Suatu hari saat berjalan melintasi halaman vihara, saya menemukan sebuah palu tergeletak di sana. Palu itu jelas sudah cukup lama berada di situ, kelihatan dari karatnya. Saya sangat kecewa dengan kecerobohan rekan-rekan biksu. Segala yang kami gunakan adalah sumbangan. Maka, sungguh tak benar memperlakukan pemberian para penyokong dengan seenaknya.
Saya menghadiahi pecutan lidah kepada rekan-rekan biksu. Mereka perlu diberi pelajaran, agar menjaga barang-barang. Ketika saya selesai mengoceh, semua biksu duduk tegak, diam dengan muka kelabu. Saya menunggu sejenak, berharap si terdakwa mengakui perbuatannya. Tetapi tak seorang pun mengaku.
Saat saya berjalan keluar aula, tiba-tiba saya tersentak sadar mengapa tak seorang pun dapat dimintai pertanggungjawaban. Saya segera kembali ke aula. "Para biksu," saya mengumumkan, "Saya telah menemukan siapa yang meninggalkan palu di halaman. Orang itu adalah... saya!"
Saya benar-benar lupa, saya pernah bekerja memakai palu itu, tetapi karena tergesa-gesa, saya meninggalkan palu di halaman. Bahkan selama berkata-kata pedas tadi, ingatan saya masih kabur. Baru setelah selesai bicara, semua kembali kepada saya. Saya telah bertindak ceroboh. Ooooh, betapa memalukan!
Untunglah, di vihara kami ada kebijakan bahwa para biksu dimaklumi jika melakukan kesalahan. Kita semua melakukan kesalahan dari waktu ke waktu. Hidup adalah pembelajaran untuk terus mengurangi kesalahan.
(Dari: Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya - 108 Cerita Pembuka Pintu Hati, karya Ajahn Brahm. Penerbit Awarness Publication, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar