Puasa merupakan fenomena sosial yang sangat penting. Puasa bukan hanya ada dalam ajaran Islam, tetapi juga ajaran agama lain dengan cara berbeda-beda. Dalam ajaran Islam, puasa menjadi hal khusus karena dilakukan sebulan penuh, yaitu sepanjang bulan Ramadhan.
Pertanyaan paling penting dalam ibadah puasa ialah, "Apakah yang dapat kita capai dengan berpuasa?" "Mengapa kita harus repot-repot berpuasa?" "Buat apa berlapar-lapar puasa?"
Jawaban normatif dari pertanyaan ini ialah supaya kita menjadi manusia yang bertakwa. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal berbeda. Banyak orang yang berpuasa, tetapi korupsi jalan terus. Kita juga kerap menyaksikan orang-orang kembali ke perilaku yang buruk setelah Ramadhan berakhir.
Apa yang sebenarnya terjadi? Betulkah puasa bisa membuat kita jadi lebih baik dan mampu meningkatkan kualitas hidup? Mengapa bangsa kita yang sangat religius, justru termasuk bangsa yang nomor 1 dalam hal korupsi, nomor 2 dalam hal pornografi, dan nomor 3 dalam masalah narkoba?
Saya menengarai ada tiga hal yang membuat ritual kita seolah-olah tak memiliki dampak signifikan terhadap perilaku kita. Pertama, banyak di antara kita yang tidak memahami mengapa kita harus berpuasa. Pertanyaan mengapa (why) dalam konteks ini jauh lebih penting ketimbang pertanyaan bagaimana (how).
Sayangnya, kita justru sering lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan "bagaimana." Pertanyaan yang selalu dibahas adalah mengenai cara berpuasa, menyikat gigi selama berpuasa, mencicipi makanan selama berpuasa, hukum bersuntik kala berpuasa, hubungan suami-istri selama bulan puasa, dan sebagainya. Selama pertanyaan "why" ini belum terjawab, selama itu pula puasa tak akan menghasilkan manusia bertakwa seperti yang kita harapkan.
Kedua, banyak orang salah memahami arti puasa. Mereka menahan diri pada siang hari, tetapi berbuka secara berlebihan. Banyak yang menahan diri sebulan penuh, tetapi begitu Lebaran tiba mereka langsung "balas dendam" dengan makan sebanyak-banyaknya. Banyak orang menjadi "alim" selama bulan puasa, tetapi kembali ke perilaku semula untuk sebelas bulan berikutnya. Ini salah kaprah yang fatal.
Bila dianalogikan, puasa itu ibarat latihan, sementara sebelas bulan ke depan adalah pementasannya. Bayangkan kalau Anda mau melakukan pementasan acara di panggung. Yang menjadi ukuran keberhasilan bukanlah latihan yang keras, melainkan kinerja Anda di atas panggung. Begitu pula dengan berpuasa. Ukuran keberhasilan puasa seseorang justru ditentukan dari apa yang ia lakukan dalam sebelas bulan mendatang.
Ketiga, banyak orang hanya berpuasa secara fisik. Puasa yang perlu kita lakukan ialah puasa tingkat kedua, yaitu puasa perilaku. Di tingkat ini, puasa bukan hanya menahan diri secara fisik dari makan dan minuman, melainkan menahan semua perilaku yang tidak baik.
Setelah puasa tingkat kedua, kita perlu lanjutkan ke puasa tingkat ketiga, yaitu puasa pikiran. Puasa pikiran adalah menahan diri dari segala "makanan" negatif yang sering begitu saja masuk ke dalam pikiran. Terakhir, kita menuju puasa tingkat keempat, yang intinya adalah merasakan kehadiran Tuhan.
(Dari: Buku Cherish Every Moment - Menikmati Hidup yang Indah Setiap Saat, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar