Dua orang menempuh perjalanan jauh untuk mencari harta. Mereka mendengar ada kota yang ditinggalkan penduduknya, mungkin ada barang tertinggal yang bisa mereka temukan. Mereka pergi ke kota itu. Ketika berjalan-jalan, mereka menemukan goni. Di zaman itu, goni dipakai untuk membuat benang goni, mirip kain yang digunakan untuk membuat celana jins.
Mereka menemukan goni tercecer, mengumpulkannya, dan masing-masing membawa setumpuk goni. Setelah beberapa lama, seorang dari mereka menemukan sebuntal benang goni. Salah satu dari mereka berkata, “Kini aku bisa membuang tumpukan goniku. Aku akan mengambil benang goni ini saja.” Namun, temannya berkata, “Aku sudah menetapkan akan membawa setumpuk goni. Ini cukup bagiku.”
Lalu mereka mengalami serangkaian penemuan benda lain yang lebih berharga. Yang seorang terus mengubah dari goni ke benang goni, ke kain goni, lalu ke rami, ke benang linen, ke kain linen. Kemudian mereka menemukan perak, akhirnya emas. Sementara yang satunya tetap tak mau berubah. Ketika mereka kembali ke rumah, yang seorang hanya membawa setumpuk goni, sedangkan kawannya pulang dengan sebuntal emas.
Ini adalah kiasan kuno mengenai penyebab kita tak pernah mau mengganti pandangan dan gagasan kita. Mengapa ketika kita memiliki gagasan tertentu, kita begitu sulit atau keras untuk mengubahnya, padahal sesuatu yang lebih baik datang? Ini sungguh pertanyaan yang menarik.
Alasannya, ketika kita sudah memiliki sesuatu, “Itu goni yang kutemukan,” goni itu nyaris menjadi diri Anda. Goni adalah aku. Aku akan mati, jika aku mendapat jati diri lain, identitas lain. Banyak orang, ketika mendapat gagasan baru, berkata, “Tidak ah, paham ini saja cukup bagi saya…,” atau semacamnya. Kita begitu resisten terhadap perubahan, meski kita tahu ada yang lebih baik. Jika kita memahami kiasan ini, kita tahu apa esensi pencarian kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar