Ketika penderitaan datang, sering kali orang menyalahkan
situasi, orang lain, atau diri sendiri. Apa salahnya kalau Anda menderita? Penderitaan adalah sifat
hakiki dari eksistensi kita sebagai manusia. Tetapi kita sering menolak
penderitaan. Kita sering bertanya, “Mengapa aku menderita?” “Aku merasa
penderitaanku paling berat.” “Mengapa orang lain tidak menderita seberat aku?”
Kita berpikir, “Kalau aku tidak berbuat ini atau itu,
mungkin aku tidak menderita.” Kita sering berpikir, “Kalau aku melakukan ini
atau itu atau memiliki ini atau itu, barangkali aku akan bahagia.” Penderitaan
dan kebahagiaan itu seperti ayunan bandul yang terus bergerak, datang silih
berganti. Seolah-olah dualitas ini
merupakan kenyataan hidup.
Saat kita berada dalam kesadaran meditatif, kita melihat
bahwa dualitas itu sesungguhnya semu belaka. Penderitaan dan kebahagiaan
ditentukan oleh faktor keinginan. Orang sering kali mengalami penderitaan, kalau
tidak mendapatkan apa yang diinginkan; dan mengalami kebahagiaan, kalau
keinginan tercapai.
Mari kita lihat bersama akar penderitaan yang adalah keinginan
atau kelekatan. Kelekatan menyebabkan penderitaan. Mengapa demikian? Ketika
batin mencari pemuasan dari segala sesuatu yang pada hakikatnya tidak
memuaskan, maka di situ terjadi konflik, pergulatan, dan penderitaan. Penderitaan
pertama-tama bukanlah segala sesuatu yang pada hakikatnya tidak memuaskan, melainkan
keinginan atau kelekatan akan pemuasan terhadap segala sesuatu yang tidak
memuaskan.
Kalau Anda lapar dan merasa puas setelah makan makanan
enak, kepuasan seperti ini merupakan hal wajar. Tetapi, ketika batin Anda
setiap kali berpikir tentang makanan yang enak dan Anda tidak mau makan selain makanan
yang enak, maka kelekatan telah membuat Anda menderita.
Bagaimana kita mengenal batin kita sendiri, ketika kelekatan
menyusup dalam relasi-relasi kita dengan orang, barang, gagasan, dan hal-hal
lain? Sering kali kita tidak sadar akan gerak kelekatan itu, sebelum terjadi
sesuatu dalam relasi tersebut.
Ketika muncul rasa luka, benci, takut, lelah, barulah
kita merasa betapa sakitnya hidup dalam kelekatan. Umumnya kita sadar akan
kelekatan-kelekatan itu, karena implikasi yang ditimbulkan pada momen akhir geraknya.
Tantangannya adalah bisakah kita menyadari bukan pada akhir, tetapi menyadari
keseluruhan gerak kelekatan itu dari awal hingga akhir – mulai dari saat muncul
sampai konsekuensi yang ditimbulkan?
Lihatlah kesepian-kesepian batin dan gerak pelarian dengan
mencari pemuasan. Lihatlah gerak pikiran yang suka mengingat-ingat
kenikmatan-kenikmatan yang sudah lewat. Lihatlah keinginan untuk menikmati kembali
kesenangan yang pernah didapat. Lihatlah munculnya hasrat akan pemuasan.
Lihatlah ketakutan, konflik, pergulatan, dan rasa sakit yang mengiringi gerak pelarian dari realitas kesepian Anda.
Pencarian pemuasan menciptakan lebih banyak ketakutan dan
penderitaan. Kalau Anda betul-betul sadar akan sakitnya suatu kelekatan,
bukankah momen kesadaran itu sendiri mengakhiri kelekatan seketika?
Hidup adalah penderitaan. Penderitaan perlu diselami atau
dipahami ketika ia muncul. Pemahaman terhadap
penderitaan hanya mungkin, kalau pikiran tidak menggangu pengamatan.
Penderitaan bisa diakhiri dengan mencabut akar penderitaan yang adalah
kelekatan. Kelekatan bisa berakhir dengan memahami seluruh gerak kelekatan itu.
(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar