Setiap orang mendambakan cinta supaya bahagia. Tetapi cinta yang didambakan bukanlah Cinta yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin Cinta menjadi objek keinginan, dan Anda sungguh bahagia dengan terpenuhinya keinginan? Bagaimana mungkin mencintai orang lain, kalau Anda membutuhkan cinta untuk memenuhi kebutuhan psikologis Anda?
Barangkali Anda memiliki seseorang yang Anda cintai dan Anda berdua merasa sama-sama cocok. "Kami belajar untuk saling menerima kelemahan dan kelebihan masing-masing. Terlebih kami belajar untuk saling memuaskan. Aku belajar untuk memenuhi kebutuhannya dan dia belajar untuk memenuhi kebutuhanku."
Apakah keinginan pasangan sungguh-sungguh bisa dipuaskan? Apa yang terjadi ketika keinginan tidak terpuaskan? Apakah Anda marah, jengkel, benci, cemburu, dan seterusnya? Untuk menghindari kemarahan atau kejengkelan pasangan Anda, apakah Anda terpaksa terus memuaskan kebutuhannya? Sampai kapan Anda akan memuaskan kebutuhan psikologis pasangan Anda atas nama cinta?
Kalau Cinta identik dengan perasaan, cinta selalu berubah-ubah, tidak ada perasaan yang tetap. Kemarin Anda bergelora karena cinta, sekarang cinta menjadi luntur atau merosot. Pada waktu lain kebencian bisa berubah menjadi cinta yang bergelora kembali. Apakah Cinta yang sesungguhnya bisa merosot atau bergelora kembali?
Amatilah gerak perasaan Anda, perasaan cinta atau benci, ketika itu muncul. Biarkan berhenti dengan sendirinya. Bukankah ketika perasaan tidak lagi membelenggu Anda, entah perasaan cinta atau benci, kepekaan muncul dalam hati? Bukankah hati yang mampu mencinta adalah hati yang peka?
Tanpa Diri adalah Cinta
Hati yang tidak peka mudah terseret oleh objek-objeknya. Ia mudah mencintai yang satu dan membenci yang lain, atau lebih mencintai yang satu dan kurang mencintai yang lain.
Hati yang peka melihat segala sesuatu bukan sebagai objek, melainkan sebagai apa adanya. Cinta yang lahir dari hati yang peka tidak memperlakukan yang lain sebagai objek.
Cinta yang sesungguhnya juga tidak mengenal entitas lain di luar Cinta itu sendiri. Seseorang yang sedang dilanda cinta, suka mengatakan, "Sayang, aku mencintaimu. Terimalah cintaku." Dalam cinta yang demikian, masih ada "si aku" yang mencintai atau "si aku" yang memiliki. Bagaimana mungkin mencintai kalau masih ada ambisi untuk memiliki? Bagaimana mungkin mencintai kalau tindakan masih digerakkan oleh diri?
Diri sebagai entitas yang mencintai adalah ilusi. Cinta yang digerakkan oleh diri adalah juga ilusi. Ketika ilusi seluruhnya runtuh, bukankah Cinta yang sesungguhnya mungkin bersemi? Bisakah Cinta mekar dan bertindak dari dirinya sendiri?
(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar