Sepasang suami istri yang menyamakan Cinta dengan rasa-perasaan akan mudah terjebak dalam kebingungan. Saat rasa cinta membara, orang merasa bahagia. Saat rasa cinta lenyap, orang tidak lagi bahagia. Lalu apa yang dilakukan? Memutus tali perkawinan atau berupaya dengan berbagai cara untuk menghidupkan kembali rasa cinta seperti semula?
Sekalipun Anda berjuang untuk menghidupkan cinta,
Anda tidak akan menemukannya. Cinta sejati bukanlah rasa-perasaan emosional yang bisa dipupuk, bukan
hasil pencarian, bukan pula hasil pergulatan. Cinta bukanlah sesuatu yang
bisa Anda ciptakan atau bisa diberikan oleh orang lain. Cinta tidak bisa
diperbarui, karena ia selalu baru. Ia bukan kelanjutan dari yang lama. Ia bukan
kenangan dari ingatan masa lampau atau impian masa depan.
Cinta yang kita kenal terkait dengan batin yang terkondisi. Maka apa yang kita kenal tidak lebih sebagai cinta verbal, cinta emosional, cinta sentimental, cinta romantis, cinta erotik, cinta ketertarikan, cinta pemuasan, dan seterusnya. Ketika kita bergairah secara emosional dan berkata, "Sayang, aku mencintaimu," di sana tidak ada Cinta yang sesungguhnya.
Selama masih ada ego atau diri, yang adalah pikiran, perasaan, keinginan, kehendak; tidak ada Cinta yang sesungguhnya. Ketika Cinta tiada, maka dalam setiap hubungan ada hitung-hitungan, konflik, dominasi, kekerasan, eksploitasi. Selama diri Anda mencinta, maka Anda melukai orang yang Anda cintai.
Berbagai masalah dalam kehidupan keluarga mudah
muncul karena tidak ada Cinta. Hubungan pribadi hanya didasarkan atas rasa suka
dan tidak suka. Masing-masing pasangan sibuk dengan dunianya sendiri dan hanya bertemu di
tempat tidur. Seks menjadi masalah besar antar-pasangan dan urusan ekonomi
rumah tangga sering kali menjadi penentu segala-galanya.
Kalau hidup perkawinan tak tertahankan lagi, apa
yang akan dilakukan? Anda mencoba tetap bertahan, apalagi karena sudah memiliki
anak? Atau Anda ingin memutus tali perkawinan demi perkembangan anak-anak? Mungkinkah Anda hidup
dalam keadaan Cinta – bukan sekadar cinta kepada anak-anak atau pasangan hidup
– tetapi hidup dalam keadaan Cinta? Mungkinkah Cinta mekar dalam diri Anda, sebelum
Anda memutus tali perkawinan?
Cinta dan perkawinan ádalah dua hal yang berbeda.
Orang bisa tidak menikah atau tidak lagi menikah, tetapi penuh Cinta. Bisa pula
orang menikah dan hidup berkeluarga, tetapi tanpa Cinta. Perkawinan dan hidup
berkeluarga yang tanpa Cinta menjadi aneh atau menggelikan. Ketika Cinta tiada,
maka perkawinan atau hidup keluarga menjadi penjara. Sesungguhnya, institusi perkawinan tidak
pernah bisa memenjarakan Cinta. Diri Andalah yang memenjarakan Cinta.
Kalau diri tiada, Cinta ada. Maka, Cinta perlu
didekati bukan secara positif, tetapi secara negatif. Batin perlu menyadari dan
memahami apa saja yang kita kenal tentang cinta dan menegasinya secara total. Batin
mesti sepenuhnya diam, berada dalam keadaan bebas.
Batin yang diam dan bebas, tidak tertambat pada
apa yang dikenal. Maka, cinta yang kita kenal dengan lapisan-lapisan
rasa-perasaan itu perlu disadari, dipahami, dan dengan cara demikian dilampaui
atau ditransendensikan. Barulah Cinta yang sesungguhnya - yang tak dikenal - mungkin
akan mekar.
(Dari: Buku Pencerahan - Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, karya J. Sudrijanta, S.J. Penerbit Kanisius, 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar