Setelah mengikuti pelatihan kepemimpinan tentang "Apa yang Paling Penting," seorang eksekutif mengirim surat ke kantor Franklin Covey di Amerika Serikat. Isinya cukup menggugah, saya menuliskan kutipannya untuk Anda.
"Saya mengikuti pelatihan Anda setahun lalu. Sebelumnya saya tidak sadar bahwa apa yang saya lakukan setiap hari haruslah didasarkan pada nilai-nilai saya. Selesai pelatihan, saya mulai menyelami nilai-nilai saya, mencari apa yang terpenting bagi saya. Dalam proses kontemplasi itu, saya menemukan bahwa satu hal terpenting adalah anak lelaki saya yang berusia 8 tahun. Saya sadar, saya belum melakukan apa-apa untuknya. Karena itu, sejak tahun lalu saya putuskan mencurahkan perhatian untuknya."
Eksekutif tersebut kemudian menceritakan beberapa kejadian menyenangkan yang ia alami bersama anaknya. Di halaman ketiga suratnya, ia mengatakan, "Minggu lalu, anak saya itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Saya sangat sedih karena kehilangan anak tercinta. Tetapi saya sama sekali tidak merasa bersalah. Untuk pertama kali, saya merasakan ketenangan batin yang dalam. Terima kasih, Anda telah mengubah hidup saya."
Langkah terpenting dalam hidup adalah menemukan apa yang paling penting. Banyak orang terlalu sibuk, sampai lupa merenungkan apa yang sebenarnya mereka cari. Mereka melakukan sesuatu yang tidak jelas tujuannya. Mereka melakukan begitu banyak hal yang tak penting dan mengorbankan hal-hal yang penting.
Hidup memang penuh kesenangan yang menipu. Karena itu, sebelum berhasil menemukan yang terpenting, Anda akan menganggap semua hal penting. Akibatnya, tak pernah cukup waktu untuk melakukan semuanya.
Orang yang melakukan hal terpenting dalam hidupnya senantiasa merumuskan tujuan dari apa pun yang dilakukannya. Lebih dari itu, Anda perlu menuliskan tujuan tersebut dengan jelas. Ini penting, karena banyak hal dapat mengganggu dan membelokkan Anda dari tujuan semula.
Contohnya, seorang kawan beserta keluarganya berlibur ke Yogya. Dulu ia pernah kuliah di sana. Sampai di Yogya, ia menghubungi teman-teman lamanya, sehingga ia sibuk dengan acara "reunian," sementara istri dan anak-anaknya dibiarkan tinggal di hotel. Alhasil, liburan keluarga justru menciptakan kesenjangan komunikasi dalam keluarga.
Untuk bisa sukses dalam hidup, temukanlah apa yang paling penting. Tuliskan apa yang bisa Anda lakukan, agar semua orang yang dekat dengan Anda punya kesan mendalam tentang hidup Anda. Dengan demikian Anda paham apa yang penting dan apa yang tidak penting dalam hidup ini.
(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)
Cari Blog Ini
Rabu, 29 Mei 2013
Tidak Ada yang Kurang
Berpuaslah dengan apa yang kita miliki, bergembiralah dengan apa yang ada. Ketika kita menyadari bahwa tidak ada yang kurang, seluruh dunia menjadi milik kita.
- Lao Tzu (sekitar abad ke-6 SM), filsuf China
(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
- Lao Tzu (sekitar abad ke-6 SM), filsuf China
(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Senin, 27 Mei 2013
Kelekatan dan Penderitaan
Ketika penderitaan datang, sering kali orang menyalahkan
situasi, orang lain, atau diri sendiri. Apa salahnya kalau Anda menderita? Penderitaan adalah sifat
hakiki dari eksistensi kita sebagai manusia. Tetapi kita sering menolak
penderitaan. Kita sering bertanya, “Mengapa aku menderita?” “Aku merasa
penderitaanku paling berat.” “Mengapa orang lain tidak menderita seberat aku?”
Kita berpikir, “Kalau aku tidak berbuat ini atau itu,
mungkin aku tidak menderita.” Kita sering berpikir, “Kalau aku melakukan ini
atau itu atau memiliki ini atau itu, barangkali aku akan bahagia.” Penderitaan
dan kebahagiaan itu seperti ayunan bandul yang terus bergerak, datang silih
berganti. Seolah-olah dualitas ini
merupakan kenyataan hidup.
Saat kita berada dalam kesadaran meditatif, kita melihat
bahwa dualitas itu sesungguhnya semu belaka. Penderitaan dan kebahagiaan
ditentukan oleh faktor keinginan. Orang sering kali mengalami penderitaan, kalau
tidak mendapatkan apa yang diinginkan; dan mengalami kebahagiaan, kalau
keinginan tercapai.
Mari kita lihat bersama akar penderitaan yang adalah keinginan
atau kelekatan. Kelekatan menyebabkan penderitaan. Mengapa demikian? Ketika
batin mencari pemuasan dari segala sesuatu yang pada hakikatnya tidak
memuaskan, maka di situ terjadi konflik, pergulatan, dan penderitaan. Penderitaan
pertama-tama bukanlah segala sesuatu yang pada hakikatnya tidak memuaskan, melainkan
keinginan atau kelekatan akan pemuasan terhadap segala sesuatu yang tidak
memuaskan.
Kalau Anda lapar dan merasa puas setelah makan makanan
enak, kepuasan seperti ini merupakan hal wajar. Tetapi, ketika batin Anda
setiap kali berpikir tentang makanan yang enak dan Anda tidak mau makan selain makanan
yang enak, maka kelekatan telah membuat Anda menderita.
Bagaimana kita mengenal batin kita sendiri, ketika kelekatan
menyusup dalam relasi-relasi kita dengan orang, barang, gagasan, dan hal-hal
lain? Sering kali kita tidak sadar akan gerak kelekatan itu, sebelum terjadi
sesuatu dalam relasi tersebut.
Ketika muncul rasa luka, benci, takut, lelah, barulah
kita merasa betapa sakitnya hidup dalam kelekatan. Umumnya kita sadar akan
kelekatan-kelekatan itu, karena implikasi yang ditimbulkan pada momen akhir geraknya.
Tantangannya adalah bisakah kita menyadari bukan pada akhir, tetapi menyadari
keseluruhan gerak kelekatan itu dari awal hingga akhir – mulai dari saat muncul
sampai konsekuensi yang ditimbulkan?
Lihatlah kesepian-kesepian batin dan gerak pelarian dengan
mencari pemuasan. Lihatlah gerak pikiran yang suka mengingat-ingat
kenikmatan-kenikmatan yang sudah lewat. Lihatlah keinginan untuk menikmati kembali
kesenangan yang pernah didapat. Lihatlah munculnya hasrat akan pemuasan.
Lihatlah ketakutan, konflik, pergulatan, dan rasa sakit yang mengiringi gerak pelarian dari realitas kesepian Anda.
Pencarian pemuasan menciptakan lebih banyak ketakutan dan
penderitaan. Kalau Anda betul-betul sadar akan sakitnya suatu kelekatan,
bukankah momen kesadaran itu sendiri mengakhiri kelekatan seketika?
Hidup adalah penderitaan. Penderitaan perlu diselami atau
dipahami ketika ia muncul. Pemahaman terhadap
penderitaan hanya mungkin, kalau pikiran tidak menggangu pengamatan.
Penderitaan bisa diakhiri dengan mencabut akar penderitaan yang adalah
kelekatan. Kelekatan bisa berakhir dengan memahami seluruh gerak kelekatan itu.
(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)
Sabtu, 25 Mei 2013
Dapat dan Hilang
Segala sesuatu yang pernah kita dapat, pada suatu waktu harus rela kita lepaskan. Harta dan jabatan yang pernah kita dapatkan bisa terlepas di luar kemauan kita.
Kita sering mengalami "dapat" dan "hilang." Dalam falsafah Tao, "dapat" dan "hilang" dianggap sama saja. Orang yang bersusah payah berhasil menjadi juara I, pada suatu saat harus rela melepaskan gelar juaranya itu kepada orang lain.
Kalau orang tidak pernah merasa "dapat," maka dia tidak pernah merasa ada yang "hilang." Orang yang pernah "dapat" banyak, bisa mengalami "hilang" yang banyak juga.
Orang yang suka memberi, akan sering mendapat. Sedikit memberi, sedikit mendapat. Tidak memberi, tidak mendapat.
"Keberuntungan pada diri seseorang datang tiba-tiba, tidak mungkin dibendung. "Dapat" dan "hilang" tidak bisa ditentukan oleh kemauan subjektif diri sendiri. Kalau "dapat" dan "hilang" bukan dari diri sendiri yang menentukan, lebih baik terima apa adanya. Untuk apa harus aku khawatirkan?" (Zhuang Zi, ahli filsafat, 369-286 SM)
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Kita sering mengalami "dapat" dan "hilang." Dalam falsafah Tao, "dapat" dan "hilang" dianggap sama saja. Orang yang bersusah payah berhasil menjadi juara I, pada suatu saat harus rela melepaskan gelar juaranya itu kepada orang lain.
Kalau orang tidak pernah merasa "dapat," maka dia tidak pernah merasa ada yang "hilang." Orang yang pernah "dapat" banyak, bisa mengalami "hilang" yang banyak juga.
Orang yang suka memberi, akan sering mendapat. Sedikit memberi, sedikit mendapat. Tidak memberi, tidak mendapat.
"Keberuntungan pada diri seseorang datang tiba-tiba, tidak mungkin dibendung. "Dapat" dan "hilang" tidak bisa ditentukan oleh kemauan subjektif diri sendiri. Kalau "dapat" dan "hilang" bukan dari diri sendiri yang menentukan, lebih baik terima apa adanya. Untuk apa harus aku khawatirkan?" (Zhuang Zi, ahli filsafat, 369-286 SM)
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Jumat, 24 Mei 2013
Medan Peperangan Terbesar
John C. Maxwell (66 tahun), penulis, pembicara profesional, penginjil asal Amerika Serikat, mengatakan, sesungguhnya medan peperangan terbesar berada di pikiran kita, karena pikiran sangat kuat dan dapat memengaruhi kehidupan seseorang.
Pikiran kita laksana tanah. Tanah tak pernah peduli akan jenis benih yang hendak ditanam. Jika yang ditabur di atas tanah adalah benih jagung, maka tanah akan merespons dan menumbuhkannya.
Demikian pula pikiran kita. Apa pun yang kita tanamkan dalam pikiran, entah itu hal-hal positif atau negatif, akan direspons dan ditumbuhkan oleh pikiran kita.
Sadar atau tidak, kita sering kali menanamkan pikiran yang negatif seperti:
- Hidupku penuh masalah
- Aku tidak akan berhasil
- Sakitku tak akan sembuh
- Keluargaku hancur berantakan
- Aku bodoh
- Aku miskin
- Masa depanku suram
Hal-hal negatif yang kita pikirkan itu akan direspons oleh pikiran kita dalam bentuk sikap dan tindakan, sehingga dapat menghasilkan sesuatu sama seperti yang kita tanamkan dalam pikiran kita.
Karena itu, tanamkanlah hal-hal positif dalam benak kita, maka kita akan menjadi luar biasa! Katakanlah: Aku sehat, aku sembuh, aku diberkati, rumah tanggaku bahagia, masa depanku cerah.
Berpikirlah positif!
(Kiriman seorang sahabat)
Pikiran kita laksana tanah. Tanah tak pernah peduli akan jenis benih yang hendak ditanam. Jika yang ditabur di atas tanah adalah benih jagung, maka tanah akan merespons dan menumbuhkannya.
Demikian pula pikiran kita. Apa pun yang kita tanamkan dalam pikiran, entah itu hal-hal positif atau negatif, akan direspons dan ditumbuhkan oleh pikiran kita.
Sadar atau tidak, kita sering kali menanamkan pikiran yang negatif seperti:
- Hidupku penuh masalah
- Aku tidak akan berhasil
- Sakitku tak akan sembuh
- Keluargaku hancur berantakan
- Aku bodoh
- Aku miskin
- Masa depanku suram
Hal-hal negatif yang kita pikirkan itu akan direspons oleh pikiran kita dalam bentuk sikap dan tindakan, sehingga dapat menghasilkan sesuatu sama seperti yang kita tanamkan dalam pikiran kita.
Karena itu, tanamkanlah hal-hal positif dalam benak kita, maka kita akan menjadi luar biasa! Katakanlah: Aku sehat, aku sembuh, aku diberkati, rumah tanggaku bahagia, masa depanku cerah.
Berpikirlah positif!
(Kiriman seorang sahabat)
Rabu, 22 Mei 2013
Sikap
Sikap adalah hal kecil yang menciptakan perubahan besar.
- Winston Churchill (1874-1965),
mantan Perdana Menteri Inggris
(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
- Winston Churchill (1874-1965),
mantan Perdana Menteri Inggris
(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Pohon Pinus
Semua orang suka melihat pohon pinus yang sepanjang masa selalu memiliki daun hijau (evergreen). Meski cuaca amat dingin, minus 40 derajat Celsius, pohon pinus tetap segar, berwarna hijau, dan tak berubah.
Pohon pinus banyak mengeluarkan ion negatif oksigen tunggal yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Karena itu, kita dianjurkan menarik napas sedalam-dalamnya di sekitar pohon pinus.
Pohon pinus dijadikan simbol bagi orang yang berpendirian teguh. Meskipun mendapat cobaan amat berat, pendiriannya tak tergoyahkan.
Walaupun banyak orang tidak bisa bertahan dalam dunia yang kompleks dan penuh tantangan ini, masih ada orang-orang yang memiliki karakter seperti pohon pinus: dalam keadaan sesulit apa pun, jati dirinya tak pernah luntur; pendiriannya tak tergoyahkan; dan terus berjuang tanpa menyerah.
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Pohon pinus banyak mengeluarkan ion negatif oksigen tunggal yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Karena itu, kita dianjurkan menarik napas sedalam-dalamnya di sekitar pohon pinus.
Pohon pinus dijadikan simbol bagi orang yang berpendirian teguh. Meskipun mendapat cobaan amat berat, pendiriannya tak tergoyahkan.
Walaupun banyak orang tidak bisa bertahan dalam dunia yang kompleks dan penuh tantangan ini, masih ada orang-orang yang memiliki karakter seperti pohon pinus: dalam keadaan sesulit apa pun, jati dirinya tak pernah luntur; pendiriannya tak tergoyahkan; dan terus berjuang tanpa menyerah.
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Minggu, 19 Mei 2013
Sukacita
Setiap kita mengalami kesedihan dan penderitaan dalam hidup. Tidak ada yang bisa lolos dari hal itu, meskipun para "suhu" pertolongan-diri mengajarkan kepada kita bahwa kita dapat mengatasi apa pun dengan sikap mental yang benar.
Apabila Anda ingin mengalami sukacita yang mendalam, janganlah mencari kesenangan dari hiburan yang hanya sebatas kulit atau perlindungan semu atas segala tragedi. Melainkan, carilah perspektif Ilahi yang memberi kita kejelian untuk membedakan antara yang cepat berlalu dengan yang abadi, antara yang dangkal dengan yang mendalam.
Bayangkanlah sekuntum bunga. Bila ia menerima cukup cahaya matahari, ia tumbuh dan berkembang. Tetapi bila cahaya diputus, ia akan layu dan mati. Sama halnya dengan kita. Sukacita merupakan bahan penting untuk bertahan hidup dan berjuang dalam dunia yang dipenuhi kegelapan dan berita buruk ini.
Kita kerap bergelut dengan kekecewaan, suatu wabah yang dapat menumbuhkan karat menetap di hati kita. Upaya untuk mengendalikan hidup dan mewujudkan kebahagiaan bisa mengarah pada rasa frustasi, kesedihan, dan kemarahan. St. Fransiskus Assisi (1181-1226) mengajarkan, sukacita datang dari penyerahan diri ke dalam tangan Allah.
Meskipun sukacita tidak bisa dibuat atau diciptakan, beberapa hal berikut yang telah teruji-waktu, dapat Anda lakukan untuk meningkatkan kemungkinan Anda menjumpai sukacita dalam hidup:
- Jangan khawatirkan hari esok
Hal ini tidak berarti orang tidak boleh memiliki rencana atau harapan untuk hari esok. Tetapi, banyak dari kita terlalu terbeban oleh hari esok. Rangkullah masa kini. Berlatihlah hidup di sini dan saat ini - ketika Anda mencuci piring, memotong rumput, berendam di bak mandi, atau saat membuang sampah.
- Bersyukurlah
Apa yang terlintas dalam benak Anda saat bangun di pagi hari dan akan tidur malam hari? Apakah umpatan karena Anda kedinginan, betapa lelahnya Anda, betapa was-was Anda akan tugas-tugas hari itu? Cobalah mengawali dan menutup setiap hari dengan doa syukur kepada Tuhan atas berkat (dan cobaan) yang dialami hari itu. Bila Anda membuka dan menutup hari dengan ucapan syukur, Anda akan heran mendapati bahwa sikap bersyukur juga akan merayapi seluruh hari Anda.
- Suka mengampuni
Banyak orang pergi ke sana-kemari di tengah mendung yang mereka ciptakan sendiri. Sebagian dari mendung tersebut berisi rasa sesal atas kegagalan diri atau ketidaksetiaan kepada orang lain. Kabar baiknya, Allah dapat mengampuni kita atas kegagalan ini dan memberi kita nurani yang bersih untuk awal baru.
Terlalu banyak dari kita menghabiskan hidup kita untuk mengejar hal-hal yang tidak berguna, serta menerima akibat berupa kesedihan dan penderitaan. Mengapa tidak mulai mengejar sukacita, yang akan mengarahkan kita menuju cara hidup yang lebih mendalam dan memuaskan?
(Dari: Buku Ajaran-Ajaran St. Fransiskus – Bagaimana Membawa Kesederhanaan dan Kerohanian ke dalam Hidup Anda Sehari-hari, karya John Michael Talbot dan Steve Rabey. Penerbit Bina Media Perintis, Medan 2007)
Apabila Anda ingin mengalami sukacita yang mendalam, janganlah mencari kesenangan dari hiburan yang hanya sebatas kulit atau perlindungan semu atas segala tragedi. Melainkan, carilah perspektif Ilahi yang memberi kita kejelian untuk membedakan antara yang cepat berlalu dengan yang abadi, antara yang dangkal dengan yang mendalam.
Bayangkanlah sekuntum bunga. Bila ia menerima cukup cahaya matahari, ia tumbuh dan berkembang. Tetapi bila cahaya diputus, ia akan layu dan mati. Sama halnya dengan kita. Sukacita merupakan bahan penting untuk bertahan hidup dan berjuang dalam dunia yang dipenuhi kegelapan dan berita buruk ini.
Kita kerap bergelut dengan kekecewaan, suatu wabah yang dapat menumbuhkan karat menetap di hati kita. Upaya untuk mengendalikan hidup dan mewujudkan kebahagiaan bisa mengarah pada rasa frustasi, kesedihan, dan kemarahan. St. Fransiskus Assisi (1181-1226) mengajarkan, sukacita datang dari penyerahan diri ke dalam tangan Allah.
Meskipun sukacita tidak bisa dibuat atau diciptakan, beberapa hal berikut yang telah teruji-waktu, dapat Anda lakukan untuk meningkatkan kemungkinan Anda menjumpai sukacita dalam hidup:
- Jangan khawatirkan hari esok
Hal ini tidak berarti orang tidak boleh memiliki rencana atau harapan untuk hari esok. Tetapi, banyak dari kita terlalu terbeban oleh hari esok. Rangkullah masa kini. Berlatihlah hidup di sini dan saat ini - ketika Anda mencuci piring, memotong rumput, berendam di bak mandi, atau saat membuang sampah.
- Bersyukurlah
Apa yang terlintas dalam benak Anda saat bangun di pagi hari dan akan tidur malam hari? Apakah umpatan karena Anda kedinginan, betapa lelahnya Anda, betapa was-was Anda akan tugas-tugas hari itu? Cobalah mengawali dan menutup setiap hari dengan doa syukur kepada Tuhan atas berkat (dan cobaan) yang dialami hari itu. Bila Anda membuka dan menutup hari dengan ucapan syukur, Anda akan heran mendapati bahwa sikap bersyukur juga akan merayapi seluruh hari Anda.
- Suka mengampuni
Banyak orang pergi ke sana-kemari di tengah mendung yang mereka ciptakan sendiri. Sebagian dari mendung tersebut berisi rasa sesal atas kegagalan diri atau ketidaksetiaan kepada orang lain. Kabar baiknya, Allah dapat mengampuni kita atas kegagalan ini dan memberi kita nurani yang bersih untuk awal baru.
Terlalu banyak dari kita menghabiskan hidup kita untuk mengejar hal-hal yang tidak berguna, serta menerima akibat berupa kesedihan dan penderitaan. Mengapa tidak mulai mengejar sukacita, yang akan mengarahkan kita menuju cara hidup yang lebih mendalam dan memuaskan?
(Dari: Buku Ajaran-Ajaran St. Fransiskus – Bagaimana Membawa Kesederhanaan dan Kerohanian ke dalam Hidup Anda Sehari-hari, karya John Michael Talbot dan Steve Rabey. Penerbit Bina Media Perintis, Medan 2007)
Sabtu, 18 Mei 2013
Tanpa Nafsu Keinginan
Asal mula penderitaan adalah banyaknya keinginan. Orang yang tamak tidak bisa tenang hidupnya dan akan gelisah terus. Lao Zi (+ abad ke-5 SM) berkata, "Bebas dari nafsu keinginan, baru bisa hidup tenang. Dunia ini akan menjadi tenang dengan sendirinya."
Pada abad ke-21 ini, manusia menjadi amat konsumtif. Tanpa disadari, manusia sedang digiring masuk ke jurang kenikmatan duniawi yang tanpa batas dan memiliki terlalu banyak keinginan. Akhirnya, karena tidak semua yang diinginkan bisa tercapai, hidup menjadi penuh dengan kegelisahan, ketegangan, dan ketidakpastian.
Orang yang selalu merasa tidak puas dalam hidup, pada akhirnya tidak mendapatkan apa-apa! (Zhuang Zi, ahli filsafat, 369-286 SM)
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Pada abad ke-21 ini, manusia menjadi amat konsumtif. Tanpa disadari, manusia sedang digiring masuk ke jurang kenikmatan duniawi yang tanpa batas dan memiliki terlalu banyak keinginan. Akhirnya, karena tidak semua yang diinginkan bisa tercapai, hidup menjadi penuh dengan kegelisahan, ketegangan, dan ketidakpastian.
Orang yang selalu merasa tidak puas dalam hidup, pada akhirnya tidak mendapatkan apa-apa! (Zhuang Zi, ahli filsafat, 369-286 SM)
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Rabu, 15 Mei 2013
Berkat dari Apache
Semoga matahari memberi Anda energi yang baru setiap hari.
Semoga bulan dengan lembut memulihkan kebugaran Anda pada waktu malam.
Semoga hujan membersihkan kecemasan dan kekhawatiran Anda.
Semoga hembusan angin sepoi meniupkan kekuatan baru ke dalam pribadi Anda.
Semoga Anda dengan sentosa berjalan melanglang dunia dan mengagumi keindahannya sepanjang hari-hari hidup Anda. (Berkat dari Suku Indian Apache)
(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Semoga bulan dengan lembut memulihkan kebugaran Anda pada waktu malam.
Semoga hujan membersihkan kecemasan dan kekhawatiran Anda.
Semoga hembusan angin sepoi meniupkan kekuatan baru ke dalam pribadi Anda.
Semoga Anda dengan sentosa berjalan melanglang dunia dan mengagumi keindahannya sepanjang hari-hari hidup Anda. (Berkat dari Suku Indian Apache)
(Dari: Buku Sang Pencari, Pencarian, dan Yang Kudus - Mutiara-Mutiara Pencerah untuk Menemukan Kebesaran Jiwa, karya Guy Finley. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Berbagi dalam Segalanya
Pasangan tua ini masuk ke restoran McDonald's pada suatu sore di musim dingin. Mereka mencari tempat di antara beberapa keluarga dan pasangan muda yang tengah makan di sana. Sang wanita menggandeng suaminya dan suaminya memandangnya dengan penuh kasih. Semua orang tahu, mereka tentu telah lama sekali menjadi pasangan.
Sang pria tua itu lalu berjalan menuju ke counter, memesan dan membayar. Pasangan ini duduk di meja bagian belakang dan mulai mengambil makanan dari nampan: satu burger, satu french fries, dan segelas minuman.
Para pengunjung lain mulai memerhatikan, saat sang pria membuka bungkus burger, dengan hati-hati membaginya menjadi dua, dan meletakkan separuh roti itu di depan istrinya.
Kemudian, dengan saksama ia menghitung potongan kentang goreng, membaginya sama rata, dan meletakkan separuhnya di hadapan istrinya. Ia lalu minum sedikit dari gelas, istrinya juga minum sedikit. Gelas itu diletakkan di antara mereka.
Sementara pria tua itu mulai memakan burger-nya, orang-orang di sekitar mereka gelisah. Mereka pikir, "Malang sekali pasangan tua ini. Hanya sanggup memesan satu porsi untuk berdua."
Seorang pemuda berdiri dan menghampiri meja pasangan tua ini. Dengan sopan ia menawarkan untuk membelikan satu porsi makanan lagi. Sang pria mengatakan tidak perlu, karena mereka sudah terbiasa berbagi dalam segalanya.
Tetapi, wanita itu tidak makan sedikit pun. Ia hanya duduk sambil mengamati suaminya makan dan sesekali mereka bergantian minum. Kembali pemuda itu mendekat dan memohon akan membelikan makanan tambahan. Kali ini sang wanita yang menjawab dengan kalimat yang sama: tidak usah, sebab mereka sudah terbiasa berbagi dalam segalanya.
Pria tua itu akhirnya selesai memakan bagiannya. Pemuda tadi yang terus memerhatikan pasangan manula ini tak tahan lagi untuk bertanya, "Ibu sendiri dari tadi tidak makan. Katanya selalu berbagi. Apa yang Ibu tunggu?"
Wanita tua itu menjawab dengan tenang, "Gigi palsunya."
(Dari: Buku Kerja Sama Membuat Impian Menjadi Kenyataan, karya John C. Maxwell. Penerbit Interaksara, 2003)
Sang pria tua itu lalu berjalan menuju ke counter, memesan dan membayar. Pasangan ini duduk di meja bagian belakang dan mulai mengambil makanan dari nampan: satu burger, satu french fries, dan segelas minuman.
Para pengunjung lain mulai memerhatikan, saat sang pria membuka bungkus burger, dengan hati-hati membaginya menjadi dua, dan meletakkan separuh roti itu di depan istrinya.
Kemudian, dengan saksama ia menghitung potongan kentang goreng, membaginya sama rata, dan meletakkan separuhnya di hadapan istrinya. Ia lalu minum sedikit dari gelas, istrinya juga minum sedikit. Gelas itu diletakkan di antara mereka.
Sementara pria tua itu mulai memakan burger-nya, orang-orang di sekitar mereka gelisah. Mereka pikir, "Malang sekali pasangan tua ini. Hanya sanggup memesan satu porsi untuk berdua."
Seorang pemuda berdiri dan menghampiri meja pasangan tua ini. Dengan sopan ia menawarkan untuk membelikan satu porsi makanan lagi. Sang pria mengatakan tidak perlu, karena mereka sudah terbiasa berbagi dalam segalanya.
Tetapi, wanita itu tidak makan sedikit pun. Ia hanya duduk sambil mengamati suaminya makan dan sesekali mereka bergantian minum. Kembali pemuda itu mendekat dan memohon akan membelikan makanan tambahan. Kali ini sang wanita yang menjawab dengan kalimat yang sama: tidak usah, sebab mereka sudah terbiasa berbagi dalam segalanya.
Pria tua itu akhirnya selesai memakan bagiannya. Pemuda tadi yang terus memerhatikan pasangan manula ini tak tahan lagi untuk bertanya, "Ibu sendiri dari tadi tidak makan. Katanya selalu berbagi. Apa yang Ibu tunggu?"
Wanita tua itu menjawab dengan tenang, "Gigi palsunya."
(Dari: Buku Kerja Sama Membuat Impian Menjadi Kenyataan, karya John C. Maxwell. Penerbit Interaksara, 2003)
Minggu, 12 Mei 2013
Esensi Kehidupan
Cobalah Anda renungkan, bukankah pertengkaran, perselisihan, dan peperangan yang terjadi di dunia ini semuanya bersumber dari keinginan kita untuk meminta sesuatu dari orang lain. Kita suka meminta, tetapi sayangnya kita tak suka memberi.
Di rumah, kita minta perhatian pasangan kita, minta anak-anak memahami kita, minta pembantu melayani kita. Di tempat kerja, kita minta bantuan bawahan, minta pengertian rekan sejawat, dan minta gaji tinggi pada atasan. Di masyarakat, mereka yang mengaku sebagai pemimpin minta kesabaran masyarakat, minta masyarakat hidup sederhana dan mengencangkan ikat pinggang.
Bahasa kita sehari-hari adalah "bahasa" meminta. Mengapa kita suka meminta, tetapi sulit memberi? Padahal, hukum alam menyatakan yang sebaliknya. Justru dengan banyak memberi, kita akan banyak pula menerima.
Ada banyak sekali kesempatan bagi kita untuk memberi. Anda bisa memberi perhatian, pengertian, waktu, energi, pemikiran, pujian, dan ucapan terima kasih. Anda bisa memberi jalan bagi pengendara mobil lain di jalan raya, atau sekadar memberi senyuman. Hal-hal sederhana ini bisa berarti banyak bagi orang lain.
Orang yang enggan memberi tak pernah belajar dari kehidupan. Esensi kehidupan adalah memberi. Tuhan sebagai sumber kehidupan adalah Sang Maha Pemberi. Lihatlah, betapa Tuhan memberikan segalanya tanpa pilih kasih.
Sumber kekayaan sejati sebenarnya terletak dalam diri kita sendiri. Sayangnya banyak orang yang tak sadar. Mereka sibuk mengumpulkan permata dan berlian, lupa bahwa permata yang "asli" sebenarnya ada di dalam diri mereka. Yang menjadikan kita kaya bukanlah seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang kita berikan kepada orang lain.
Bila engkau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu. Bila engkau memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh arti. (Kahlil Gibran)
(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2012)
Di rumah, kita minta perhatian pasangan kita, minta anak-anak memahami kita, minta pembantu melayani kita. Di tempat kerja, kita minta bantuan bawahan, minta pengertian rekan sejawat, dan minta gaji tinggi pada atasan. Di masyarakat, mereka yang mengaku sebagai pemimpin minta kesabaran masyarakat, minta masyarakat hidup sederhana dan mengencangkan ikat pinggang.
Bahasa kita sehari-hari adalah "bahasa" meminta. Mengapa kita suka meminta, tetapi sulit memberi? Padahal, hukum alam menyatakan yang sebaliknya. Justru dengan banyak memberi, kita akan banyak pula menerima.
Ada banyak sekali kesempatan bagi kita untuk memberi. Anda bisa memberi perhatian, pengertian, waktu, energi, pemikiran, pujian, dan ucapan terima kasih. Anda bisa memberi jalan bagi pengendara mobil lain di jalan raya, atau sekadar memberi senyuman. Hal-hal sederhana ini bisa berarti banyak bagi orang lain.
Orang yang enggan memberi tak pernah belajar dari kehidupan. Esensi kehidupan adalah memberi. Tuhan sebagai sumber kehidupan adalah Sang Maha Pemberi. Lihatlah, betapa Tuhan memberikan segalanya tanpa pilih kasih.
Sumber kekayaan sejati sebenarnya terletak dalam diri kita sendiri. Sayangnya banyak orang yang tak sadar. Mereka sibuk mengumpulkan permata dan berlian, lupa bahwa permata yang "asli" sebenarnya ada di dalam diri mereka. Yang menjadikan kita kaya bukanlah seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang kita berikan kepada orang lain.
Bila engkau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu. Bila engkau memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh arti. (Kahlil Gibran)
(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2012)
Kamis, 09 Mei 2013
Kurangi Bicara
Untuk menunjukkan sebagai orang yang
banyak tahu, ada orang yang banyak bicara tanpa ada habisnya.
Sebaliknya, orang yang rendah hati tidak suka banyak bicara, karena
merasa tidak banyak tahu, meskipun pengetahuannya luas dan banyak.
Sang Pencipta Agung banyak memberi tanpa bicara dan pamrih, misalnya memberi sinar matahari, hujan, salju, angin, dan tanah subur, agar semua ciptaan bisa hidup dengan layak. Namun, Sang Pencipta Agung tak pernah mengeluarkan satu patah kata pun untuk menyatakan diri-Nya berjasa.
Orang bijak zaman dulu belajar dan meniru karakter alam yang banyak memberi tanpa pamrih, serta membisu seribu kata.
Lao Zi berkata: "Sedikit bicara sesuai dengan karakter alam, maka angin topan tidak menderu sepanjang pagi, hujan lebat tidak berlanjut sepanjang hari. Siapa gerangan yang melakukan semua itu? Langit dan bumi yang melakukannya. Jika fenomena langit dan bumi saja tidak bisa berlanjut lama, apalagi manusia mau bicara terus tidak ada habisnya!"
Matahari terbit di timur pada pagi hari, lalu naik dan berada di posisi tertinggi di langit pada siang hari. Akhirnya, matahari berangsur turun ke posisi terendah di barat. Fenomena matahari terbit, naik, dan turun mengajari kita bahwa semua posisi, jabatan, popularitas, kekayaan, stamina, umur, atau kekuasaan yang sudah mencapai titik puncak akan turun dengan sendirinya sampai menjadi kosong dan tidak ada lagi.
Ada kalanya alam terang benderang pada siang hari dan gelap gulita pada malam hari. Hal ini terjadi silih berganti terus-menerus. Gejala alam ini mendidik kita tanpa bahasa bahwa dalam hidup bisa saja kita mengalami sukacita (terang benderang) dan dukacita (gelap gulita).
Kita juga mengalami "dapat" dan ada kalanya kita mengalami "hilang." Karena itu, di dalam hidup ini lebih baik diam saja, tidak banyak bicara, dan menerima kenyataan hidup yang tidak mungkin kita ubah.
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Sang Pencipta Agung banyak memberi tanpa bicara dan pamrih, misalnya memberi sinar matahari, hujan, salju, angin, dan tanah subur, agar semua ciptaan bisa hidup dengan layak. Namun, Sang Pencipta Agung tak pernah mengeluarkan satu patah kata pun untuk menyatakan diri-Nya berjasa.
Orang bijak zaman dulu belajar dan meniru karakter alam yang banyak memberi tanpa pamrih, serta membisu seribu kata.
Lao Zi berkata: "Sedikit bicara sesuai dengan karakter alam, maka angin topan tidak menderu sepanjang pagi, hujan lebat tidak berlanjut sepanjang hari. Siapa gerangan yang melakukan semua itu? Langit dan bumi yang melakukannya. Jika fenomena langit dan bumi saja tidak bisa berlanjut lama, apalagi manusia mau bicara terus tidak ada habisnya!"
Matahari terbit di timur pada pagi hari, lalu naik dan berada di posisi tertinggi di langit pada siang hari. Akhirnya, matahari berangsur turun ke posisi terendah di barat. Fenomena matahari terbit, naik, dan turun mengajari kita bahwa semua posisi, jabatan, popularitas, kekayaan, stamina, umur, atau kekuasaan yang sudah mencapai titik puncak akan turun dengan sendirinya sampai menjadi kosong dan tidak ada lagi.
Ada kalanya alam terang benderang pada siang hari dan gelap gulita pada malam hari. Hal ini terjadi silih berganti terus-menerus. Gejala alam ini mendidik kita tanpa bahasa bahwa dalam hidup bisa saja kita mengalami sukacita (terang benderang) dan dukacita (gelap gulita).
Kita juga mengalami "dapat" dan ada kalanya kita mengalami "hilang." Karena itu, di dalam hidup ini lebih baik diam saja, tidak banyak bicara, dan menerima kenyataan hidup yang tidak mungkin kita ubah.
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Pancaran Kehidupan
Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan,
karena dari situlah terpancar kehidupan.
- Salomo/Sulaiman bin Daud
(+ 1000 SM)
(Dari: Kitab Amsal 4:23)
karena dari situlah terpancar kehidupan.
- Salomo/Sulaiman bin Daud
(+ 1000 SM)
(Dari: Kitab Amsal 4:23)
Senin, 06 Mei 2013
Perjalanan ke Dalam Hati
Ada satu tempat yang sangat jarang dikunjungi manusia. Tempat ini bernama hati."
Berbagai masalah yang kita hadapi sebenarnya berakar dari tiadanya hati yang bersih. Hati yang dimaksud bukanlah bentuk fisik berupa sepotong daging dalam tubuh kita, tetapi sesuatu yang amat halus, lembut, tidak kasat mata, dan bersifat spiritual.
Hati adalah tempat bertanya. Hati adalah cermin. Hal-hal terpuji akan membuat hati mengkilap dan cemerlang. Sementara hal-hal tercela akan membentuk asap hitam yang sedikit demi sedikit menumpuk dan membuat hati menjadi gelap.
Kita perlu membersihkan hati dari tiga penyakit yang paling sering menghinggapi hati kita. Pertama, kesombongan dan arogan. Penyakit ini sering muncul dalam bentuk merasa diri lebih penting, lebih tahu, lebih benar, dan lebih taat daripada orang lain. Kita merasa tak perlu mendengarkan orang lain dan sibuk memaksakan "agenda" kita kepada orang lain.
Akar kesombongan adalah kebiasaan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Padahal, satu-satunya perbandingan yang baik adalah membandingkan diri kita terhadap potensi kita sendiri.
Kedua, keserakahan. Akar keserakahan adalah perasaan bahwa segala sesuatu sangat terbatas, karena itu saya akan mengambil bagian saya dulu sebelum kehabisan. Persoalan-persoalan yang kita hadapi di negara ini: KKN, korupsi, upah minimum yang tidak cukup untuk hidup layak, atau tarik-ulur otonomi daerah, sebenarnya berakar dari keserakahan, yaitu keinginan menguasai dan tiadanya keinginan untuk berbagi dengan pihak lain.
Ketiga, iri dan dengki. Akar penyakit ini ialah kecenderungan untuk selalu bersaing dengan orang lain. Kita memandang dunia sebagai medan pertempuran dan setiap orang adalah pesaing kita. Kita berjuang mengalahkan mereka. Kita berduka melihat orang lain sukses. Kita sedih melihat tetangga membeli mobil baru.
Bangsa kita dipenuhi manusia-manusia yang mengidap penyakit ini. Saya menyingkatnya menjadi AIDS (Arogan, Iri, Dengki, Serakah). Itu sebabnya masalah kita tak kunjung usai. Tetapi, daripada melihat orang lain, marilah kita melihat diri kita sendiri. Bukan mustahil, kita pun terinfeksi penyakit "AIDS" ini.
Mulailah melakukan perjalanan ke dalam hati dan mendeteksi adanya benih-benih "AIDS" dalam hati kita. Awalnya pasti sulit. Saya ingat kata-kata mantan Sekjen PBB Dag Hammarskjold, "Perjalanan paling panjang dan paling melelahkan adalah perjalanan masuk ke dalam diri kita sendiri."
(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2012)
Berbagai masalah yang kita hadapi sebenarnya berakar dari tiadanya hati yang bersih. Hati yang dimaksud bukanlah bentuk fisik berupa sepotong daging dalam tubuh kita, tetapi sesuatu yang amat halus, lembut, tidak kasat mata, dan bersifat spiritual.
Hati adalah tempat bertanya. Hati adalah cermin. Hal-hal terpuji akan membuat hati mengkilap dan cemerlang. Sementara hal-hal tercela akan membentuk asap hitam yang sedikit demi sedikit menumpuk dan membuat hati menjadi gelap.
Kita perlu membersihkan hati dari tiga penyakit yang paling sering menghinggapi hati kita. Pertama, kesombongan dan arogan. Penyakit ini sering muncul dalam bentuk merasa diri lebih penting, lebih tahu, lebih benar, dan lebih taat daripada orang lain. Kita merasa tak perlu mendengarkan orang lain dan sibuk memaksakan "agenda" kita kepada orang lain.
Akar kesombongan adalah kebiasaan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Padahal, satu-satunya perbandingan yang baik adalah membandingkan diri kita terhadap potensi kita sendiri.
Kedua, keserakahan. Akar keserakahan adalah perasaan bahwa segala sesuatu sangat terbatas, karena itu saya akan mengambil bagian saya dulu sebelum kehabisan. Persoalan-persoalan yang kita hadapi di negara ini: KKN, korupsi, upah minimum yang tidak cukup untuk hidup layak, atau tarik-ulur otonomi daerah, sebenarnya berakar dari keserakahan, yaitu keinginan menguasai dan tiadanya keinginan untuk berbagi dengan pihak lain.
Ketiga, iri dan dengki. Akar penyakit ini ialah kecenderungan untuk selalu bersaing dengan orang lain. Kita memandang dunia sebagai medan pertempuran dan setiap orang adalah pesaing kita. Kita berjuang mengalahkan mereka. Kita berduka melihat orang lain sukses. Kita sedih melihat tetangga membeli mobil baru.
Bangsa kita dipenuhi manusia-manusia yang mengidap penyakit ini. Saya menyingkatnya menjadi AIDS (Arogan, Iri, Dengki, Serakah). Itu sebabnya masalah kita tak kunjung usai. Tetapi, daripada melihat orang lain, marilah kita melihat diri kita sendiri. Bukan mustahil, kita pun terinfeksi penyakit "AIDS" ini.
Mulailah melakukan perjalanan ke dalam hati dan mendeteksi adanya benih-benih "AIDS" dalam hati kita. Awalnya pasti sulit. Saya ingat kata-kata mantan Sekjen PBB Dag Hammarskjold, "Perjalanan paling panjang dan paling melelahkan adalah perjalanan masuk ke dalam diri kita sendiri."
(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2012)
Sabtu, 04 Mei 2013
Kesendirian
Bayangkanlah sebuah kolam. Pada hari tenang, permukaannya tampak seperti cermin: memantulkan birunya langit, gulungan awan-awan, dan cerahnya matahari.
Tetapi, keadaan segera berubah ketika kolam terganggu oleh goncangan, misalnya sekelompok anak yang meloncat ke dalam kolam. Permukaan kolam menjadi beriak, berombak. Air di bawah permukaan dipenuhi gelembung dan digelapkan lumpur.
Dalam banyak hal, kehidupan kita sangat mirip kolam. Ketika suasana diam, Anda akan dapat memandang sampai ke dasar, melihat gerakan atau perubahan sekecil apa pun. Namun, ketika keadaan bergejolak, segala sesuatu tampak kabur dan terhalang.
Sayangnya, hanya sedikit dari kita yang mirip dengan kolam tenang. Kebanyakan dari kita lebih mirip blender di dapur yang mesinnya mendengung, bilahnya berdesing, dan gerakannya yang serba cepat melumatkan semua elemen kehidupan kita.
Kebisingan dunia berpengaruh membelokkan orang dari realitas hidup yang lebih dalam. Kebisingan itu membuat perhatian kita tersita pada yang tampak pada kulit luar, mengabaikan yang lebih bermakna. Kebisingan membuat jiwa kita tuli dan memadamkan hati kita.
Penyendirian merupakan upaya untuk membungkam kebisingan dunia. Ia juga menjadi alat untuk menenangkan jiwa kita yang sering kali memburuk akibat pergolakan, tekanan, dan kesulitan yang terjadi.
Satu hal yang disadari banyak orang ketika pertama kali menyendiri adalah betapa bisingnya hati dan pikiran. Kita khawatir tentang masa lalu dan risau akan hari depan. Ego kita bergelut tanpa henti mengupayakan rasa percaya diri, sedangkan keraguan terus merecoki. Dunia dalam diri kita sering lebih mirip tenda sirkus atau karnaval yang hiruk-pikuk, ketimbang kolam yang sejuk, tenang, dan jernih bagaikan kristal.
Janganlah lari dari keheningan. Terimalah panggilan agung dari Allah kepada sukacita penyendirian. Penyendirian juga merupakan salah satu cara mengungkapkan diri kita kepada Allah dan mengundang Allah tinggal bersama kita. Keakraban dengan Sang Pencipta hanya bisa dicapai melalui disiplin penyendirian, kesunyian, dan ketenangan.
Janganlah isi hari-hari Anda dengan bunyi-bunyian yang meracuni, atau malam Anda dengan dagelan yang tak lucu di televisi, kisah-kisah petualangan yang membosankan, atau musik pop buatan.
Masuklah ke dalam air keheningan yang tenang dan sejuk, carilah Allah di sana. Seperti ditulis Henri Nouwen, "Untuk menjalani hidup rohani, pertama kali kita perlu menemukan keberanian memasuki gurun kesepian kita, serta mengubahnya dengan upaya lembut dan pantang menyerah menjadi taman indah penyendirian."
(Dari: Buku Ajaran-Ajaran St. Fransiskus – Bagaimana Membawa Kesederhanaan dan Kerohanian ke dalam Hidup Anda Sehari-hari, karya John Michael Talbot dan Steve Rabey. Penerbit Bina Media Perintis, Medan 2007)
Tetapi, keadaan segera berubah ketika kolam terganggu oleh goncangan, misalnya sekelompok anak yang meloncat ke dalam kolam. Permukaan kolam menjadi beriak, berombak. Air di bawah permukaan dipenuhi gelembung dan digelapkan lumpur.
Dalam banyak hal, kehidupan kita sangat mirip kolam. Ketika suasana diam, Anda akan dapat memandang sampai ke dasar, melihat gerakan atau perubahan sekecil apa pun. Namun, ketika keadaan bergejolak, segala sesuatu tampak kabur dan terhalang.
Sayangnya, hanya sedikit dari kita yang mirip dengan kolam tenang. Kebanyakan dari kita lebih mirip blender di dapur yang mesinnya mendengung, bilahnya berdesing, dan gerakannya yang serba cepat melumatkan semua elemen kehidupan kita.
Kebisingan dunia berpengaruh membelokkan orang dari realitas hidup yang lebih dalam. Kebisingan itu membuat perhatian kita tersita pada yang tampak pada kulit luar, mengabaikan yang lebih bermakna. Kebisingan membuat jiwa kita tuli dan memadamkan hati kita.
Penyendirian merupakan upaya untuk membungkam kebisingan dunia. Ia juga menjadi alat untuk menenangkan jiwa kita yang sering kali memburuk akibat pergolakan, tekanan, dan kesulitan yang terjadi.
Satu hal yang disadari banyak orang ketika pertama kali menyendiri adalah betapa bisingnya hati dan pikiran. Kita khawatir tentang masa lalu dan risau akan hari depan. Ego kita bergelut tanpa henti mengupayakan rasa percaya diri, sedangkan keraguan terus merecoki. Dunia dalam diri kita sering lebih mirip tenda sirkus atau karnaval yang hiruk-pikuk, ketimbang kolam yang sejuk, tenang, dan jernih bagaikan kristal.
Janganlah lari dari keheningan. Terimalah panggilan agung dari Allah kepada sukacita penyendirian. Penyendirian juga merupakan salah satu cara mengungkapkan diri kita kepada Allah dan mengundang Allah tinggal bersama kita. Keakraban dengan Sang Pencipta hanya bisa dicapai melalui disiplin penyendirian, kesunyian, dan ketenangan.
Janganlah isi hari-hari Anda dengan bunyi-bunyian yang meracuni, atau malam Anda dengan dagelan yang tak lucu di televisi, kisah-kisah petualangan yang membosankan, atau musik pop buatan.
Masuklah ke dalam air keheningan yang tenang dan sejuk, carilah Allah di sana. Seperti ditulis Henri Nouwen, "Untuk menjalani hidup rohani, pertama kali kita perlu menemukan keberanian memasuki gurun kesepian kita, serta mengubahnya dengan upaya lembut dan pantang menyerah menjadi taman indah penyendirian."
(Dari: Buku Ajaran-Ajaran St. Fransiskus – Bagaimana Membawa Kesederhanaan dan Kerohanian ke dalam Hidup Anda Sehari-hari, karya John Michael Talbot dan Steve Rabey. Penerbit Bina Media Perintis, Medan 2007)
Kamis, 02 Mei 2013
Pohon di Hati
Peliharalah pohon hijau di hati kita, maka burung berkicau akan hinggap di atasnya.
- Peribahasa China
(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
- Peribahasa China
(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Langganan:
Postingan (Atom)