Beberapa waktu lalu, sejumlah skandal yang melibatkan biksu-biksu di Thailand diberitakan media internasional. Di sebuah acara, saya pikir itulah saat yang tepat untuk membuat pengakuan. Di hadapan sekitar tiga ratus hadirin, saya mengumpulkan keberanian untuk menceritakan sebuah kebenaran.
"Beberapa tahun yang lalu...," saya berusaha meneruskan, "Saya menikmati saat-saat terindah dalam hidup saya..." Saya berhenti sejenak, "Saya menikmati saat-saat terindah di pelukan istri seorang pria lain. Kami berpelukan, bersentuhan. Kami berciuman." Lalu saya menunduk, menatap karpet.
Saya bisa mendengar seruan-seruan keterkejutan. Tangan-tangan menutupi mulut yang ternganga. Saya melihat banyak pendukung lama berjalan menuju pintu. Saya lalu menatap hadirin dengan percaya diri dan tersenyum. "Perempuan itu...," jelas saya, sebelum ada yang keluar ruangan, "adalah ibu saya." Hadirin meledak dalam tawa dan merasa lega.
"Memang benar kan?" teriak saya. "Ibu saya adalah istri pria lain, yaitu ayah saya. Kami berpelukan, bersentuhan, dan berciuman. Itu adalah saat-saat terindah dalam hidup saya."
Ketika hadirin berhenti tergelak, saya menunjukkan bahwa hampir semuanya telah menghakimi saya. Walaupun mereka mendengar dari mulut saya sendiri, mereka bisa sampai pada kesimpulan yang keliru. "Berapa kali," saya bertanya kepada mereka, "kita meloncat pada kesimpulan, pada bukti yang begitu nyata, namun ternyata keliru?"
Menghakimi mutlak - ini benar, yang lain salah - sama sekali bukanlah kebijaksanaan.
(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya - 108 Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit Awareness Publication, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar