Orang takut mati karena gambaran akan diceraikan dari tubuh dan dari kehidupan yang dilekatinya. Saat kematian tiba, tubuh menjadi kaku, dingin, busuk, rusak, tercerai-berai, dan musnah. Seluruh hubungan terputus: hubungan dengan tubuh, barang-barang, uang, orang-orang yang dicintai, cita-cita, kesenangan, kenikmatan, gagasan, kesedihan, kebencian, dan sebagainya.
Karena takut terhadap kematian, kita menempatkan kematian jauh dari kehidupan yang kita lekati. Berbicara tentang kematian seolah belum relevan selagi kita masih hidup. Kita menerima begitu saja kehidupan ini dan menolak datangnya kematian.
Kematian akan datang pada waktunya. Masalahnya bukan kapan dan dengan cara apa kita akan mati, melainkan apakah kita sungguh-sungguh berani menghadapi kehidupan tanpa melekat padanya? Kelekatan terhadap kehidupan membuat kita takut akan kematian.
Sebenarnya, menghayati kematian sekaligus kehidupan setiap saat adalah sesuatu yang mungkin. Tidak ada yang absurd untuk mati total dalam sekejap dan membiarkan kehidupan yang maha luas terlahir juga dalam sekejap.
Caranya, lepaskan diri dari segala sesuatu yang melekat dalam batin, daya upaya untuk mengejar sesuatu. Berhentinya pikiran dan keinginan akan membuat kita masuk ke alam di luar waktu. Dalam kondisi seperti itulah, diri dapat berakhir dan Allah mungkin terlahir.
Maka, tidak ada jalan yang lebih otentik daripada jalan paradoks: kepenuhan hidup terlahir dalam kematian diri yang total.
(Dari: Buku Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar