Suatu hari, seorang guru kebijaksanaan menyuruh setiap muridnya membeli seekor ayam, lalu menyembelih ayam itu di tempat tersembunyi yang tidak bisa dilihat siapa pun.
Sang guru berpesan, agar murid-muridnya kembali dengan membawa ayam sembelihan sebelum matahari terbenam.
Saat mereka kembali sore hari, semua murid membawa ayam sembelihan. Namun, murid termuda kembali dengan membawa seekor ayam yang masih hidup. Sang guru bertanya, bagaimana cara mereka menyembelih ayam? Seorang murid mengatakan, ia membawa ayam ke dalam rumah, menutup pintu, dan menyembelihnya. Murid lain pergi ke tempat gelap dan terpencil dalam hutan, lalu menyembelih ayam di sana.
Sambil memeluk ayam, murid termuda berkata, "Aku telah membawa ayam ini ke dalam rumah, tetapi Tuhan berada di segala sisi rumah. Aku pergi ke tempat paling terpencil di hutan, Tuhan tetap ikut bersamaku. Tak ada satu pun tempat di mana Tuhan tidak dapat melihatku."
Banyak orang mengartikan takwa dengan takut. Saya memaknai takwa dengan bahasa cinta. Takwa adalah merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Inilah esensi cinta yang tertinggi. Tuhan sendiri adalah sumber cinta. Saya kira bahasa cinta jauh lebih tinggi daripada bahasa takut.
Saya akan jelaskan dengan contoh lebih konkret tentang bahasa cinta. Jika Anda mencintai seseorang, Anda akan mulai dengan level pertama cinta, yaitu percaya. Dalam konteks hubungan dengan Tuhan, inilah yang disebut iman.
Dengan berbekal kepercayaan itu, Anda kemudian memasuki level kedua cinta, yaitu perbuatan atau tindakan. Anda akan melakukan tindakan-tindakan cinta untuk kekasih Anda.
Setelah itu, level ketiga cinta adalah merasakan kehadiran orang yang kita cintai di mana pun kita berada. Anda tidak akan mengkhianati orang yang Anda cintai bukan karena Anda takut kepadanya, tetapi karena cinta Anda yang begitu besar dan selalu terjalin kontak batin yang dalam.
Tuhan sungguh dekat. Tetapi, kita sering tak menyadari kedekatan-Nya. Ini seperti cerita seekor ikan kecil yang sedang mencari samudera. "Samudera adalah tempat engkau berenang sekarang," jawab ikan lain. "Hah? Ini hanya air. Yang kucari adalah samudera," sangkal ikan kecil itu. Dengan perasaan sangat kecewa, ia pergi mencari samudera di tempat lain.
Hal demikian dapat juga terjadi pada kita. Tuhan tidak perlu dicari. Ia bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri!
(Dari: Buku Life is Beautiful - Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, karya Arvan Pradiansyah. Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar