih makanannya sebelum saya. Ia mengambil tiga sendok besar kari daging babi yang lezat. Sebelum menyerahkan sendok lauk kepada saya, ia mulai mencampur kari daging babi yang menggiurkan itu ke dalam panci kari ikan busuk. “Kan sama saja!” katanya sambil mengaduk-aduk.
Saya terdiam. Dalam hati saya menggerutu. Jika dia benar-benar berpikir “kan sama saja,” mengapa dia lebih dulu mengambil tiga sendok kari daging babi untuk dirinya sendiri, sebelum mencampuradukkannya? Dasar curang!
Lalu, sebuah penyadaran menghantam saya. Orang yang tercerahkan tak akan memilih-milih makanan, pun tak mungkin marah dan menyumpahi kepala viharanya, meskipun cuma dalam hati. Api kemarahan saya tiba-tiba dipadamkan oleh guyuran hujan kesedihan. Awan-awan gelap kekecewaan menggulung di hati dan menutupi sinar mentari pencerahan saya. Saya mengambil dua sendok kari ikan busuk yang sudah bercampur kari daging babi. Saya tak peduli lagi apa yang saya makan. Saya begitu sedih menyadari kenyataan bahwa saya belum mencapai pencerahan.
(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya – 108 Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publication, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar