Tanpa
kehidupan dan tanpa air, bulan merupakan pantulan pucat dari daya tarik utama
tata surya yang bersinar terang. Tetapi sejauh yang kita tahu, sang rembulan
belum pernah merasa keberatan atas peran pembantunya di alam semesta ini, atau
melakukan walk out terhadap statusnya
yang tidak mandiri.
Benda mengapung penuh bebatuan dan mineral yang oleh Fransiskus Assisi disebut Saudari Bulan ini terlihat cukup puas menerangi langit yang gelap dengan memantulkan cahaya tersembunyi sang surya. Kita mengagumi kehadirannya yang terang berbinar, melontarkan cahayanya pada berjuta kisah kasih, memberi inspirasi baik bagi film-film fiksi ilmiah maupun eksplorasi nyata, serta menjadi pengingat yang dekat dan terus-menerus akan kemisteriusan dan luasnya angkasa.
Anda dan saya dapat menarik hikmah berharga dari Saudari Bulan. Seperti halnya dia, kita bukanlah pusat perhatian dari jagat raya – meskipun kita terkadang bersikap seperti itu. Di tengah besar dan agungnya alam semesta ini, kita hanyalah makhluk kecil dan tidak mandiri yang kemegahan utamanya adalah pantulan dan cemerlangnya cahaya Allah.
Setidaknya begitulah yang seharusnya terjadi. Akan tetapi, terlalu sering kebanggaan kita menjadi penghalang, mengakibatkan kepedihan dan duka yang tak perlu pada diri sendiri maupun sesama, serta menghalangi kita menjadi seperti yang Allah kehendaki.
Selama ribuan tahun sejarah manusia, rasa bangga tetap sama dari dulu sampai sekarang. Kita berpikir, kita akan lebih bahagia bila menentukan jalan kita sendiri, mendirikan penghalang antara kita dengan Allah, serta membangun tembok-tembok persaingan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan antara kita dan saudara-saudara kita.
Jelajahilah bagian buku-buku bisnis di toko buku. Anda akan melihat buku-buku yang memuji nilai-nilai keagresifan, kompetisi, pemusatan perhatian pada diri sendiri, serta rasa percaya diri. Rasa bangga menggelembungkan ego dan keinginan kita, membuat kita menuntut untuk mendapatkan apa yang kita inginkan di dunia ini.
Fransiskus Assisi paham betul akan kekuatan dan bahaya dari rasa bangga pada diri manusia. Ia mengecamnya sebagai musuh rohani nomor satu. Satu-satunya cara untuk melucuti ancaman kebanggaan ini adalah dengan tanpa henti mempraktikkan kerendahan hati. Dan tak ada yang dapat menjaga seseorang tetap rendah hati, kecuali melalui penyadaran diri.
(Dari: Buku Ajaran-Ajaran St. Fransiskus – Bagaimana Membawa Kesederhanaan dan Kerohanian ke dalam Hidup Anda Sehari-hari, karya John Michael Talbot dan Steve Rabey. Penerbit Bina Media Perintis, Medan 2007)
Benda mengapung penuh bebatuan dan mineral yang oleh Fransiskus Assisi disebut Saudari Bulan ini terlihat cukup puas menerangi langit yang gelap dengan memantulkan cahaya tersembunyi sang surya. Kita mengagumi kehadirannya yang terang berbinar, melontarkan cahayanya pada berjuta kisah kasih, memberi inspirasi baik bagi film-film fiksi ilmiah maupun eksplorasi nyata, serta menjadi pengingat yang dekat dan terus-menerus akan kemisteriusan dan luasnya angkasa.
Anda dan saya dapat menarik hikmah berharga dari Saudari Bulan. Seperti halnya dia, kita bukanlah pusat perhatian dari jagat raya – meskipun kita terkadang bersikap seperti itu. Di tengah besar dan agungnya alam semesta ini, kita hanyalah makhluk kecil dan tidak mandiri yang kemegahan utamanya adalah pantulan dan cemerlangnya cahaya Allah.
Setidaknya begitulah yang seharusnya terjadi. Akan tetapi, terlalu sering kebanggaan kita menjadi penghalang, mengakibatkan kepedihan dan duka yang tak perlu pada diri sendiri maupun sesama, serta menghalangi kita menjadi seperti yang Allah kehendaki.
Selama ribuan tahun sejarah manusia, rasa bangga tetap sama dari dulu sampai sekarang. Kita berpikir, kita akan lebih bahagia bila menentukan jalan kita sendiri, mendirikan penghalang antara kita dengan Allah, serta membangun tembok-tembok persaingan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan antara kita dan saudara-saudara kita.
Jelajahilah bagian buku-buku bisnis di toko buku. Anda akan melihat buku-buku yang memuji nilai-nilai keagresifan, kompetisi, pemusatan perhatian pada diri sendiri, serta rasa percaya diri. Rasa bangga menggelembungkan ego dan keinginan kita, membuat kita menuntut untuk mendapatkan apa yang kita inginkan di dunia ini.
Fransiskus Assisi paham betul akan kekuatan dan bahaya dari rasa bangga pada diri manusia. Ia mengecamnya sebagai musuh rohani nomor satu. Satu-satunya cara untuk melucuti ancaman kebanggaan ini adalah dengan tanpa henti mempraktikkan kerendahan hati. Dan tak ada yang dapat menjaga seseorang tetap rendah hati, kecuali melalui penyadaran diri.
(Dari: Buku Ajaran-Ajaran St. Fransiskus – Bagaimana Membawa Kesederhanaan dan Kerohanian ke dalam Hidup Anda Sehari-hari, karya John Michael Talbot dan Steve Rabey. Penerbit Bina Media Perintis, Medan 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar