Jika berkendara di luar negeri, meskipun melalui jalan bebas hambatan yang sangat lengang, pengemudi harus tetap waspada memerhatikan speedometer di dashboard mobilnya. Melewati batas kecepatan maksimum akan kena tilang. Kecepatan mobil terpantau secara elektronik.
Hal serupa bisa kita terapkan pada kehidupan batiniah. Bagaimana kita dapat hidup dalam keadaan 'bangun,' (eling)? Mungkin kita perlu memasang speedometer batin. Bukan sebagai keharusan bertindak sadar, tetapi lebih pada refleksi atau penyadaraan dari saat ke saat.
Amatilah diri Anda. Jika dalam situasi tertentu jarum di speedometer batin mulai bergerak naik dari angka nol, perhatikan seberapa tinggi ke-ego-an itu muncul. Misalnya, pada saat seorang teman mengolok-olok Anda. Anda merasa ada kalimatnya yang kena di hati - saat itu diri atau ego mulai muncul, mungkin mencapai angka 20. Tetapi, lalu Anda beranggapan, ah, sudahlah, teman itu hanya bercanda. Pemahaman terhadap realitas tersebut membuat jarum speedometer batin kembali turun ke titik nol.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor menyerempet mobil Anda, menyisakan goresan sepanjang 30 sentimeter di salah satu pintu mobil Anda. Oh, tidak! Anda marah besar. Lihatlah, jarum speedometer batin Anda langsung menembus angka 70. Hei, buat apa marah? Mobil sudah tergores, pengemudi sepeda motor dengan cepat berlalu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Mau menuntut siapa? Jarum speedometer batin merendah lagi.
Saat jarum speedometer batin berada di angka nol yang menandai titik keheningan, diri atau ego tidak ada. Dalam kekosongan batin, di angka nol itu, kita tidak bergerak ke mana-mana. Ibarat mobil yang berhenti, karena sudah tiba di tujuan. Perjalanan sebelum tiba di tempat tujuan adalah masa lampau. Jika di saat ini kita sudah tiba di tempat tujuan, agaknya kita tak perlu lagi melanjutkan perjalanan menembus masa depan yang berkabut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar