Ia seorang suami, ayah dari tiga putra. Seorang bersahaja yang sehari-hari mengurus toko bahan bangunan di Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk menafkahi keluarga.
Di antara hampir tujuh miliar penduduk dunia, ia bukan siapa-siapa. Namanya tak dikenal karena penemuan penting atau perilaku sensasional yang dibuatnya. Namun, bagi keluarga dan orang-orang yang mengenalnya secara dekat ia adalah segalanya.
Seorang anaknya mengenang, saat ia beranjak remaja dan akan berpiknik ke pantai bersama teman-temannya, sang ayah tidak melarang keras, beliau hanya berujar, “Kamu sudah besar sekarang, silakan tentukan sendiri apa yang terbaik untuk dirimu sendiri.” Kebebasan yang diberikan ayahnya, justru menjadikan si anak berhati-hati melalui masa remajanya dan tumbuh dewasa dengan bijaksana.
Ketika kerusuhan Tasikmalaya merebak pada 26 Desember 1996 yang menghancurkan 36 rumah warga, dua gereja, dan satu pabrik pengolahan kayu (sumber: Tempo.co.id), rumah bapak ini pun nyaris diserbu para perusuh. Namun, karena welas asih yang ditunjukkannya kepada penduduk sekitar – mengulurkan bantuan kepada siapa pun yang membutuhkan, termasuk menyumbang bahan bangunan untuk pembangunan masjid setempat – membuat penduduk sekitar mengamankan rumahnya dan menghalau para perusuh.
Kehidupannya berjalan biasa-biasa saja, bagaikan air yang mengikuti alirannya. Tiba-tiba di awal Oktober silam bapak ini jatuh sakit. Tangan dan kakinya tak dapat digerakkan, ia kesulitan bernapas, dan tak dapat menelan makanan. Dokter mendiagnosis ia menderita Guillain Barre Syndrome (GBS) – kerusakan saraf tepi di tubuh, yang penyebabnya belum diketahui, kemungkinan karena respons autoimun. Setelah mendapat perawatan intensif di rumah sakit selama dua bulan dua minggu, perjuangan hidupnya di dunia ini berakhir.
“Papi orang yang sangat baik. Hatinya luar biasa, selalu memberikan yang terbaik untuk orang lain, tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Amazing personality. He’ll be missed, but his presence will always be around all people who know him,” tulis seorang putranya dalam pesan singkatnya.
Ya, ia memang bukan siapa-siapa di antara sekian miliar penduduk dunia, tetapi ia telah memaknai kehidupannya yang biasa-biasa saja secara luar biasa. Mereka yang mengenalnya akan selalu mengenang kebersahajaan dan kebaikannya.
(In Memoriam Bapak Julius Rubin, 21 November 1951-16 Desember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar