Sepanjang ingatanku, sejak kecil aku tak pernah mendengar ayahku mengucapkan kata-kata, "Aku sayang padamu." Bila seorang ayah tidak pernah mengucapkan kalimat itu sewaktu anaknya masih kecil, seiring pertambahan usia sang ayah, akan semakin sulit baginya untuk mengatakan hal tersebut.
Suatu kali aku memutuskan untuk menyingkirkan perasaan gengsi dan melakukan langkah pertama. Dalam percakapan lewat telepon dengan ayahku, setelah agak ragu sejenak, aku berkata, "Ayah..., aku sayang padamu."
Sejenak tak terdengar apa-apa. Lalu, ayah menjawab dengan kikuk, "Ya, sama-sama." Sambil tersenyum, kukatakan, "Ayah, aku tahu Ayah sayang padaku. Aku juga tahu jika Ayah merasa sudah sanggup, Ayah akan mengucapkan apa yang hendak Ayah katakan."
Beberapa minggu setelah itu, Ayah mengakhiri percakapan kami lewat telepon dengan mengatakan, "Paul, aku sayang padamu." Ketika kami berbicara itu, aku sedang bekerja. Air mataku menetes, akhirnya aku "mendengar" kasih sayang Ayah. Kami sama-sama menangis, menyadari bahwa saat istimewa ini telah mengangkat hubungan ayah-anak ke suatu tingkat yang baru.
Tak lama setelah saat istimewa itu, Ayah menjalani operasi jantung yang nyaris merenggut nyawanya. Aku sering merenung, seandainya aku tidak memulai dan Ayah meninggal setelah dioperasi, aku tak akan pernah bisa "mendengar" kasih sayangnya. (Paul Barton)
Jangan pernah berpisah, tanpa ungkapan kasih sayang untuk dikenang. Mungkin saja perpisahan itu ternyata untuk selamanya. (Jean Paul Richter)
(Dari: Buku A Cup of Chicken Soup for the Soul - All New Stories, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, dan Barry Spilchuk. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar