Pada hari raya Idul Fitri, kita bersalam-salaman sambil berucap, "Mohon maaf lahir dan batin."
Apakah kita sungguh-sungguh minta maaf pada saat itu? Apakah kita juga memaafkan orang lain? Ataukah ucapan tersebut lebih merupakan sebuah basa-basi?
Menurut pengamatan saya, ucapan "maaf lahir batin" sudah menjadi ritual tanpa makna, sudah jadi sekadar basa-basi. Pokoknya, begitu bertemu dengan orang lain dan bersalaman, langsung saja kata-kata ini terlontar dari mulut kita.
Saya memaknai ada dua aspek dalam "maaf lahir batin," yaitu meminta maaf dan memberi maaf. Ini harus dilakukan dengan tulus, jangan ada keterpaksaan.
Meminta maaf dan memberi maaf memang sama-sama sulit, namun, saya kira memberi maaf jauh lebih sulit. Mengapa demikian? Karena memberi maaf dilakukan oleh orang yang sudah dirugikan. Orang yang sudah disakiti atau dirugikan punya kecenderungan membalas. Ketika memberi maaf, kita telah melawan kecenderungan manusiawi kita untuk membalas.
Meskipun meminta maaf tidak sesulit memberi maaf, namun untuk sampai pada tindakan meminta maaf, Anda tak cukup hanya melawan ego. Melawan ego tindakan paling akhir, sebelum kita menemui orang itu dan minta maaf. Sesungguhnya meminta maaf itu prosesnya panjang, mulai dengan kesadaran bahwa kita telah melakukan kesalahan. Inti dari meminta maaf adalah perasaan menyesal. Meminta maaf tanpa rasa menyesal, sesungguhnya bukanlah permintaan maaf.
Terkait dengan "mohon maaf lahir batin," saya ingin menyarankan, kalau Anda ingin bahagia, janganlah pernah menyimpan luka apa pun di dalam diri kita. Luka batin jauh lebih berbahaya daripada luka fisik. Namun, luka batin sebetulnya bisa disembuhkan lebih cepat, kalau kita menyadarinya sedini mungkin.
(Dari: Buku Cherish Every Moment - Menikmati Hidup yang Indah Setiap Saat, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar