Kebanyakan dari kita barangkali jarang mengalami kekosongan, karena kita cenderung menghindarinya, melarikan diri darinya, saat kekosongan muncul. Kita menyibukkan diri dalam dunia kerja, mencari kekayaan, berelasi dengan orang, menonton televisi, masuk ke dunia maya, membaca banyak buku, mengumpulkan pengetahuan, mencari kekuasaan, memupuk kepercayaan, dan sebagainya.
Kita tidak sungguh-sungguh menyelidiki apa itu kekosongan. Kita menilai kekosongan sebagai sesuatu yang "buruk", "menyakitkan", "menakutkan", dan "mengerikan". Kalau batin kita menamai dan menilai, di situ sudah ada perlawanan atau pelarian diri. Bisakah batin menghadapi kekosongan tanpa memberinya nama, tanpa menilai, tanpa melawan, tanpa melarikan diri?
Kalau kita tinggal bersama kekosongan tanpa jarak, maka tidak ada pengamat yang menamai, tidak ada pengamat yang menilai, tidak ada penderita yang merasa ngeri dan ingin berlari, tidak ada korban yang mencari perlindungan dan penghiburan. Kekosongan hendaknya dipahami secara lengkap. Dan pemahaman lengkap terjadi kalau kita tidak melawan atau menghindar.
Kekosongan disebut hakikat diri yang tak berhakikat, karena kekosongan bukanlah kehampaan tak berujung, bukan sekadar tiadanya pikiran, dan hilangnya rasa-perasaan. Kekosongan adalah terlepasnya segala konsep diri, lenyapnya kelekatan subjek terhadap objek. Tidak ada pusat, tidak ada tepian, tidak ada kedalaman, tidak ada ketinggian.
Hanya dalam realitas kekosongan, kita sadar secara aktual ada sesuatu Yang Lain. Ia bukan dari diri, tetapi tidak terpisahkan dari diri. Semua itu tidak bisa dipahami dari luar, melainkan mesti dipahami dari dalam.
(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar