Bagi orang asli Afrika, diam bukanlah sesuatu yang pasif atau vakum, juga bukan suatu keadaan tanpa kata dan pembicaraan; melainkan suara aktif dan positif yang mendorong pemikiran serta refleksi yang dapat meningkatkan mutu pembicaraan selanjutnya.
Dalam diam-lah, refleksi konstruktif tentang diri sendiri, nilai, dan makna hidup dimungkinkan.
Sementara itu, suara dianggap sebagai kebalikan. Suara membuat kita mengabaikan milik kita yang paling berharga, yaitu waktu dan diri kita yang sejati.
Memang, menghadapi kebenaran diri sendiri dan jujur terhadap diri sendiri sering kali menyakitkan. Itulah sebabnya, kita kemudian mencari pelarian pada suara-suara untuk keluar dari ketakutan menemukan kedalaman dari kekosongan. Kita takut akan keheningan. Kita takut hanya bersama diri sendiri dan masuk pada bagian diri yang terdalam.
Lebih dari itu, dalam pencarian akan Dia yang Mahabesar, pencapaian spiritual yang sejati hanya bisa dicapai melalui introspeksi yang dilakukan dalam hening. Hanya dalam keheningan, hati seseorang bisa berhadapan dengan dirinya dan berefleksi tentang pertanyaan-pertanyaan penting, seperti siapakah aku?
Maharal, seorang komentator mistik abad ke-16, menjelaskan bahwa kegiatan berbicara adalah aspek fisik manusia. Karena itu, ketika berbicara, aspek fisiklah yang mengendalikan kita. Diam, memungkinkan dimensi spiritual kita mengambil alih kendali tersebut.
Orang-orang yang mau bertekun dalam kehidupan spiritual perlu melihat nilai keheningan sebagai latihan bagi jiwa. Kendaraan kebijaksanaan adalah keheningan. Sokrates mengingatkan kita: kehidupan yang tidak direfleksikan tidaklah berarti untuk dijalani.
Menyediakan waktu khusus untuk bersama diri sendiri akan membantu kita menjajaki dunia diri kita yang terdalam. Inilah saat kita menembus diri kita yang lebih dalam dan menempatkannya pada perspektif yang benar. (Ujah Gabriel Ejembi, S.J.)
(Dari: Buku Bunyikan Genta bagi Tuhan - Persembahan Harian 2013, penerbit Sekretariat Nasional Kerasulan Doa Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar