Konflik selalu terjadi antara dua hal yang saling berlawanan. Aku merasa benar, dan aku menganggap engkau salah. Lalu aku memaksakan apa yang kuanggap benar. Demikian sebaliknya. Aku dan engkau lalu terlibat konflik, karena sama-sama menganggap diri paling benar. Segala sesuatu yang menimbulkan konflik, betapa pun orang merasa paling benar; sama-sama jahat, sama-sama merusak.
Kebenaran yang sesungguhnya atau Kebaikan Tertinggi tidak mempunyai lawan atau kebalikan. Anda bisa berkonflik dengan Sang Kebaikan atau Tuhan, tetapi Sang Kebaikan tidak mungkin berkonflik dengan Anda. Anda bisa membenci Tuhan, tetapi Tuhan yang sesungguhnya tidak mungkin membenci Anda. Bagaimana mungkin di dalam Sang Kebaikan ada kejahatan, di dalam Sang Kebenaran ada kepalsuan, di dalam Cinta ada kebencian?
Ketika aku melawan sesuatu, sesungguhnya aku telah menjadi apa yang aku lawan. Jika Anda marah dan saya membalas Anda dengan marah, maka saya telah menjadi seperti Anda. Jika Anda jahat dan saya membalas Anda dengan kejahatan, maka saya dan Anda sama-sama jahat.
Kejahatan tidak bisa dilawan dengan kejahatan. Kebaikan sebagai lawan dari kejahatan juga tak bisa menghabisi kejahatan, karena kebaikan sebagai lawan dari kejahatan masih tetap mengandung benih kejahatan. Kejahatan dalam diri kita mesti berakhir lebih dulu, dan ketika itu berakhir mungkin terlahir apa yang disebut Kebaikan Tertinggi. Berakhirnya kejahatan tidak mungkin terjadi, tanpa pemahaman secara tuntas terhadap kejahatan, yang pusatnya tidak lain adalah diri.
Diri adalah akar dari kejahatan, karena gerak diri selalu cenderung mengisolasi, mengambil jarak, memecah-belah, menciptakan konflik, mengelabui pandangan terhadap realitas yang sesungguhnya. Sebaik apa pun gambaran kita tentang diri ini, si aku psikologis tetaplah jahat. Bisakah si aku yang jahat berubah menjadi baik? Bagaimana mungkin yang jahat bisa berubah menjadi baik?
(Dari: Buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar