Cari Blog Ini
Sabtu, 31 Agustus 2013
Bergerak ke Tingkat Lain
Terkadang kita “menabrak dinding” saat kita berlari menuju Tuhan. Terkadang kita “tersandung batu” dalam perjalanan kita. Yohanes dari Salib (1542-1591) menggunakan malam gelap sebagai metafora untuk saat-saat yang sulit ini. Melalui kesulitan, orang mengalami masa transisi untuk dapat masuk ke tingkat baru dalam relasi dengan Tuhan.
Masa transisi tersebut dapat menjadi suatu saat yang “gelap,” saat Tuhan tampaknya tidak hadir. Dalam malam gelap kita merasakan kekosongan, tidak mampu meraih Tuhan. Kita kehilangan penghiburan yang pernah menyertai di tahap awal relasi kita dengan Tuhan. Dalam malam gelap, kesombongan menyerah pada kerendahan hati seperti kita melepas diri kita yang palsu, keinginan kita yang serakah.
Menurut Yohanes dari Salib, ada dua fase malam gelap yaitu fase indrawi dan fase spiritual. Dalam malam gelap fase indrawi, kita kehilangan kelekatan pada kesenangan indrawi yang merupakan ketertarikan kita pada situasi, orang, dan hal-hal duniawi. Sedangkan dalam malam gelap fase spiritual, jiwa dimurnikan dan disiapkan untuk persatuan cinta dengan Tuhan.
Dibersihkan dari kepentingan diri, kita menyadari kita tengah diarahkan kepada iman yang murni, yang seutuhnya berpusat kepada Tuhan. Hubungan yang mendalam dengan Tuhan tidak terjadi melalui refleksi intelektual, penglihatan atau gambar, atau pengalaman spiritual; melainkan melalui kontemplasi – suatu pemusatan yang penuh cinta.
Kekeringan dan malam gelap adalah saat Ia sungguh-sungguh menarik kita secara langsung ke dalam persatuan dengan-Nya. Ini merupakan karya Roh yang mengubah kita. Cara lama dalam berbicara kepada Tuhan dalam doa menguap. Kita menemukan diri kita hanya duduk dan diam bersama Tuhan, diisi dengan keheningan yang tetap.
Yohanes dari Salib berkata bahwa badai akan merundung orang yang bergerak ke tingkat lain dari doa. Mungkin berupa badai egois dan penuh nafsu keinginan, ketidaksabaran, atau kemarahan terhadap Allah. Awan gelap kebingungan, ketidakpastian, dan keraguan mungkin timbul sebagai tanda keegoisan dalam diri kita sedang dihapus.
Dalam bukunya Nyala Cinta yang Hidup, Yohanes dari Salib mengingatkan kita untuk tidak mundur, tetapi tetap mengikuti pimpinan Roh. Kita harus mengetahui bahwa jika jiwa mencari Tuhan, maka Sang Kekasih terlebih lagi mencari jiwa itu. Jiwa tidak bisa menyadari kemajuan yang dicapainya dalam persatuan dengan Tuhan, karena Tuhan sajalah yang berkarya dalam jiwa, sehingga kita dapat menjadi seperti kayu pijar dengan nyala cinta yang hidup.
(Dari: Buku Edisi Khusus Saat Teduh – 40 Hari Semakin Dekat dengan Tuhan, karya J. David Muyskens. Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 2011)
Selasa, 27 Agustus 2013
Kebenaran Melampaui Pengetahuan
Kebanyakan orang menjalani kehidupan yang menyangkut hubungan-hubungan satu sama lain dengan berpusat pada pemikiran atau pengetahuan.
Pemikiran atau pengetahuan teknis punya tempat sendiri dalam kehidupan. Tetapi, menggunakan pemikiran atau pengetahuan untuk memahami hal-hal spiritual tidak membawa orang melihat Kebenaran. Justru sebaliknya pemikiran atau pengetahuan itu menjadi perintang utama untuk melihat Kebenaran.
Marilah kita belajar melihat Kebenaran dalam hubungan satu dengan yang lain. Bagaimana Anda melihat pasangan hidup Anda? Apakah Anda melihat pasangan hidup Anda dalam kejernihan atau Anda melihat melalui latar belakang pengalaman?
Anda memiliki pengalaman kenikmatan dan kesakitan berhubungan dengan pasangan hidup Anda. Pengalaman kenikmatan dan kesakitan dari masa lampau itu terus Anda bawa sampai sekarang dan menjadi pengetahuan. Anda memiliki citra atau gambaran tertentu tentang pasangan hidup Anda.
Lewat citra itu Anda berhubungan dengan pasangan hidup Anda. Citra yang adalah pengalaman, pemikiran, atau pengetahuan tidak bisa membuat Anda melihat secara langsung pasangan hidup Anda. Latar belakang pengalaman membuat Anda tidak bisa melihat Kebenaran dalam relasi Anda dengan pasangan hidup Anda.
Anda bisa memeriksa batin Anda dalam hubungan dengan orang-orang lain di sekitar Anda seperti anak, orangtua, adik, kakak, sahabat, majikan, bawahan, rekan kerja, tetangga, dan orang-orang lain di sekitar Anda. Bagaimana Anda bertemu dengan mereka setiap hari? Apakah Anda bertemu secara langsung tanpa perantaraan citra, pemikiran, atau pengetahuan, sehingga Anda bertemu secara langsung dengan mereka dalam kejernihan?
Lihatlah masalah-masalah kejiwaan yang sering mendera Anda seperti kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kebencian, kemarahan, keserakahan, kemalasan, kelekatan, dan seterusnya. Bisakah Anda melihat masalah-masalah kejiwaan tanpa teori-teori atau pengetahuan apa pun di benak Anda, dan Anda secara langsung menatap setiap masalah tanpa keinginan untuk mengubah, menolak, menekan, menerima, dan seterusnya?
Lihatlah hubungan Anda dengan apa yang oleh pikiran disebut dengan Brahman, Tuhan, Nibana, Tao, Diri Sejati, dan seterusnya. Lihatlah hubungan Anda dengan apa yang oleh pikiran disebut kebenaran. Selama Anda mendekati semua itu dengan pikiran, maka Anda tidak keluar dari penjara pemikiran. Meskipun Anda menyebut semua itu berada di luar pikiran atau tidak bisa dijangkau oleh pikiran, selama Anda masih mendekatinya dengan pikiran, maka Anda belum keluar dari penjara keterbatasan.
Kebenaran yang sesungguhnya hanya terlihat atau tersingkap kalau segala pemikiran berakhir. Kebenaran seperti ini sangat halus, sukar untuk dilihat dan dipahami, kecuali oleh batin yang bebas dari penjara pikiran.
Kalau kita masuk dalam keheningan meditasi, pikiran sepenuhnya berakhir, otak diam membeku. Realitas yang diciptakan pikiran runtuh sama sekali. Dunia atau Tuhan yang diciptakan pikiran lenyap. Gerak keinginan berhenti. Si aku atau orang yang mengalami tidak ada lagi. Pada momen itulah muncul sesuatu yang lain dan Kebenaran tersingkap.
Selama orang secara psikologis melekat pada pandangan-pandangan teoretis (pemikiran, doktrin, kepercayaan) maupun melekat dengan kuat secara emosional pada kekuatan-kekuatan batin pada lapisan yang halus, mereka tetap hidup dalam ketidaktahuan (ignorance). Pengetahuan adalah sumber ketidaktahuan. Bisakah kita menembus pengetahuan tanpa instrumen ide atau pengetahuan apa pun?
(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma hal. 35-40, penulis J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)
Menuntut Ilmu
Orang zaman dulu menuntut ilmu hanya untuk meningkatkan kualitas diri sebagai manusia. Namun, orang zaman sekarang menuntut ilmu untuk memperlihatkan kepada orang lain bahwa ia seorang intelek.
- Confucius (551-479 BC)
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
- Confucius (551-479 BC)
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Minggu, 25 Agustus 2013
Bila Kita Berdoa
Apa artinya berdoa bagi manusia masa kini? Sangat sukar dimengerti. Salam dari lubuk hati setiap orang merupakan sumber doa.
Untuk setiap orang, saya kira, doa dimulai demikian:
mencari dasar dari mana manusia hidup,
mencari Zat yang lebih besar dari manusia,
mencari Dia Sang Pemberi arti bagi segalanya,
penopang apa yang ada dan yang terjadi,
penggapaian yang penuh keraguan dari manusia,
itu sudah merupakan doa dalam bentuk asalnya.
Untukku, berdoa adalah masalah cinta,
kepercayaan dan kepasrahan,
ketakwaan penuh keyakinan, hampir buta,
terhadap Yang Ada - yang tak terselami,
di mana aku memperoleh persembunyian yang aman.
Aku merasakan daya tarik dari medan magnet Allah yang adalah Cinta,
yang menarikku semakin kuat.
Maka, berdoa adalah hal yang wajar, suatu yang biasa.
Ibarat orang yang bernapas.
Namun, doa kini dianggap rendah dan ditekan.
Manusia memenuhi diri dengan materi,
dengan kepuasan ini mereka kehilangan kontak dengan Allah.
Jiwa dan hati mulai kaku dan keras,
materi menguasai hidup sampai meluap.
Bila Allah tidak ada, maka runtuhlah makna dan susunan semesta.
Dunia mengalami kemerosotan rohani.
"Tuhan ajarilah kami berdoa!"
Kini berarti: Tuhan, hidupkanlah kami kembali!
Bebaskanlah kami dari isapan materi!
Bebaskanlah hati dan budi kami!
Ajarilah kami mencintai.
Apa arti doa?
Menjawab dengan seluruh diri, rahasia yang tak terselami.
Dari cinta yang tak kenal akhir, yang menyapamu di seluruh jagat,
dan lewat keajaiban di sekelilingmu.
Berdoa berarti membiarkan diri disapa dan menjawab,
bersyukur dan bergembira,
bertanya, mengeluh, dan berteriak,
berdiam, setuju, dan meng-iya-kan,
dengan kata dan karsa
dalam segenap hidupmu.
Doa bukanlah obat bius,
bukan sisa tradisi tua.
Doa pun bukan mesin otomatis,
memberi umpan, memilih,
lantas yang dikehendaki hati diperoleh.
Doa tak jauh dari hidup,
tindakan yang memberi dasar bagi adanya manusia.
Siapa berdoa dapat hidup.
Juga pada masa kini, doa mengubah manusia.
Pendoa akan menjadi lebih sopan, lebih sederhana, lembut, dan gembira.
Yang tak berdoa ibarat lampu kehabisan minyak.
Bagi pendoa, Allah menyinarkan surya.
Pendoa akan merasakan kehangatan Ilahi setiap pagi.
Bila Allah kadang membiarkannya di kelam malam,
ia yakin akan bimbingan tangan lembut menuju keabadian.
Burung adalah burung, bila ia terbang;
bunga adalah bunga, bila ia mekar;
manusia adalah manusia, bila ia berdoa.
- Phil Bosmans (1922-2012) biarawan, penulis, pemimpin gerakan antaragama di Belgia
(Dari: Buku Aku Bertemu dengan Allah - Pengalaman Rohani Zaman Kita, penerjemah Mgr. Dr. Anicetus B. Sinaga, OFM. Cap. Penerbit Obor, 1996)
Untuk setiap orang, saya kira, doa dimulai demikian:
mencari dasar dari mana manusia hidup,
mencari Zat yang lebih besar dari manusia,
mencari Dia Sang Pemberi arti bagi segalanya,
penopang apa yang ada dan yang terjadi,
penggapaian yang penuh keraguan dari manusia,
itu sudah merupakan doa dalam bentuk asalnya.
Untukku, berdoa adalah masalah cinta,
kepercayaan dan kepasrahan,
ketakwaan penuh keyakinan, hampir buta,
terhadap Yang Ada - yang tak terselami,
di mana aku memperoleh persembunyian yang aman.
Aku merasakan daya tarik dari medan magnet Allah yang adalah Cinta,
yang menarikku semakin kuat.
Maka, berdoa adalah hal yang wajar, suatu yang biasa.
Ibarat orang yang bernapas.
Namun, doa kini dianggap rendah dan ditekan.
Manusia memenuhi diri dengan materi,
dengan kepuasan ini mereka kehilangan kontak dengan Allah.
Jiwa dan hati mulai kaku dan keras,
materi menguasai hidup sampai meluap.
Bila Allah tidak ada, maka runtuhlah makna dan susunan semesta.
Dunia mengalami kemerosotan rohani.
"Tuhan ajarilah kami berdoa!"
Kini berarti: Tuhan, hidupkanlah kami kembali!
Bebaskanlah kami dari isapan materi!
Bebaskanlah hati dan budi kami!
Ajarilah kami mencintai.
Apa arti doa?
Menjawab dengan seluruh diri, rahasia yang tak terselami.
Dari cinta yang tak kenal akhir, yang menyapamu di seluruh jagat,
dan lewat keajaiban di sekelilingmu.
Berdoa berarti membiarkan diri disapa dan menjawab,
bersyukur dan bergembira,
bertanya, mengeluh, dan berteriak,
berdiam, setuju, dan meng-iya-kan,
dengan kata dan karsa
dalam segenap hidupmu.
Doa bukanlah obat bius,
bukan sisa tradisi tua.
Doa pun bukan mesin otomatis,
memberi umpan, memilih,
lantas yang dikehendaki hati diperoleh.
Doa tak jauh dari hidup,
tindakan yang memberi dasar bagi adanya manusia.
Siapa berdoa dapat hidup.
Juga pada masa kini, doa mengubah manusia.
Pendoa akan menjadi lebih sopan, lebih sederhana, lembut, dan gembira.
Yang tak berdoa ibarat lampu kehabisan minyak.
Bagi pendoa, Allah menyinarkan surya.
Pendoa akan merasakan kehangatan Ilahi setiap pagi.
Bila Allah kadang membiarkannya di kelam malam,
ia yakin akan bimbingan tangan lembut menuju keabadian.
Burung adalah burung, bila ia terbang;
bunga adalah bunga, bila ia mekar;
manusia adalah manusia, bila ia berdoa.
- Phil Bosmans (1922-2012) biarawan, penulis, pemimpin gerakan antaragama di Belgia
(Dari: Buku Aku Bertemu dengan Allah - Pengalaman Rohani Zaman Kita, penerjemah Mgr. Dr. Anicetus B. Sinaga, OFM. Cap. Penerbit Obor, 1996)
Kamis, 22 Agustus 2013
Godaan di Atas Segala Godaan
Seorang penyelundup yang sedang buron, pergi menemui seorang bijak dan memintanya menyembunyikan barang-barang selundupan. Ia yakin, karena kesalehan orang bijak itu tak seorang pun akan mencurigainya.
Orang bijak itu menolak dan meminta penyelundup segera keluar dari rumahnya. "Saya akan memberikan 100 ribu dolar untuk kebaikan Anda," kata si penyelundup. Orang bijak itu agak ragu, lalu mengatakan: tidak. "200 ribu dolar," tambah si penyelundup. Orang bijak itu tetap menolak. "500 ribu dolar," tawar si penyelundup. Orang bijak itu mengambil tongkat dan berteriak," Keluar sekarang juga! Kamu sudah sangat dekat dengan harga yang saya inginkan."
Sebuah kesadaran yang tepat waktu! Orang bijak itu sadar dirinya tergoda. Kesadaran ini sangat penting. Banyak orang tak sadar dirinya tergoda. Mereka baru sadar, setelah segalanya terjadi.
Kesadaran yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu kesadaran sebelum peristiwa apa pun terjadi. Anda sadar sepenuhnya akan keberadaan Anda, posisi dan kekuasaan yang Anda miliki. Anda sadar sepenuhnya bahwa kedudukan Anda sangat rawan terhadap godaan.
Semua jabatan memang rawan godaan. Karena itu, Anda harus waspada dan sadar sepenuhnya terhadap segala bentuk godaan. Seorang pejabat pemerintah akan selalu digoda oleh para pengusaha yang ingin berbisnis. Para penegak hukum akan selalu digoda oleh para pelanggar hukum. Begitu juga dengan anggota legislatif, anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum), anggota KPK, dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) harus sadar terhadap politik uang yang selalu mengintai setiap saat.
Tak memiliki kedudukan formal, bukan berarti bebas dari incaran politik uang. Seorang bijak, Sophocles, pernah mengingatkan, "Tak ada satu hal pun di dunia ini yang paling meruntuhkan moral selain uang."
Godaan terbesar uang adalah mengubah pandangan hidup kita dari "memiliki" menjadi "dimiliki." Kita memang perlu uang untuk menjalani hidup, tetapi uang hanya berfungsi sebagai alat. Kita yang menjadi tuannya. Celakanya, posisi ini sering kali bertukar tempat, akhirnya kita yang "dimiliki" oleh uang.
Kita sering kali berpikir terbalik: have > do > be. Kita berusaha memiliki lebih banyak uang (have), agar kita dapat melakukan apa yang ingin kita lakukan (do), dan mengira kalau itu tercapai akan membuat kita lebih bahagia (be).
Padahal, yang perlu kita lakukan adalah sebaliknya: be > do >have. Yang utama adalah menjadi diri sendiri (be), kemudian melakukan apa yang harus dilakukan (do), agar dengan demikian kita memiliki apa yang kita inginkan (have).
Uang adalah apa yang kita dapatkan (have), sementara kebahagiaan adalah sesuatu yang sudah ada dalam diri kita (be). Kebahagiaan sesuatu yang bersifat bebas, tidak tergantung apa pun yang kita miliki.
Orang-orang bijak selalu mengingatkan kita, yang penting dalam hidup adalah segala sesuatu yang tak dapat dibeli dengan uang: kebahagiaan, cinta, kesehatan, rasa damai dalam hati, rasa percaya kepada orang lain, dan kesadaran yang sempurna.
(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)
Orang bijak itu menolak dan meminta penyelundup segera keluar dari rumahnya. "Saya akan memberikan 100 ribu dolar untuk kebaikan Anda," kata si penyelundup. Orang bijak itu agak ragu, lalu mengatakan: tidak. "200 ribu dolar," tambah si penyelundup. Orang bijak itu tetap menolak. "500 ribu dolar," tawar si penyelundup. Orang bijak itu mengambil tongkat dan berteriak," Keluar sekarang juga! Kamu sudah sangat dekat dengan harga yang saya inginkan."
Sebuah kesadaran yang tepat waktu! Orang bijak itu sadar dirinya tergoda. Kesadaran ini sangat penting. Banyak orang tak sadar dirinya tergoda. Mereka baru sadar, setelah segalanya terjadi.
Kesadaran yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu kesadaran sebelum peristiwa apa pun terjadi. Anda sadar sepenuhnya akan keberadaan Anda, posisi dan kekuasaan yang Anda miliki. Anda sadar sepenuhnya bahwa kedudukan Anda sangat rawan terhadap godaan.
Semua jabatan memang rawan godaan. Karena itu, Anda harus waspada dan sadar sepenuhnya terhadap segala bentuk godaan. Seorang pejabat pemerintah akan selalu digoda oleh para pengusaha yang ingin berbisnis. Para penegak hukum akan selalu digoda oleh para pelanggar hukum. Begitu juga dengan anggota legislatif, anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum), anggota KPK, dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) harus sadar terhadap politik uang yang selalu mengintai setiap saat.
Tak memiliki kedudukan formal, bukan berarti bebas dari incaran politik uang. Seorang bijak, Sophocles, pernah mengingatkan, "Tak ada satu hal pun di dunia ini yang paling meruntuhkan moral selain uang."
Godaan terbesar uang adalah mengubah pandangan hidup kita dari "memiliki" menjadi "dimiliki." Kita memang perlu uang untuk menjalani hidup, tetapi uang hanya berfungsi sebagai alat. Kita yang menjadi tuannya. Celakanya, posisi ini sering kali bertukar tempat, akhirnya kita yang "dimiliki" oleh uang.
Kita sering kali berpikir terbalik: have > do > be. Kita berusaha memiliki lebih banyak uang (have), agar kita dapat melakukan apa yang ingin kita lakukan (do), dan mengira kalau itu tercapai akan membuat kita lebih bahagia (be).
Padahal, yang perlu kita lakukan adalah sebaliknya: be > do >have. Yang utama adalah menjadi diri sendiri (be), kemudian melakukan apa yang harus dilakukan (do), agar dengan demikian kita memiliki apa yang kita inginkan (have).
Uang adalah apa yang kita dapatkan (have), sementara kebahagiaan adalah sesuatu yang sudah ada dalam diri kita (be). Kebahagiaan sesuatu yang bersifat bebas, tidak tergantung apa pun yang kita miliki.
Orang-orang bijak selalu mengingatkan kita, yang penting dalam hidup adalah segala sesuatu yang tak dapat dibeli dengan uang: kebahagiaan, cinta, kesehatan, rasa damai dalam hati, rasa percaya kepada orang lain, dan kesadaran yang sempurna.
(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)
Selasa, 20 Agustus 2013
Introspeksi Diri
Umumnya orang lebih suka mengritik, menilai, dan menghakimi orang lain daripada jujur mengintrospeksi diri. Orang juga lebih suka melihat kesalahan dan kekurangan orang lain daripada kesalahan dan kekurangannya sendiri.
Ada cerita dari periode perang saudara di zaman feodal Tiongkok. Seorang jenderal yang gagah perkasa dapat mengalahkan seribu musuh, tetapi tidak mampu mengalahkan satu orang, yaitu dirinya sendiri.
Raja atau jenderal yang memimpin seribu kereta perang mampu mengalahkan puluhan ribu musuh di medan perang, tetapi tidak mampu mengalahkan dirinya sendiri bila digoda dengan wanita cantik oleh musuhnya.
Zheng Zi, murid Kong Zi (Confucius), mengatakan: Setiap hari aku melakukan introspeksi diri dengan mengajukan tiga pertanyaan kepada diriku sendiri:
1. Apakah saat membantu orang mengerjakan sesuatu, aku tidak jujur atau tidak setia kepadanya?
2. Apakah dalam pergaulan dengan teman, aku tidak percaya kepadanya?
3. Apakah pelajaran yang diajarkan guru sudah kupelajari ulang dengan tekun?
Pada zaman Tiongkok kuno, ada banyak orang yang melakukan introspeksi diri, bermeditasi mengasingkan diri ke pegunungan yang sepi. Mereka merendahkan diri dan menenangkan pikiran, berusaha melepaskan nafsu keinginan, ego, dan ke-aku-an.
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Ada cerita dari periode perang saudara di zaman feodal Tiongkok. Seorang jenderal yang gagah perkasa dapat mengalahkan seribu musuh, tetapi tidak mampu mengalahkan satu orang, yaitu dirinya sendiri.
Raja atau jenderal yang memimpin seribu kereta perang mampu mengalahkan puluhan ribu musuh di medan perang, tetapi tidak mampu mengalahkan dirinya sendiri bila digoda dengan wanita cantik oleh musuhnya.
Zheng Zi, murid Kong Zi (Confucius), mengatakan: Setiap hari aku melakukan introspeksi diri dengan mengajukan tiga pertanyaan kepada diriku sendiri:
1. Apakah saat membantu orang mengerjakan sesuatu, aku tidak jujur atau tidak setia kepadanya?
2. Apakah dalam pergaulan dengan teman, aku tidak percaya kepadanya?
3. Apakah pelajaran yang diajarkan guru sudah kupelajari ulang dengan tekun?
Pada zaman Tiongkok kuno, ada banyak orang yang melakukan introspeksi diri, bermeditasi mengasingkan diri ke pegunungan yang sepi. Mereka merendahkan diri dan menenangkan pikiran, berusaha melepaskan nafsu keinginan, ego, dan ke-aku-an.
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Jalan Tengah
Jalan Tengah yang tidak miring ke kanan dan ke kiri adalah cara memupuk kebajikan yang terbaik.
Namun, sejak dahulu sampai sekarang, manusia umumnya kurang memiliki karakter seperti itu.
- Confucius (551-479 BC)
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Namun, sejak dahulu sampai sekarang, manusia umumnya kurang memiliki karakter seperti itu.
- Confucius (551-479 BC)
(Dari: Buku The Ancient Chinese Wisdom - Bebas dari Nafsu Keinginan Baru Bisa Hidup Tenang, karya Andri Wang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)
Sabtu, 17 Agustus 2013
Anda Sudah Merdeka?
Jangan terburu-buru menjawab pertanyaan di atas. Benar, negara kita sudah cukup lama merdeka. Tetapi, itu namanya kemerdekaan fisik. Padahal, selain fisik kita memiliki tiga dimensi lain, yaitu mental, sosial-emosional, dan spiritual. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan di semua dimensi tersebut. Ciri terpenting kemerdekaan adalah lepas dari ketergantungan pada apa pun di luar dan bergantung pada Anda sendiri.
Ada cerita menarik tentang "pesulap-pesulap" yang bisa menyulap Anda menjadi orang yang mereka inginkan. "Pesulap-pesulap" seperti ini ada di sekitar Anda dan Anda mengizinkan mereka mengendalikan Anda. Begitu orang memuji, Anda senang. Tetapi, begitu dikritik, Anda tersinggung. Begitu ada yang mencaci, kita sedih sepanjang hari. Begitu orang membantah, kita marah dan sakit hati.
Itu artinya, Anda membiarkan orang lain membawa "remote control" Anda. Anda belum bisa disebut merdeka, karena Anda sangat tergantung pada orang lain untuk menentukan apakah Anda bahagia atau gundah gulana.
Selain itu, Anda perlu mencermati ketergantungan dan kelekatan Anda pada segala yang Anda miliki: harta benda, rumah, perabotan, mobil, keluarga, handai-tolan, dan rekan sejawat. Anda lupa, apa pun yang Anda miliki bisa hilang dalam sekejap. Karena itu, jangan pernah menggantungkan diri pada segala yang Anda miliki. Apa yang Anda miliki penting, tetapi kalau pun hilang, itu sama sekali tidak akan mengganggu kebahagiaan Anda.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ketergantungan Anda pada konsep, pemahaman, asumsi, dan paradigma yang Anda pahami sebagai suatu kebenaran. Kadang, konsep-konsep itu dipaksakan begitu saja, tanpa Anda benar-benar memahaminya. Kadang, "keterpesonaan" kita pada orang dan figur tertentu membuat kita menerima apa pun yang dikatakannya tanpa banyak berpikir.
Hal terakhir adalah ketergantungan pada perasaan Anda. Andakah yang mengendalikan perasaan atau perasaan yang mengendalikan Anda? Kemerdekaan berarti kemampuan Anda mengendalikan perasaan, terutama rasa takut.
Rasa takut inilah sebenarnya sumber segala bencana di dunia. Coba renungkan apa yang sering membuat Anda marah? Rasa takut. Kenapa banyak pejabat yang korupsi dan berbuat sewenang-wenang? Rasa takut. Renungkanlah pernyataan ini, "Yang berbahaya bukanlah kekuasaan, tetapi rasa takut kehilangan kekuasaan!"
Kemerdekaan seharusnya membebaskan manusia dari rasa takut dan mengubahnya dengan rasa cinta! Jadi, apakah Anda sudah merdeka? Silakan Anda menjawabnya.
(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)
Ada cerita menarik tentang "pesulap-pesulap" yang bisa menyulap Anda menjadi orang yang mereka inginkan. "Pesulap-pesulap" seperti ini ada di sekitar Anda dan Anda mengizinkan mereka mengendalikan Anda. Begitu orang memuji, Anda senang. Tetapi, begitu dikritik, Anda tersinggung. Begitu ada yang mencaci, kita sedih sepanjang hari. Begitu orang membantah, kita marah dan sakit hati.
Itu artinya, Anda membiarkan orang lain membawa "remote control" Anda. Anda belum bisa disebut merdeka, karena Anda sangat tergantung pada orang lain untuk menentukan apakah Anda bahagia atau gundah gulana.
Selain itu, Anda perlu mencermati ketergantungan dan kelekatan Anda pada segala yang Anda miliki: harta benda, rumah, perabotan, mobil, keluarga, handai-tolan, dan rekan sejawat. Anda lupa, apa pun yang Anda miliki bisa hilang dalam sekejap. Karena itu, jangan pernah menggantungkan diri pada segala yang Anda miliki. Apa yang Anda miliki penting, tetapi kalau pun hilang, itu sama sekali tidak akan mengganggu kebahagiaan Anda.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ketergantungan Anda pada konsep, pemahaman, asumsi, dan paradigma yang Anda pahami sebagai suatu kebenaran. Kadang, konsep-konsep itu dipaksakan begitu saja, tanpa Anda benar-benar memahaminya. Kadang, "keterpesonaan" kita pada orang dan figur tertentu membuat kita menerima apa pun yang dikatakannya tanpa banyak berpikir.
Hal terakhir adalah ketergantungan pada perasaan Anda. Andakah yang mengendalikan perasaan atau perasaan yang mengendalikan Anda? Kemerdekaan berarti kemampuan Anda mengendalikan perasaan, terutama rasa takut.
Rasa takut inilah sebenarnya sumber segala bencana di dunia. Coba renungkan apa yang sering membuat Anda marah? Rasa takut. Kenapa banyak pejabat yang korupsi dan berbuat sewenang-wenang? Rasa takut. Renungkanlah pernyataan ini, "Yang berbahaya bukanlah kekuasaan, tetapi rasa takut kehilangan kekuasaan!"
Kemerdekaan seharusnya membebaskan manusia dari rasa takut dan mengubahnya dengan rasa cinta! Jadi, apakah Anda sudah merdeka? Silakan Anda menjawabnya.
(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)
Kamis, 15 Agustus 2013
Respons Total
Kualitas peradaban dari zaman ke zaman sangat ditentukan oleh kualitas respons manusia terhadap tantangan. Tantangan selalu baru, tetapi respons kita selalu lama - selama kita merespons dari batin kita yang telah terkondisi.
Perubahan-perubahan sosial sampingan bisa dilakukan, misalnya dengan membuat aturan atau undang-undang, memperkeras sanksi atas pelanggaran. Namun, semua itu belum cukup. Perubahan yang sesungguhnya tidak datang dari undang-undang dan hukuman, tetapi dari respons yang menyeluruh terhadap tantangan.
Wajah penderitaan ada di mana-mana. Di seluruh dunia, manusia hidup dalam konflik, kecemasan, takut, sedikit rasa aman, kurang bahagia, tanpa Cinta. Penderitaan ini tidak kenal suku, bangsa, bahasa, agama, ras, golongan, status sosial, umur, jenis kelamin, dan seterusnya.
(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma hal. 74, 76, 80-82, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)
Perubahan-perubahan sosial sampingan bisa dilakukan, misalnya dengan membuat aturan atau undang-undang, memperkeras sanksi atas pelanggaran. Namun, semua itu belum cukup. Perubahan yang sesungguhnya tidak datang dari undang-undang dan hukuman, tetapi dari respons yang menyeluruh terhadap tantangan.
Wajah penderitaan ada di mana-mana. Di seluruh dunia, manusia hidup dalam konflik, kecemasan, takut, sedikit rasa aman, kurang bahagia, tanpa Cinta. Penderitaan ini tidak kenal suku, bangsa, bahasa, agama, ras, golongan, status sosial, umur, jenis kelamin, dan seterusnya.
Secara kejiwaan, penderitaan Anda
adalah penderitaan dunia. Anda tidak terpisah dari manusia lain yang terluka,
sedih, dan menderita. Anda adalah dunia dan dunia adalah Anda.
Ketika
kita melihat orang asing menderita – bukan pasangan hidup, anak-anak, keluarga
Anda, atau orang-orang yang dekat di hati kita – pikiran mengatakan, “Mereka
bukan keluargaku, bukan orang-orang dekatku, karena itu nasib mereka bukan
tanggung jawabku.” Tetapi ketika kita melihat bahwa penderitaan mereka adalah
penderitaan dunia, sebagai penderitaan universal, tidak ada ”kita” dan ”mereka,”
apa tanggapan kita?
Selama
pikiran melakukan proses identifikasi, maka sudah terjadi pengkotak-kotakan,
pemisah-misahan - “Ini penderitaanku, itu penderitaanmu,” “Ini tanggung
jawabku, itu tanggung jawabmu.” Maka, setiap tantangan tidak mendapat respons
yang tepat.
Jika ada Cinta, sesungguhnya tidak ada tanggung jawab yang memberatkan. Yang ada
adalah respons total terhadap tantangan. Istilah “respons total” barangkali
lebih tepat daripada “tanggung jawab” untuk menggambarkan tindakan langsung dan
seketika terhadap tantangan yang muncul.
Ada
banyak tantangan menghadang di depan mata: pemanasan global, kekeringan,
banjir, pembabatan hutan, pengalihan lahan, penyusutan ketersediaan pangan,
kemiskinan, korupsi, kekerasan, dan seterusnya. Ini semua
menuntut respons total bersama. Seperti apakah respons kita?
Kita bertanggung jawab pertama-tama bukan kepada keluargaku, agamaku, bangsaku, masyarakatku, lingkungan hidupku; tetapi kepada seluruh kemanusiaan dan seluruh alam semesta. Bisakah kita melihat tantangan-tantangan universal tanpa proses identifikasi dan pengkotak-kotakkan priskologis?
Ketika tanggung jawab bergerak bukan berdasarkan keterkondisian kita, bukankah lalu muncul respons total dan gerakan sosial menemukan basisnya yang lebih solid?
Kita bertanggung jawab pertama-tama bukan kepada keluargaku, agamaku, bangsaku, masyarakatku, lingkungan hidupku; tetapi kepada seluruh kemanusiaan dan seluruh alam semesta. Bisakah kita melihat tantangan-tantangan universal tanpa proses identifikasi dan pengkotak-kotakkan priskologis?
Ketika tanggung jawab bergerak bukan berdasarkan keterkondisian kita, bukankah lalu muncul respons total dan gerakan sosial menemukan basisnya yang lebih solid?
(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma hal. 74, 76, 80-82, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)
Ahli
Jika Anda ahli tentang diri sendiri,
maka Anda juga ahli tentang diri orang lain.
- Dr. Robert Anthony,
psikoterapis & penulis buku tentang pikiran dan rahasia kesuksesan
(Dari: Buku Untaian 1000 Kata Bijak, karya Dr. Rm. Sudi Yatmana. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2007)
maka Anda juga ahli tentang diri orang lain.
- Dr. Robert Anthony,
psikoterapis & penulis buku tentang pikiran dan rahasia kesuksesan
(Dari: Buku Untaian 1000 Kata Bijak, karya Dr. Rm. Sudi Yatmana. Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, 2007)
Senin, 12 Agustus 2013
Ku"dengar" Kasih Sayangnya
Sepanjang ingatanku, sejak kecil aku tak pernah mendengar ayahku mengucapkan kata-kata, "Aku sayang padamu." Bila seorang ayah tidak pernah mengucapkan kalimat itu sewaktu anaknya masih kecil, seiring pertambahan usia sang ayah, akan semakin sulit baginya untuk mengatakan hal tersebut.
Suatu kali aku memutuskan untuk menyingkirkan perasaan gengsi dan melakukan langkah pertama. Dalam percakapan lewat telepon dengan ayahku, setelah agak ragu sejenak, aku berkata, "Ayah..., aku sayang padamu."
Sejenak tak terdengar apa-apa. Lalu, ayah menjawab dengan kikuk, "Ya, sama-sama." Sambil tersenyum, kukatakan, "Ayah, aku tahu Ayah sayang padaku. Aku juga tahu jika Ayah merasa sudah sanggup, Ayah akan mengucapkan apa yang hendak Ayah katakan."
Beberapa minggu setelah itu, Ayah mengakhiri percakapan kami lewat telepon dengan mengatakan, "Paul, aku sayang padamu." Ketika kami berbicara itu, aku sedang bekerja. Air mataku menetes, akhirnya aku "mendengar" kasih sayang Ayah. Kami sama-sama menangis, menyadari bahwa saat istimewa ini telah mengangkat hubungan ayah-anak ke suatu tingkat yang baru.
Tak lama setelah saat istimewa itu, Ayah menjalani operasi jantung yang nyaris merenggut nyawanya. Aku sering merenung, seandainya aku tidak memulai dan Ayah meninggal setelah dioperasi, aku tak akan pernah bisa "mendengar" kasih sayangnya. (Paul Barton)
Jangan pernah berpisah, tanpa ungkapan kasih sayang untuk dikenang. Mungkin saja perpisahan itu ternyata untuk selamanya. (Jean Paul Richter)
(Dari: Buku A Cup of Chicken Soup for the Soul - All New Stories, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, dan Barry Spilchuk. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000)
Suatu kali aku memutuskan untuk menyingkirkan perasaan gengsi dan melakukan langkah pertama. Dalam percakapan lewat telepon dengan ayahku, setelah agak ragu sejenak, aku berkata, "Ayah..., aku sayang padamu."
Sejenak tak terdengar apa-apa. Lalu, ayah menjawab dengan kikuk, "Ya, sama-sama." Sambil tersenyum, kukatakan, "Ayah, aku tahu Ayah sayang padaku. Aku juga tahu jika Ayah merasa sudah sanggup, Ayah akan mengucapkan apa yang hendak Ayah katakan."
Beberapa minggu setelah itu, Ayah mengakhiri percakapan kami lewat telepon dengan mengatakan, "Paul, aku sayang padamu." Ketika kami berbicara itu, aku sedang bekerja. Air mataku menetes, akhirnya aku "mendengar" kasih sayang Ayah. Kami sama-sama menangis, menyadari bahwa saat istimewa ini telah mengangkat hubungan ayah-anak ke suatu tingkat yang baru.
Tak lama setelah saat istimewa itu, Ayah menjalani operasi jantung yang nyaris merenggut nyawanya. Aku sering merenung, seandainya aku tidak memulai dan Ayah meninggal setelah dioperasi, aku tak akan pernah bisa "mendengar" kasih sayangnya. (Paul Barton)
Jangan pernah berpisah, tanpa ungkapan kasih sayang untuk dikenang. Mungkin saja perpisahan itu ternyata untuk selamanya. (Jean Paul Richter)
(Dari: Buku A Cup of Chicken Soup for the Soul - All New Stories, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, dan Barry Spilchuk. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000)
Langganan:
Postingan (Atom)