Rembulan menjatuhkan selubung samar-samarnya di atas kebun Kota Matahari (Kota Baalbek yang telah runtuh di Libanon), dan keheningan menimpa seluruh makhluk. Istana-istana yang telah ambruk tampak mengancam, seperti monster-monster yang mengejek.
Ketika itu dua hantu, seperti uap, muncul dari permukaan danau yang biru, duduk di atas sebuah pilar marmer, merenungkan pemandangan yang seperti dunia gaib.
Hantu yang satu mengangkat kepalanya, dengan suara bergema berkata: "Inilah sisa bait-bait yang kubangun untukmu, kekasihku. Inilah reruntuhan sebuah istana yang telah kudirikan untuk menyenangkanmu. Tak ada lagi yang tersisa untuk mewartakan kepada bangsa-bangsa, tentang kemuliaan di mana kucurahkan kehidupanku, dan tentang pamer di mana kueksploitasi yang lemah.
Keterlupaan telah menenggelamkan kerajaan yang kudirikan. Tak ada yang tersisa selain atom-atom kasih yang telah diciptakan oleh kecantikanmu dan efek-efek keindahan yang telah dihidupkan oleh kasihmu.
Kudirikan sebuah bait di Yerusalem dan para imam menguduskannya, tetapi waktu telah menghancurkannya. Namun dalam hatiku, altar yang kubangun bagi Kasih - dikuduskan oleh Allah dan ditopang terhadap kuasa-kuasa kehancuran.
Hari-hari pemerintahanku menjadi hambatan terhadap pengertianku akan Kasih dan akan indahnya kehidupan. Tetapi ketika aku melihatmu, Kasih bangkit dan menghancurkan hambatan itu. Kuratapi kehidupan yang telah kujalani, kuanggap segalanya yang di bawah matahari hanyalah kesia-siaan belaka.
Ketika Kasih mencerahkanku, aku menjadi rendah hati di hadapan suku-suku yang ketakutan terhadap keperkasaan militerku, maupun di hadapan rakyatku sendiri.
Ketika maut datang, ia menguburkan senjata-senjata mematikanku di dalam bumi dan membawa kasihku kepada Allah."
Hantu yang lain berkata, "Seperti bunga mendapatkan kehidupannya dan semerbak harumnya dari bumi, demikian juga jiwa mendapatkan hikmat serta kekuatan dari kelemahan dan kekeliruan kebendaan."
Lalu kedua hantu itu menyatu dan pergi sambil berkata, "Kekekalan hanya menyimpan Kasih, sebab Kasih adalah seperti Kekekalan." (Kahlil Gibran 1883-1931)
(Dari: Buku Renungan dan Meditasi, karya Kahlil Gibran. Penerbit Classic Press, 2003)
Cari Blog Ini
Rabu, 29 April 2015
Minggu, 26 April 2015
Tidak Percuma
Waktu yang dihabiskan untuk berdoa,
tidak pernah terbuang percuma.
(Dari: Buku Kisah-Kisah Rohani Pembangkit Semangat - untuk Pendoa, editor Dr. Lyndon Saputra. Penerbit Gospel Press, 2002)
Cara Hidup
Doa sejati merupakan suatu cara hidup,
bukan untuk keadaan darurat semata.
(Dari: Buku Kisah-Kisah Rohani Pembangkit Semangat - untuk Pendoa, editor Dr. Lyndon Saputra. Penerbit Gospel Press, 2002)
Selasa, 21 April 2015
Terburu-Buru
Aku sedang terburu-buru. Aku berlari lewat ruang makan kami dengan pakaian terbaikku, memusatkan perhatian agar siap untuk pertemuan pagi ini. Gillian, putraku yang berusia 4 tahun, menari-nari sambil mendengarkan lagu kesayangannya.
Aku nyaris terlambat. Tetapi, ada suara kecil dalam diriku yang berkata, "Stop!" Aku berhenti, melihat putraku. Aku meraih tangannya, memutar-mutarnya berkeliling.
Anakku yang berusia 7 tahun, Caitlin, bergabung. Kami bertiga berdansa di sekeliling ruang makan dan ruang duduk. Kami tertawa dan berputar-putar. Tarian kami berakhir bersama dengan selesainya lagu itu. Aku menepuk bokong mereka dan meminta mereka mandi.
Mereka naik tangga, tawa mereka menggema di dinding. Aku kembali ke urusanku. Aku sedang membungkuk memasukkan kertas-kertas kerja ke dalam tas, ketika aku mendengar Gillian berkata kepada kakaknya, "Caitlin, bukankah mama kita adalah yang terbaik?"
Aku terpaku. Andaikan tadi aku terburu-buru pergi kerja, tentu aku kehilangan kebersamaan dengan kedua anakku. Ingatanku melayang ke piagam demi piagam dan diploma yang memenuhi dinding ruang kerjaku. Tak ada piagam dan penghargaan yang kuperoleh mampu menandingi perkataan putraku, "Bukankah mama kita adalah yang terbaik?"
Anakku mengatakannya pada saat ia berusia 4 tahun. Aku tak mengharapkan ia mengatakan hal itu pada usia 14 tahun. Tetapi, ketika ia berusia 40 tahun, saat ia membungkuk di atas peti kayu untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku, aku ingin ia mengatakan hal itu lagi, "Bukankah mama kita adalah yang terbaik?"
Perkataan tersebut tak bisa dimasukkan ke dalam curriculum vitae-ku, tetapi aku ingin itu dituliskan pada batu nisanku. (Gina Barrett Schlesinger)
(Dari: Buku Chicken Soup for the Woman's Soul, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Jennifer Read Hawthorne, Marci Shimoff. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1997)
Aku nyaris terlambat. Tetapi, ada suara kecil dalam diriku yang berkata, "Stop!" Aku berhenti, melihat putraku. Aku meraih tangannya, memutar-mutarnya berkeliling.
Anakku yang berusia 7 tahun, Caitlin, bergabung. Kami bertiga berdansa di sekeliling ruang makan dan ruang duduk. Kami tertawa dan berputar-putar. Tarian kami berakhir bersama dengan selesainya lagu itu. Aku menepuk bokong mereka dan meminta mereka mandi.
Mereka naik tangga, tawa mereka menggema di dinding. Aku kembali ke urusanku. Aku sedang membungkuk memasukkan kertas-kertas kerja ke dalam tas, ketika aku mendengar Gillian berkata kepada kakaknya, "Caitlin, bukankah mama kita adalah yang terbaik?"
Aku terpaku. Andaikan tadi aku terburu-buru pergi kerja, tentu aku kehilangan kebersamaan dengan kedua anakku. Ingatanku melayang ke piagam demi piagam dan diploma yang memenuhi dinding ruang kerjaku. Tak ada piagam dan penghargaan yang kuperoleh mampu menandingi perkataan putraku, "Bukankah mama kita adalah yang terbaik?"
Anakku mengatakannya pada saat ia berusia 4 tahun. Aku tak mengharapkan ia mengatakan hal itu pada usia 14 tahun. Tetapi, ketika ia berusia 40 tahun, saat ia membungkuk di atas peti kayu untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku, aku ingin ia mengatakan hal itu lagi, "Bukankah mama kita adalah yang terbaik?"
Perkataan tersebut tak bisa dimasukkan ke dalam curriculum vitae-ku, tetapi aku ingin itu dituliskan pada batu nisanku. (Gina Barrett Schlesinger)
(Dari: Buku Chicken Soup for the Woman's Soul, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Jennifer Read Hawthorne, Marci Shimoff. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1997)
Minggu, 19 April 2015
Pilihannya di Tangan Kita
Agustus 2002, aku menerima hadiah terbesar dalam hidupku ketika aku divonis menderita kanker otak tahap akhir dan akan meninggal dalam waktu 4-6 bulan. Aku baru 5 bulan menikah, karierku berjalan baik, dan teman-teman mencintaiku. Belum pernah aku sebahagia itu.
Di tengah malam pada bulan Januari 2003, aku berjalan di tengah cuaca dingin, seorang diri dan merasa pahit. Aku bingung, selalu mual dan nyaris tak bisa berjalan, bahkan dengan bantuan tongkat.
Aku sangat marah pada situasiku: aku benci kankerku, diriku, para dokter, dan Tuhan. Apakah aku ditakdirkan untuk terpincang-pincang membusuk setiap hari menuju kuburan yang dingin?
Tiba-tiba, di tengah kekacauan, muncul suara ilhami dari seorang teman lama, W. Clement Stone, salah satu dari orang-orang yang pertama menulis tentang Sikap Mental Positif. Di benakku, aku bisa mendengar ia berkata seperti yang diulanginya ribuan kali, "Bagi mereka yang memiliki Sikap Mental Positif, setiap kejadian buruk mengandung benih manfaat yang setara atau lebih besar lagi."
Kata-katanya terus bergema di bagian otakku yang masih berfungsi. Jadi.... apa kemungkinannya bagiku? Hidup pada titik itu tidak menyediakan banyak pilihan bagus. Kenyataannya, satu dari dua hal ini akan terjadi: aku akan meninggal tak lama lagi, atau yang lebih sedikit kemungkinannya, aku akan hidup lama.
Jika aku menjadi sedih dan marah, aku akan menghabiskan beberapa bulan terakhir hidupku dalam kesedihan dan keterasingan, menciptakan neraka bagi orang-orang yang kucintai. Aku akan dikenang sebagai pria yang menyedihkan.
Di sisi lain, bagaimana kalau aku positif dan penuh harapan? Itu tak akan mengubah tanggal kematianku. Tetapi, aku akan menghabiskan bulan-bulan terakhir hidupku dengan bening, puas, damai, dan mencintai keluargaku. Aku akan meninggal sebagai pria yang bahagia dan dikenang sebagai jiwa berani yang menghadapi kematian dengan besar hati.
Lalu, bagaimana jika aku tetap hidup? Aku tak punya alasan untuk menjadi pahit. Mengapa menyia-nyiakan berbulan-bulan hidupku dengan mengeluhkan akhir yang belum tentu dekat?
Aku mempunyai semua alasan untuk bersikap positif terhadap kondisiku. Di titik itulah, di saat itu juga, aku berhenti sekarat dan mulai hidup. Aku mulai menceritakan kepada setiap orang yang kujumpai bahwa kanker otak adalah hal terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku.
Setahun silam, aku mengetahui kanker otakku telah kembali. Sekarang, pengobatannya lebih maju. Para dokter memutuskan melakukan kemoterapi untuk waktu tak terbatas. Berita ini bahkan menjadikanku lebih positif lagi.
Bagaimana denganmu? Kau akan mengalami hal-hal yang baik dan buruk dalam hidup. Terkadang hidup memberi kita keuntungan besar, terkadang mengoyak kita. Apa yang terjadi pada kita tetap akan terjadi, dan kita hanya punya dua cara untuk meresponsnya: menjadi positif dan bahagia atau negatif dan bersedih.
Kabar gembiranya: pilihannya di tangan kita! Kita yang memutuskan seberapa bahagianya kita di setiap hari dalam hidup kita, di setiap peristiwa hidup, terlepas dari kapan, apa, dan siapa.
Hari ini, buatlah keputusanmu untuk hidup, bukan untuk mati. Untuk menjadi positif, bukan negatif. Kau tak perlu mengalami tragedi seperti aku untuk menemukannya. Hiduplah setiap hari, setiap menit, setiap detik dari hidup kita. (Tom Schumm)
(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Di tengah malam pada bulan Januari 2003, aku berjalan di tengah cuaca dingin, seorang diri dan merasa pahit. Aku bingung, selalu mual dan nyaris tak bisa berjalan, bahkan dengan bantuan tongkat.
Aku sangat marah pada situasiku: aku benci kankerku, diriku, para dokter, dan Tuhan. Apakah aku ditakdirkan untuk terpincang-pincang membusuk setiap hari menuju kuburan yang dingin?
Tiba-tiba, di tengah kekacauan, muncul suara ilhami dari seorang teman lama, W. Clement Stone, salah satu dari orang-orang yang pertama menulis tentang Sikap Mental Positif. Di benakku, aku bisa mendengar ia berkata seperti yang diulanginya ribuan kali, "Bagi mereka yang memiliki Sikap Mental Positif, setiap kejadian buruk mengandung benih manfaat yang setara atau lebih besar lagi."
Kata-katanya terus bergema di bagian otakku yang masih berfungsi. Jadi.... apa kemungkinannya bagiku? Hidup pada titik itu tidak menyediakan banyak pilihan bagus. Kenyataannya, satu dari dua hal ini akan terjadi: aku akan meninggal tak lama lagi, atau yang lebih sedikit kemungkinannya, aku akan hidup lama.
Jika aku menjadi sedih dan marah, aku akan menghabiskan beberapa bulan terakhir hidupku dalam kesedihan dan keterasingan, menciptakan neraka bagi orang-orang yang kucintai. Aku akan dikenang sebagai pria yang menyedihkan.
Di sisi lain, bagaimana kalau aku positif dan penuh harapan? Itu tak akan mengubah tanggal kematianku. Tetapi, aku akan menghabiskan bulan-bulan terakhir hidupku dengan bening, puas, damai, dan mencintai keluargaku. Aku akan meninggal sebagai pria yang bahagia dan dikenang sebagai jiwa berani yang menghadapi kematian dengan besar hati.
Lalu, bagaimana jika aku tetap hidup? Aku tak punya alasan untuk menjadi pahit. Mengapa menyia-nyiakan berbulan-bulan hidupku dengan mengeluhkan akhir yang belum tentu dekat?
Aku mempunyai semua alasan untuk bersikap positif terhadap kondisiku. Di titik itulah, di saat itu juga, aku berhenti sekarat dan mulai hidup. Aku mulai menceritakan kepada setiap orang yang kujumpai bahwa kanker otak adalah hal terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku.
Setahun silam, aku mengetahui kanker otakku telah kembali. Sekarang, pengobatannya lebih maju. Para dokter memutuskan melakukan kemoterapi untuk waktu tak terbatas. Berita ini bahkan menjadikanku lebih positif lagi.
Bagaimana denganmu? Kau akan mengalami hal-hal yang baik dan buruk dalam hidup. Terkadang hidup memberi kita keuntungan besar, terkadang mengoyak kita. Apa yang terjadi pada kita tetap akan terjadi, dan kita hanya punya dua cara untuk meresponsnya: menjadi positif dan bahagia atau negatif dan bersedih.
Kabar gembiranya: pilihannya di tangan kita! Kita yang memutuskan seberapa bahagianya kita di setiap hari dalam hidup kita, di setiap peristiwa hidup, terlepas dari kapan, apa, dan siapa.
Hari ini, buatlah keputusanmu untuk hidup, bukan untuk mati. Untuk menjadi positif, bukan negatif. Kau tak perlu mengalami tragedi seperti aku untuk menemukannya. Hiduplah setiap hari, setiap menit, setiap detik dari hidup kita. (Tom Schumm)
(Dari: Buku Chicken Soup for the Soul - Think Positive, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Kamis, 16 April 2015
Mempertahankan Sesuatu adalah Fantasi
Ketika kita mempertahankan sesuatu, kita hidup di masa lalu. Ketika kita hidup di masa lalu, kita hidup dalam fantasi yang kita ciptakan.
Upaya mempertahankan tak akan pernah membuat kita bahagia, sebab fantasi hanyalah ilusi. Begitu kita melepas hantu masa lalu, kita akan bisa menerima apa yang diberikan hidup ini kepada kita sekarang, yang lebih baik daripada yang telah kita lepas.
Kehidupan memiliki sesuatu yang benar bagi kita dan bisa membuat kita bergerak maju.
Latihan
Hari ini, cobalah simak apa atau siapa yang masih Anda pertahankan. Jika Anda masih bertahan pada kualitas tertentu dari benda atau orang itu, lepaskanlah. Jika tidak, pikiran Anda akan dipuaskan oleh pencitraan itu dan tidak akan menciptakan pengalaman dalam hidup Anda sekarang.
(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses hal. 399, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Upaya mempertahankan tak akan pernah membuat kita bahagia, sebab fantasi hanyalah ilusi. Begitu kita melepas hantu masa lalu, kita akan bisa menerima apa yang diberikan hidup ini kepada kita sekarang, yang lebih baik daripada yang telah kita lepas.
Kehidupan memiliki sesuatu yang benar bagi kita dan bisa membuat kita bergerak maju.
Latihan
Hari ini, cobalah simak apa atau siapa yang masih Anda pertahankan. Jika Anda masih bertahan pada kualitas tertentu dari benda atau orang itu, lepaskanlah. Jika tidak, pikiran Anda akan dipuaskan oleh pencitraan itu dan tidak akan menciptakan pengalaman dalam hidup Anda sekarang.
(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses hal. 399, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Selasa, 14 April 2015
Terbang Bebas
Sebuah rumah baru, kolam renang di belakang rumah, dua mobil bagus di halaman parkir, dan anak pertama yang akan lahir. Setelah 9 tahun menikah, aku telah mempunyai segalanya - atau setidaknya begitulah pikirku.
Hanya beberapa hari menjelang kelahiran anak pertamaku, terjadi percakapan dengan suamiku yang menggoncang dunia yang aku hidupi. "Saya ingin berada di sini demi si bayi, tetapi saya pikir saya tak lagi mencintaimu," katanya.
Aku tak bisa memercayai apa yang kudengar. Ia memang terasa semakin jauh saat aku sedang hamil. Tetapi, aku pikir itu hanya kekhawatiran seorang calon ayah.
Ketika aku meminta penjelasannya, ia mengatakan pernah memiliki wanita idaman lain sekitar 5 tahun lalu. Mengingat anak kami, aku berusaha keras menyelamatkan pernikahan kami. Kukatakan kepadanya, aku bisa memaafkannya dan berharap semuanya kembali baik seperti semula.
Aku bersemangat menyambut bayiku, sekaligus begitu khawatir kehilangan suamiku. Ketika anakku, TJ, berumur 4 minggu, aku baru tahu alasan sebenarnya dari sikap suamiku. Bukan hanya ia punya affair 5 tahun lalu, tetapi ia memulai affair lain saat kehamilanku.
Aku meninggalkan rumah, segala isinya, dan semua impian yang hancur. Aku dan TJ pindah ke apartemen di kota lain. Aku tenggelam dalam depresi - menghabiskan jam demi jam dengan seorang bayi. Tiga bulan pertama kehidupan TJ kulalui dengan linangan air mata. Aku lalu kembali bekerja dan mencoba menyembunyikan dari setiap orang apa yang sedang aku alami.
Ketika TJ berumur 4 bulan, aku berbicara penuh emosi kepada suamiku. Ia menghambur keluar dengan marah dari apartemenku. Aku berteriak keras, "Aku tak ingin hidup lagi!" Setelah itu, sebuah kesunyian mencekam.
Aku percaya, Tuhan ada bersamaku hari itu. Aku duduk terdiam beberapa saat, membiarkan air mata mengalir. Entah berapa lama waktu berlalu. Tetapi sesuatu dari dalam diriku membangkitkan kekuatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Saat itu dan di tempat itu, aku memutuskan untuk mengendalikan hidupku. Aku tak mau lagi memberikan kekuasaan kepada suamiku untuk memengaruhi hidupku dengan sikap negatifnya. Aku sadar, dengan memusatkan perhatian begitu banyak pada kelemahannya, aku membiarkan kelemahan itu menghancurkan hidupku.
Setelah mengubah pusat perhatianku pada hal-hal positif, betapa beda dampaknya bagi hidupku. Aku bisa tertawa lagi dan menikmati kehadiran orang-orang di sekitarku. Aku memulai proses menemukan pribadi yang tersembunyi dalam diriku - proses yang masih aku nikmati sampai hari ini.
Aku mengikuti konseling beberapa bulan. Ketika aku tak lagi merasa membutuhkan konseling, aku ingat pertanyaan terakhir yang diajukan konselorku, "Apa yang telah kamu pelajari?" Tanpa ragu aku menjawab, "Saya belajar bahwa kebahagiaan saya harus datang dari dalam."
Itulah pelajaran yang aku ingat setiap hari dan ingin kubagikan kepada orang-orang lain. Aku telah melakukan kesalahan dalam hidupku dengan mendasarkan jati diriku pada pernikahan dan semua barang materi yang melingkupi hubungan itu. Aku bertanggung jawab atas hidup dan kebahagiaanku sendiri.
Ketika aku memusatkan hidupku pada orang lain, dan mencoba membangun kebahagiaanku di sekitar orang ini, aku sesungguhnya tak lagi hidup. Untuk bisa hidup dengan benar, aku perlu membiarkan roh di dalam diriku bebas dan bergembira dengan keunikannya. Dalam keadaan inilah, cinta orang lain akan menjadi kebahagiaan dan bukan sesuatu yang membuat kita takut kehilangan.
Semoga roh Anda bebas dan terbang tinggi! (Laurie Waldron)
(Dari: Buku Chicken Soup for the Woman's Soul, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Jennifer Read Hawthorne, dan Marci Shimoff. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1997)
Hanya beberapa hari menjelang kelahiran anak pertamaku, terjadi percakapan dengan suamiku yang menggoncang dunia yang aku hidupi. "Saya ingin berada di sini demi si bayi, tetapi saya pikir saya tak lagi mencintaimu," katanya.
Aku tak bisa memercayai apa yang kudengar. Ia memang terasa semakin jauh saat aku sedang hamil. Tetapi, aku pikir itu hanya kekhawatiran seorang calon ayah.
Ketika aku meminta penjelasannya, ia mengatakan pernah memiliki wanita idaman lain sekitar 5 tahun lalu. Mengingat anak kami, aku berusaha keras menyelamatkan pernikahan kami. Kukatakan kepadanya, aku bisa memaafkannya dan berharap semuanya kembali baik seperti semula.
Aku bersemangat menyambut bayiku, sekaligus begitu khawatir kehilangan suamiku. Ketika anakku, TJ, berumur 4 minggu, aku baru tahu alasan sebenarnya dari sikap suamiku. Bukan hanya ia punya affair 5 tahun lalu, tetapi ia memulai affair lain saat kehamilanku.
Aku meninggalkan rumah, segala isinya, dan semua impian yang hancur. Aku dan TJ pindah ke apartemen di kota lain. Aku tenggelam dalam depresi - menghabiskan jam demi jam dengan seorang bayi. Tiga bulan pertama kehidupan TJ kulalui dengan linangan air mata. Aku lalu kembali bekerja dan mencoba menyembunyikan dari setiap orang apa yang sedang aku alami.
Ketika TJ berumur 4 bulan, aku berbicara penuh emosi kepada suamiku. Ia menghambur keluar dengan marah dari apartemenku. Aku berteriak keras, "Aku tak ingin hidup lagi!" Setelah itu, sebuah kesunyian mencekam.
Aku percaya, Tuhan ada bersamaku hari itu. Aku duduk terdiam beberapa saat, membiarkan air mata mengalir. Entah berapa lama waktu berlalu. Tetapi sesuatu dari dalam diriku membangkitkan kekuatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Saat itu dan di tempat itu, aku memutuskan untuk mengendalikan hidupku. Aku tak mau lagi memberikan kekuasaan kepada suamiku untuk memengaruhi hidupku dengan sikap negatifnya. Aku sadar, dengan memusatkan perhatian begitu banyak pada kelemahannya, aku membiarkan kelemahan itu menghancurkan hidupku.
Setelah mengubah pusat perhatianku pada hal-hal positif, betapa beda dampaknya bagi hidupku. Aku bisa tertawa lagi dan menikmati kehadiran orang-orang di sekitarku. Aku memulai proses menemukan pribadi yang tersembunyi dalam diriku - proses yang masih aku nikmati sampai hari ini.
Aku mengikuti konseling beberapa bulan. Ketika aku tak lagi merasa membutuhkan konseling, aku ingat pertanyaan terakhir yang diajukan konselorku, "Apa yang telah kamu pelajari?" Tanpa ragu aku menjawab, "Saya belajar bahwa kebahagiaan saya harus datang dari dalam."
Itulah pelajaran yang aku ingat setiap hari dan ingin kubagikan kepada orang-orang lain. Aku telah melakukan kesalahan dalam hidupku dengan mendasarkan jati diriku pada pernikahan dan semua barang materi yang melingkupi hubungan itu. Aku bertanggung jawab atas hidup dan kebahagiaanku sendiri.
Ketika aku memusatkan hidupku pada orang lain, dan mencoba membangun kebahagiaanku di sekitar orang ini, aku sesungguhnya tak lagi hidup. Untuk bisa hidup dengan benar, aku perlu membiarkan roh di dalam diriku bebas dan bergembira dengan keunikannya. Dalam keadaan inilah, cinta orang lain akan menjadi kebahagiaan dan bukan sesuatu yang membuat kita takut kehilangan.
Semoga roh Anda bebas dan terbang tinggi! (Laurie Waldron)
(Dari: Buku Chicken Soup for the Woman's Soul, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Jennifer Read Hawthorne, dan Marci Shimoff. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1997)
Minggu, 12 April 2015
Memberikan Segalanya
Cinta memberikan segalanya. Cinta ingin memberikan segala yang dimilikinya; jika itu adalah cinta sejati, ia tak bersandar pada apa pun. Cinta tak mengharapkan dan mensyaratkan apa pun, karena cinta bukanlah kontrak - "Aku akan memberimu ini, kalau kamu memberiku itu."
Ketika kita memberikan segalanya dan tak bersandar pada apa pun; kekuatan, cinta, dan kreativitas yang besar akan muncul dalam diri kita. Hati kita terbuka dan waktu terlampaui. Kita bergerak ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi, di mana segalanya menjadi berwarna-warni dan penuh cinta.
Latihan
Hari ini, ingatlah bahwa cinta adalah memberikan segalanya tanpa bersandar pada apa pun. Segala yang Anda jadikan sandaran, kesepakatan atau ikatan apa pun, akan menghalangi Anda dari menikmati dan memberi.
Bersandar hanyalah sebuah cara untuk membuat Anda selamat. Cinta tak hanya membuat Anda selamat, namun juga membuat Anda nyata dan hidup. Cinta membuat Anda mengingat Tuhan dan betapa itu adalah segalanya yang Anda inginkan.
(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses hal. 414, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Ketika kita memberikan segalanya dan tak bersandar pada apa pun; kekuatan, cinta, dan kreativitas yang besar akan muncul dalam diri kita. Hati kita terbuka dan waktu terlampaui. Kita bergerak ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi, di mana segalanya menjadi berwarna-warni dan penuh cinta.
Latihan
Hari ini, ingatlah bahwa cinta adalah memberikan segalanya tanpa bersandar pada apa pun. Segala yang Anda jadikan sandaran, kesepakatan atau ikatan apa pun, akan menghalangi Anda dari menikmati dan memberi.
Bersandar hanyalah sebuah cara untuk membuat Anda selamat. Cinta tak hanya membuat Anda selamat, namun juga membuat Anda nyata dan hidup. Cinta membuat Anda mengingat Tuhan dan betapa itu adalah segalanya yang Anda inginkan.
(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses hal. 414, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Rabu, 08 April 2015
Hanya Ada Para Pemenang
Ketika kita mendapati ada pemenang dan ada pihak yang kalah dalam situasi apa pun, berarti komunikasi belum sepenuhnya membuahkan hasil. Masih ada luka dan rasa takut, pertempuran masih berlangsung pada tingkat tertentu.
Ketika ada pihak yang kalah, kita semakin yakin akan adanya kekurangan. Karena itu, janganlah berhenti berkomunikasi sampai akhirnya hanya ada para pemenang.
Latihan
Hari ini, janganlah menyesuaikan diri terhadap luka. Teruslah berkomunikasi sampai kedua pihak merasa sudah menang, dan hanya ada para pemenang.
(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Ketika ada pihak yang kalah, kita semakin yakin akan adanya kekurangan. Karena itu, janganlah berhenti berkomunikasi sampai akhirnya hanya ada para pemenang.
Latihan
Hari ini, janganlah menyesuaikan diri terhadap luka. Teruslah berkomunikasi sampai kedua pihak merasa sudah menang, dan hanya ada para pemenang.
(Dari: Buku Kalau Sakit, Bukan Cinta - 366 Rahasia Hubungan yang Sukses, karya Chuck Spezzano, Ph.D. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
Minggu, 05 April 2015
Tanda Asap
Satu-satunya orang yang selamat dari kecelakaan kapal laut tinggal di sebuah pulau tak berpenghuni. Ia membangun pondok sederhana dan menempatkan semua barang yang bisa ia selamatkan di sana. Setiap hari ia berdoa kepada Tuhan, agar ia bisa diselamatkan dari situasi mengenaskan itu.
Suatu hari, saat ia sedang memasak, ia melihat sebentuk kapal laut di kejauhan. Buru-buru ia lari ke pantai dan melompat-lompat dengan gembira. Ia melambaikan tangan dan berteriak sekuatnya. Tetapi, kapal itu terus berlayar.
Dengan kecewa dan kesal lelaki itu kembali ke pondoknya. Ternyata pondoknya habis terbakar. Semua barang miliknya musnah. Ia menangis. Sungguh, hari terburuk dalam hidupnya.
Beberapa jam kemudian, sebuah kapal datang menyelamatkannya. Lelaki itu sangat senang. "Bagaimana Anda bisa tahu saya ada di sini?" tanyanya kepada kapten kapal. "Kami melihat tanda asap Anda," jawab sang kapten.
Janganlah menilai suatu pengalaman berdasarkan nilai yang kasat mata saja. Terkadang apa yang kelihatannya sebagai hal terburuk bisa berubah menjadi hal yang terbaik. Ada "hadiah" yang menanti di belakang setiap tragedi. Jika Anda terbuka pada kenyataan hidup, maka "hadiah" itu kelak akan terungkap.
Ketika terjadi sesuatu yang menyakitkan, itu bukanlah akhir dari sebuah cerita, melainkan hanya bagian dari sebuah buku. Bertahanlah sampai akhir cerita, sehingga Anda akan menemukan nilai dan makna dari segala sesuatu yang terjadi.
(Dari: Buku Hati yang Bijaksana - Renungan untuk Kehidupan yang Lebih Berarti, karya Alan Cohen. Penerbit Interaksara, 2005)
Suatu hari, saat ia sedang memasak, ia melihat sebentuk kapal laut di kejauhan. Buru-buru ia lari ke pantai dan melompat-lompat dengan gembira. Ia melambaikan tangan dan berteriak sekuatnya. Tetapi, kapal itu terus berlayar.
Dengan kecewa dan kesal lelaki itu kembali ke pondoknya. Ternyata pondoknya habis terbakar. Semua barang miliknya musnah. Ia menangis. Sungguh, hari terburuk dalam hidupnya.
Beberapa jam kemudian, sebuah kapal datang menyelamatkannya. Lelaki itu sangat senang. "Bagaimana Anda bisa tahu saya ada di sini?" tanyanya kepada kapten kapal. "Kami melihat tanda asap Anda," jawab sang kapten.
***
Janganlah menilai suatu pengalaman berdasarkan nilai yang kasat mata saja. Terkadang apa yang kelihatannya sebagai hal terburuk bisa berubah menjadi hal yang terbaik. Ada "hadiah" yang menanti di belakang setiap tragedi. Jika Anda terbuka pada kenyataan hidup, maka "hadiah" itu kelak akan terungkap.
Ketika terjadi sesuatu yang menyakitkan, itu bukanlah akhir dari sebuah cerita, melainkan hanya bagian dari sebuah buku. Bertahanlah sampai akhir cerita, sehingga Anda akan menemukan nilai dan makna dari segala sesuatu yang terjadi.
(Dari: Buku Hati yang Bijaksana - Renungan untuk Kehidupan yang Lebih Berarti, karya Alan Cohen. Penerbit Interaksara, 2005)
Kamis, 02 April 2015
Bisa Jadi Siapa Saja
Suatu malam, seorang asing tiba-tiba muncul di depan pintu sebuah biara kuno. Biara itu dihuni enam biarawan tua yang kehausan secara spiritual. Para biarawan itu menyambut kedatangan tamu misterius tersebut dan mengantarkannya ke kamar.
Keesokan pagi, para biarawan duduk bersama tamu mereka saat sarapan. Mereka begitu ingin mendengarkan kata-kata bijaknya. "Semalam saya bermimpi," kata tamu itu, "Ada yang memberitahu saya, salah seorang dari kalian adalah orang kudus."
Para biarawan tercengang, mereka saling berpandangan. "Siapakah orang itu?" tanya salah satu dari mereka. "Saya tak bisa mengatakannya kepada Anda," jawab orang asing itu. "Anda sendirilah yang harus mengungkapkannya." Kemudian tamu itu pergi.
Selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, para biarawan saling menjajaki satu sama lain. Mereka memperlakukan rekan-rekannya seolah-olah salah satu di antara mereka adalah orang kudus.
Lalu, mulai terjadi hal-hal luar biasa. Untuk pertama kali biara itu diliputi kegembiraan dan apresiasi para penghuninya. Doa-doa dipanjatkan dengan semangat. Dalam waktu beberapa tahun, biara menjadi hidup karena setiap anggotanya mengalami pencerahan jiwa.
Akhirnya semua biarawan tua itu meninggal tanpa pernah tahu siapa di antara mereka adalah orang kudus. Tidak masalah - mereka semua telah menjadi orang kudus.
Keyakinan dan harapan Anda dapat menciptakan orang-orang suci atau monster. Harapkanlah hal terbaik dan Anda akan menemukannya. Jika Anda menawarkan kesabaran, dukungan, dan kesempatan kepada orang-orang lain; mereka akan melangkah masuk ke dalam kehebatan yang mereka miliki.
Jangan terpaku pada kesalahan mereka, tetapi sanjunglah kehebatan mereka sebagai suatu kenyataan. Maka, kehidupan Anda akan menjadi sebuah petualangan sangat luas dalam membangkitkan hal-hal terbaik pada diri setiap orang yang Anda jumpai.
Ketika Anda menemukan kesucian dan kebaikan pada diri orang lain, Anda juga akan menemukan hal yang sama dalam diri Anda sendiri.
(Dari: Buku Hati yang Bijaksana - Renungan untuk Kehidupan yang Lebih Berarti, karya Alan Cohen. Penerbit Interaksara, 2005)
Keesokan pagi, para biarawan duduk bersama tamu mereka saat sarapan. Mereka begitu ingin mendengarkan kata-kata bijaknya. "Semalam saya bermimpi," kata tamu itu, "Ada yang memberitahu saya, salah seorang dari kalian adalah orang kudus."
Para biarawan tercengang, mereka saling berpandangan. "Siapakah orang itu?" tanya salah satu dari mereka. "Saya tak bisa mengatakannya kepada Anda," jawab orang asing itu. "Anda sendirilah yang harus mengungkapkannya." Kemudian tamu itu pergi.
Selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, para biarawan saling menjajaki satu sama lain. Mereka memperlakukan rekan-rekannya seolah-olah salah satu di antara mereka adalah orang kudus.
Lalu, mulai terjadi hal-hal luar biasa. Untuk pertama kali biara itu diliputi kegembiraan dan apresiasi para penghuninya. Doa-doa dipanjatkan dengan semangat. Dalam waktu beberapa tahun, biara menjadi hidup karena setiap anggotanya mengalami pencerahan jiwa.
Akhirnya semua biarawan tua itu meninggal tanpa pernah tahu siapa di antara mereka adalah orang kudus. Tidak masalah - mereka semua telah menjadi orang kudus.
***
Jangan terpaku pada kesalahan mereka, tetapi sanjunglah kehebatan mereka sebagai suatu kenyataan. Maka, kehidupan Anda akan menjadi sebuah petualangan sangat luas dalam membangkitkan hal-hal terbaik pada diri setiap orang yang Anda jumpai.
Ketika Anda menemukan kesucian dan kebaikan pada diri orang lain, Anda juga akan menemukan hal yang sama dalam diri Anda sendiri.
(Dari: Buku Hati yang Bijaksana - Renungan untuk Kehidupan yang Lebih Berarti, karya Alan Cohen. Penerbit Interaksara, 2005)
Langganan:
Postingan (Atom)